Teman-teman tentu tahu tentang cerita berjudul Sharpen the Saw,
salah satu dari cerita yang menjadi isi dari buku pengembangan manajerial
ternama berjudul 7 Habits of Highly Effective People karya Stephen Covey yang
legendaris itu.
Sharpen the Saw, atau jika diterjemahkan bebas menjadi
Mengasah Gergaji, menjadi habit atau kebiasaan nomor tujuh yang
direkomendasikan penulis untuk menjadi orang (pemimpin) yang efektif. Tolok
ukur efektif sendiri sudah jelas, yaitu orang ini mampu mengerjakan tugas demi
tugasnya dengan cerdas, dengan memanfaatkan seluruh sumber daya serta teknologi
yang dimiliki, dan yang karena itulah upaya yang dilakukannya lebih minim. Seringkali
kualitas pimpinan dinilai dari seberapa efektif ia menyelesaikan tugas
(kualitas), dan seberapa banyak yang mampu ia selesaikan (kuantitas).
Diletakkannya Sharpen the Saw di urutan terakhir bisa
berarti macam-macam. Saya sih belum pernah membaca lengkap buku itu, belum
pernah juga mengikuti pelatihannya. Tapi kalo saya tebak-tebak, bisa jadi
karena kegiatan ‘mengasah gerjaji’ ini adalah sesuatu yang perlu dilakukan
setelah membiasakan diri pada enam habits sebelumnya, yaitu be proactive, begin
with end in mind, put first thing first, think win-win, seek first to
understand then to be understood, dan synergize.
Keenam habits itu perlu dipertahankan, diperkuat,
dipertajam. Ini memerlukan habits ketujuh, yaitu sharpen the saw tadi.
Kalau boleh saya ceritain secara singkat, ceritanya pada suatu malam, ada dua orang, satu masih muda dan yang lain sudah agak tua. Mereka sedang berlomba memotong pohon. Siapa yang lebih banyak memotong pohon ketika pagi tiba, dia yang menang.
Si muda tentu memiliki tenaga lebih besar. Tanpa banyak basa-basi, dia mulai memotong pohon dengan gergajinya. Satu demi satu pohon berjatuhan. Ia di atas angin. Sementara yang agak tua, ia juga memotong pohon dengan gergajinya. Tapi karena tenaganya kalah kuat, hasilnya tentu lebih sedikit daripada si muda.
Melihat hal itu, si anak muda makin percaya diri. Ia terus melakukan apa yang ia lakukan: memotong pohon tanpa henti, meski kecepatannya mulai menurun karena ia mulai kelelahan dan gergajinya mulai aus.
Apa yang dilakukan oleh si agak tua? Ia berhenti sejenak. Si anak muda pun bingung dibuatnya, tapi ia malah tertawa dan terus memotong. Ia malah merasa saingannya itu sudah menyerah. Tapi ternyata, si pria agak tua itu sedang berhenti untuk beristirahat, lalu mengasah gergajinya. Setelah cukup beristirahat dan gergajinya berfungsi normal, ia kembali memotong pohon.
Beberapa jam kemudian, ternyata si pria muda tertidur saking lelahnya. Gergajinya juga sudah tumpul, akibatnya tidak bisa digunakan untuk memotong pohon. Sementara pria yang agak tua tadi masih sibuk menggergaji. Tenaganya masih ada, dan kondisi gergajinya tetap prima. Semua itu karena ia rajin mengasah, juga memberi waktu dirinya sendiri untuk beristirahat.
Kenapa sharpen the saw demikian pentingnya. Karena tidak
lain, kita terkadang merasa lupa untuk mengembangkan diri. Sharpen the saw adalah
manifestasi dari banyak hal rutin yang biasa kita temui sehari-hari. Hal-hal
biasa yang sudah kita pahami, tapi karena rutinitas yang terlalu padat, kita
kadang lupa lakukan pengembangan. Misalnya saja, kita berprofesi sebagai akuntan. Setiap
hari kita akan menghadapi rutinitas akuntansi yang itu-itu saja. Jika kita
tidak mengasah diri, misalnya mengikuti training, maka boleh jadi kemampuan
kita tidak terasah, dan lama-lama menjadi tumpul.
Itu kalau akuntan. Lain lagi dengan profesi yang lebih
mengandalkan otak kanan seperti pemain teater, musisi atau penulis. Memang pekerjaan-pekerjaan
itu butuh latihan, belajar, dan berguru yang kontinyu demi meningkatkan
kualitas. Tapi kalo dari pengalaman saya, ada hal yang tidak kalah penting selain
terus berlatih, belajar dan berguru. Hal penting ini adalah beristirahat, seperti si penggergaji tadi. Atau istilah lainnya: hiatus.
Hiatus berarti mengerem sejenak. Bahkan untuk beberapa
contoh, berhenti sempurna. Parkir. Pokoknya, ‘menghilang’ dulu. Mengistirahatkan
otak kanan. Karena menggunakan otak kanan jelas berbeda dengan otak kiri. Jika
otak kiri yang rasional akan senang-senang saja untuk mengerjakan yang rutin,
otak kanan tentu berbeda. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, otak kanan
perlu diberi waktu istirahat yang cukup, dan berapa lamanya, tergantung
masing-masing orang.
Salah seorang teman saya yang hobi menulis pernah mengalami
hiatus ini selama beberapa bulan. Namun kemudian setelah ia ‘kembali’, langsung
menghasilkan karya berupa buku. Begitu juga teman saya yang lain. Ketika aktivitas
menulis membuatnya lelah, ia lantas berhenti. Tidak tanggung-tanggung, ia baru
mulai menulis lagi setelah dua tahun! Ada lagi teman saya berikutnya. Dulunya ia
cukup rutin menulis, tetapi kemudian ia mengalami kejenuhan luar biasa yang
membuatnya ‘menepi’. Tapi setelah sekian lama, lebih dari dua tahun, ia tidak
lagi menulis. Belakangan, saya baru tahu kalau ia berganti hobi, yaitu
memotret. Kalau yang ini sih namanya bukan ‘mengasah gergaji’, tapi memang
sudah bosan.
Saya toh merasakan juga pentingnya hiatus ini dalam beberapa
hal. Bahkan untuk hal-hal yang di luar dari pekerjaan seniman. Ketika bekerja
di kantor misalnya, diberikan jatah cuti. Gunanya jelas untuk menyegarkan pikiran
dan menghilangkan penat. Tapi kok penat saya gak hilang-hilang walaupun sudah
cuti?
Hmm… Oke itu adalah masalah saya yang tak kunjung
terpecahkan, tapi untuk saat ini saya tidak ingin bicarakan.