Minggu, 18 Juni 2017

Cinta Monyet

“Dit, gue punya uang tiga ratus ribu rupiah nih. Menurut lo, mendingan gue pakai buat beli sepatu baru atau konsol game baru?” Tanya seorang teman saya saat masih duduk di bangku SMP, yang tentu saja jawaban saya kepadanya adalah konsol game baru. Tetapi beberapa hari kemudian, teman saya itu kembali menghampiri saya hanya untuk menunjukkan sepatu basket barunya yang begitu mentereng. Bermerek Fila, buatan Italia, yang menurut dia sih asli punya.

Ketika saya tanyakan alasannya, jawaban yang keluar dari mulut polosnya sungguh sederhana. “Kalo gue pakai sepatu kayak begini (sambil mengangkat sepatu ke dengkul), cewek-cewek pasti bakal merhatiin,” ujarnya sambil cengengesan dan berlalu meninggalkan saya yang melongo.

“Kalo begitu caranya, sales clerk sepatu pasti pacaranya banyak dong,” ujar saya dalam hati.

Lain lagi dengan cerita teman saya yang lain. Ia baru saja jadian dengan salah satu cewek yang terkategorikan “kembang sekolah”. Karena itulah anak kecil ini bangganya bukan main, padahal seragam celana pendek biru tuanya masih tidak mampu menyembunyikan koreng-korengan di dengkulnya, dan ketika belajar merokok, nafasnya masih terbatuk-batuk.

Kami biasa bermain sepak bola pada hari Sabtu siang sepulang sekolah. Teman saya itu biasanya rajin bermain bola, tapi gara-gara pacaran melulu, ia jadi sering tidak main. Karena kesal, saya memberinya peringatan sederhana yang kalau didengar sekarang amat nyinyir. “Elu pilih sepak bola atau cewek?”

Dan beberapa kisah lainnya yang sejenis, saya pernah alami kepada teman-teman saya. Ada pula teman saya yang melewatkan jadwal latihan band karena harus mengantarkan pacarnya pulang naik angkot. Padahal yang namanya menyewa studio, tentu saja tidak boleh datang telat, karena “argo sewa” akan terus berjalan dan si mas nyinyir penjaga studio berusia 30an yang selalu meledek kemampuan bermusik pas-pasan anak sekolah seperti kami tidak akan memberi toleransi keterlambatan. Pelanggaran akan komitmen-komitmen kecil seperti inilah yang membuat saya kesal terhadap mereka, dan seringnya saya mengambil “tindakan tegas”. Akibatnya, saya pun beberapa kali berurusan dengan cemberutnya pacarnya teman pada saya.

Saya betul-betul tumbuh menjadi seorang remaja yang begitu berseberangan terhadap yang namanya “cinta monyet”. Ya, memang sulit bagi saya untuk tidak bersikap sinis terhadap cinta monyet yang tak beralasan itu, di mana menurut teori teman saya yang beli sepatu Fila tadi, cewek-cewek bisa saja naksir cowok hanya karena melihat sepatu barunya. Atau kisah lain yang pernah teman saya yang lain alami, ia bisa naksir cowok hanya karena sisiran rambut belah tengahnya yang terbentuk sempurna layaknya para ikon rambut belah tengah 90an macam Nick Carter, Andy Lau, personel Patrio atau vokalis band Stinky pada era itu.

Saya sih bukannya dulu gak pernah naksir cewek, tapi karena dulu saya begitu kaku ketika ngobrol dengan gebetan, maka saya tidak berkesempatan merasakan cinta monyet itu. Dengan kata lain, saya ini amat katrok ketika berinteraksi dengan perempuan, apalagi gebetan. Ya terang saja dulu saya gak pernah punya pacar pas jaman sekolah. Tapi buat saya, ini bukanlah aib karena toh saya selalu merasa aman dan nyaman saja ketika mendatangi reuni sekolah tidak seperti beberapa teman yang dulu pacar (plus aibnya) banyak.

Tapi memang urusan cinta monyet ini bisa menimbulkan efek luar biasa. Seorang teman yang lain pernah sampai batal menonton konser Yngwie Malmsteen di kotanya hanya karena pacarnya ngambek, dan karena hal itu ia seperti menyesali keputusannya di kemudian hari. Dan teman saya yang lain pernah sampai merusak helm motor saya gara-gara ia pinjam untuk kencan dengan gebetannya. Entah kencan ekstrim macam apa yang mereka lakukan, dan sejak saat itu hubungan pertemanan saya dengan dia pun merenggang. Cinta monyet, biarpun terlihat sepele ternyata bisa membutakan.

Alangkah mengejutkannya, perilaku tak beralasan ala cinta monyet masih saja berlanjut bahkan ketika seseorang beranjak dewasa. Cukup banyak teman saya yang saya dengar mau saja diajak piknik keluar kota berduaan dengan orang yang belum ada ikatan pernikahan (mungkin butuh tempat curhat yang private dan jauh dari keramaian), padahal ujung-ujungnya kisah percintaannya kandas, dan akibatnya ia mengalami patah hati yang cukup mendalam. Ini mungkin akan menjadi opini tidak populer, tapi yang ada di benak saya, apa bedanya perilaku seperti ini dengan cinta monyet dalam versi dewasa? Kita juga pastinya sering mendengar cerita-cerita percintaan lain yang memang tidak masuk akal dan terlalu dipaksakan, juga terlalu banyak yang dikorbankan.

Cinta memang seharusnya pakai logika, tapi ternyata mengedepankan logika akan membuat cinta jadi hambar. Apakah akan terdengar seperti cinta jika kita belum apa-apa sudah menilai orang berdasarkan kendaraan yang ditunggangi atau ponsel pintar yang digunakan? Apakah kita harus mau saja dijodohkan dengan orang yang bahkan untuk diajak ngobrol saja tidak membuat nyaman? Apakah kita harus bersama orang yang hanya memanfaatkan dan tidak pernah ada buat kita? Lalu, apakah cinta harus “dibelokkan” begitu saja karena sejak awal berbeda prinsip tanpa dicoba jalani dulu?

Pada akhirnya, cinta monyet memang berbeda dengan cinta yang dewasa. Orang yang sudah dewasa tentu tidak menilai orang lain dari sepatu yang dikenakan. Ia akan melihat visinya ke depan yang tercermin dari derap-derap langkah yang dijalaninya sehari-hari, terlepas dari alas kaki yang dipakainya. Kita juga tidak lagi menilai orang lain dari sisiran rambutnya—karena anak-anak sekarang tidak hanya butuh sisir, tapi butuh pula pomade yang banyak--, tapi yang lebih penting adalah melihat bagian tubuh yang berada 3-5 cm di bawah sisiran rambut, yaitu isi otaknya. 

Bukan.. Bukan maksud saya mendewakan otak lho ya. Karena buat apa otak pintar tapi dipakai merendahkan orang lain, meledek para ahli agama, menyebarkan status kebencian di media sosial, dan menghina karya-karya orang lain. Tapi lebih kepada bagaimana ia menggunakan isi kepalanya itu agar kisah percintaan yang harusnya dijalani dengan penuh kedewasaan ini tidak lebih dari “cinta monyet dalam versi dewasa”. Dengan kata lain, percintaan tak berguna buang-buang waktu yang mengedepankan nafsu yang dibungkus cinta oleh mulut-mulut gombal, rayuan-rayuan murahan dan janji-janji yang ujung-ujungnya palsu.