Bagi seorang
laki-laki, nge-fans terhadap penyanyi wanita mungkin hal tabu dan sedikit
melunturkan maskulinitas. Kaum pria hanya akan mendengarkan lagu-lagu wanita
secara diam-diam melalui headset mereka. Pura-pura headbang padahal sedang
mendayu-dayu di balik alunan vokal penyanyi perempuan yang kemayu. Namun melihat
fakta bahwa banyak pria yang menggemari girl band (karena penampakan mereka),
sepertinya hal ini tidak lagi menjadi
hal tabu.
Saya tidak
ikut-ikutan menjadi rombongan fans girl band jaman sekarang, dari manapun
mereka berasal. Tidak favoritnya saya pada genre musik lain selain rock juga
bukan maksud gagah-gagahan atau pengen dibilang ini-itu, karena sebenarnya,
meski tidak banyak yang tahu, ada salah seorang penyanyi wanita yang sejak lama
saya gemari: Chirstina Aguilera.
Genre musik Christina sama sekali bukan yang saya gemari. Album selftitled tahun 1999 yang bermaterikan Genie in a bottle maupun What a girl wants sangat girlie dan lebih menonjolkan paras cute-nya sang blasteran latin, sementara di album keempatnya ia buka-bukaan dan ‘get dirty’ seolah muak dengan segala macam pemberitaan media soal kehidupan pribadinya.
Sungguh, saya
tidak pernah mengidolakan seseorang diluar dari apa yang menjadi kebisaannya,
termasuk Christina. Saya hanya suka pada suaranya, suara sopran kelas diva yang
terpancar dan tidak dibuat-buat, tidak pula ingin show-off. Diluar itu, sungguh
saya tidak peduli. Seperti itu pula saya mengidolakan Andriy Shevchenko, dimana
saya hanya antusias dengan kemampuannya bersepakbola, bukan melihatnya dipaksa
joget di acara musik pagi. Sungguh saya tidak peduli.
Christina,
bagaimanapun menarik perhatian saya dengan attitude yang ia miliki. Saya bisa
bayangkan bahwa jika ia hanya orang biasa, ia adalah seorang cewek cuek dan
tidak sensi seperti cewek pada umumnya, meskipun tetap suka ber-drama.
Keunikan
Christina terlihat pada kecuekannya pada badannya sendiri. Seorang selebritis
pada umumnya rela melakukan apapun demi menjaga kelangsingan tubuhnya, namun
tidak dengan Christina. Ia tidak peduli pada penilaian orang melainkan tetap
nyaman saja dengan badannya yang melar. Manusiawi dan tidak dibuat-buat,
seperti orang biasa.
Christina tahu
betul bahwa penggemarnya boleh jadi akan menjauhinya, produsernya akan
memarahinya, advisor dan personal assisstant serta beauty consultant-nya akan
menguliahinya tentang pentingnya menjaga penampilan. Tapi sepertinya hal itu
tidak dipusingkannya. Ia hanya mengikuti kata hati, menikmati detik demi detik,
dan tidak memikirkan penilaian orang.
Seiring waktu
berlalu, seorang Christina juga perempuan. Ia lama kelamaan tidak tahan cibiran
terhadap badannya, lalu berinisiatif untuk mengikuti program pelangsingan. Ia
lagi-lagi menunjukkan diri sebagai manusia biasa yang memiliki batas dinding
keangkuhan. A big girl with a big voice,
begitulah ia dicela.
Tapi Christina
tetaplah Christina. Ia tidak overrated, tidak pula underrated. Ia beruntung
karena kemampuan vokalnya dinilai sesuai porsinya, tidak seperti penyanyi
karbitan yang awalnya menjanjikan tapi kemudian tenggelam. Christina yang
pernah tampil girly, pernah tampil nakal, pernah berbadan gendut, dan kemudian
kurus lagi. Ketika ia membuktikan kemampuan bernyanyi jazz dan soul, ia
dijuluki a soul singer with blue eyes.
Mungkin ada kaitan dengan darah latin yang ia miliki, Christina menikmati
hidup, ceria, sedih, kesal, lalu ia menulis lagu. Ia menyanyi, membintangi film
dan menikmati hidupnya. Tidak kurang berbagai penghargaan telah ia raih,
berbagai pengakuan akan suara emasnya telah ia dapatkan. Ia dianggap sebagai
penyanyi terbaik di generasinya. A little
girl with big voice, begitu dulunya ia dijuluki.
Lagu-lagu
Christina (atau Xtina, biasa ia mempopulerkan diri) bukanlah lagu-lagu yang
biasa menemani hari-hari saya yang membosankan di kantor, juga bukan teman
macet di mobil. Saya juga tidak mengoleksi album-albumnya dan tidak menyamakan
levelnya dengan Metallica atau Megadeth. Namun ia tetaplah sosok yang saya
kagumi, lewat suara dan sikap-sikap manusiawinya. Dan ada kalanya saya memutar lagunya dalam
mood tertentu.
Dalam dunia
sepak bola, talenta Christina mungkin seperti Garrincha, pesepakbola Brazil
yang oleh banyak orang dianggap lebih baik daripada Pele. Garrincha dengan gaya
hidup yang semaunya, bangkrut dan akhirnya wafat akibat overdosis alkohol.
Garrincha lebih menunjukkan sisi manusiawi ketimbang Pele.
Christina,
semoga tidak berakhir seperti Garrincha, tidak juga bergaya necis seperti Pele.
Sang diva dengan
vokal sopran yang mendekati taraf whistle register ini tanpa ragu saya katakan
bahwa ia adalah penyanyi perempuan favorit saya.