Minggu, 31 Maret 2013

Sebuah Pengecualian Bernama Christina Aguilera



Bagi seorang laki-laki, nge-fans terhadap penyanyi wanita mungkin hal tabu dan sedikit melunturkan maskulinitas. Kaum pria hanya akan mendengarkan lagu-lagu wanita secara diam-diam melalui headset mereka. Pura-pura headbang padahal sedang mendayu-dayu di balik alunan vokal penyanyi perempuan yang kemayu. Namun melihat fakta bahwa banyak pria yang menggemari girl band (karena penampakan mereka), sepertinya  hal ini tidak lagi menjadi hal tabu.

Saya tidak ikut-ikutan menjadi rombongan fans girl band jaman sekarang, dari manapun mereka berasal. Tidak favoritnya saya pada genre musik lain selain rock juga bukan maksud gagah-gagahan atau pengen dibilang ini-itu, karena sebenarnya, meski tidak banyak yang tahu, ada salah seorang penyanyi wanita yang sejak lama saya gemari: Chirstina Aguilera.

Genre musik Christina sama sekali bukan yang saya gemari. Album selftitled tahun 1999 yang bermaterikan Genie in a bottle maupun What a girl wants sangat girlie dan lebih menonjolkan paras cute-nya sang blasteran latin, sementara di album keempatnya ia buka-bukaan dan ‘get dirty’ seolah muak dengan segala macam pemberitaan media soal kehidupan pribadinya.

Sungguh, saya tidak pernah mengidolakan seseorang diluar dari apa yang menjadi kebisaannya, termasuk Christina. Saya hanya suka pada suaranya, suara sopran kelas diva yang terpancar dan tidak dibuat-buat, tidak pula ingin show-off. Diluar itu, sungguh saya tidak peduli. Seperti itu pula saya mengidolakan Andriy Shevchenko, dimana saya hanya antusias dengan kemampuannya bersepakbola, bukan melihatnya dipaksa joget di acara musik pagi. Sungguh saya tidak peduli.

Christina, bagaimanapun menarik perhatian saya dengan attitude yang ia miliki. Saya bisa bayangkan bahwa jika ia hanya orang biasa, ia adalah seorang cewek cuek dan tidak sensi seperti cewek pada umumnya, meskipun tetap suka ber-drama.

Keunikan Christina terlihat pada kecuekannya pada badannya sendiri. Seorang selebritis pada umumnya rela melakukan apapun demi menjaga kelangsingan tubuhnya, namun tidak dengan Christina. Ia tidak peduli pada penilaian orang melainkan tetap nyaman saja dengan badannya yang melar. Manusiawi dan tidak dibuat-buat, seperti orang biasa.

Christina tahu betul bahwa penggemarnya boleh jadi akan menjauhinya, produsernya akan memarahinya, advisor dan personal assisstant serta beauty consultant-nya akan menguliahinya tentang pentingnya menjaga penampilan. Tapi sepertinya hal itu tidak dipusingkannya. Ia hanya mengikuti kata hati, menikmati detik demi detik, dan tidak memikirkan penilaian orang.

Seiring waktu berlalu, seorang Christina juga perempuan. Ia lama kelamaan tidak tahan cibiran terhadap badannya, lalu berinisiatif untuk mengikuti program pelangsingan. Ia lagi-lagi menunjukkan diri sebagai manusia biasa yang memiliki batas dinding keangkuhan. A big girl with a big voice, begitulah ia dicela.

Tapi Christina tetaplah Christina. Ia tidak overrated, tidak pula underrated. Ia beruntung karena kemampuan vokalnya dinilai sesuai porsinya, tidak seperti penyanyi karbitan yang awalnya menjanjikan tapi kemudian tenggelam. Christina yang pernah tampil girly, pernah tampil nakal, pernah berbadan gendut, dan kemudian kurus lagi. Ketika ia membuktikan kemampuan bernyanyi jazz dan soul, ia dijuluki a soul singer with blue eyes. Mungkin ada kaitan dengan darah latin yang ia miliki, Christina menikmati hidup, ceria, sedih, kesal, lalu ia menulis lagu. Ia menyanyi, membintangi film dan menikmati hidupnya. Tidak kurang berbagai penghargaan telah ia raih, berbagai pengakuan akan suara emasnya telah ia dapatkan. Ia dianggap sebagai penyanyi terbaik di generasinya. A little girl with big voice, begitu dulunya ia dijuluki. 

Lagu-lagu Christina (atau Xtina, biasa ia mempopulerkan diri) bukanlah lagu-lagu yang biasa menemani hari-hari saya yang membosankan di kantor, juga bukan teman macet di mobil. Saya juga tidak mengoleksi album-albumnya dan tidak menyamakan levelnya dengan Metallica atau Megadeth. Namun ia tetaplah sosok yang saya kagumi, lewat suara dan sikap-sikap manusiawinya.  Dan ada kalanya saya memutar lagunya dalam mood tertentu.

Dalam dunia sepak bola, talenta Christina mungkin seperti Garrincha, pesepakbola Brazil yang oleh banyak orang dianggap lebih baik daripada Pele. Garrincha dengan gaya hidup yang semaunya, bangkrut dan akhirnya wafat akibat overdosis alkohol. Garrincha lebih menunjukkan sisi manusiawi ketimbang Pele.

Christina, semoga tidak berakhir seperti Garrincha, tidak juga bergaya necis seperti Pele.
Sang diva dengan vokal sopran yang mendekati taraf whistle register ini tanpa ragu saya katakan bahwa ia adalah penyanyi perempuan favorit saya.