Salah satu hal
yang saya benci dalam hidup ini adalah kesombongan.
Entah menyombongkan
harta, kepintaran, kekayaan, kekuatan, kehebatan. Apapun itu. Eit tunggu, saya
tidak akan mengecap orang yang suka posting foto makanan atau tempat liburan di
Path sebagai orang sombong. Mereka hanya.. Ah sudahlah.
Baru-baru ini, saya
melihat dengan mata kepala sendiri sebuah pertunjukan kesombongan. Tidak, bukan
seseorang, tapi sebuah akun twitter. Tapi tetap saja akun twitter itu
dikendalikan oleh orang, bukan?
Pada awalnya,
saya bisa memahami bahwa mereka melakukan itu atas dasar bisnis. Ya, memang di
jaman sekarang, tidak ada yang haram dalam bisnis. Bisnis itu seperti cinta dan
perang dimana perbuatan apapun dengan bungkusan bisnis selalu membentur pada
relativisme. Jika semuanya serba relatif, lalu bagaimana kita bisa membedakan hal
yang benar atau salah?
Kita sudah
terlalu dewasa untuk ini. Hal negatif dari merasa dewasa adalah membatunya kita.
Dengan merasa sudah dewasa berarti menolak segala masukan dan saran karena kita
sudah mapan dan mantap. “Siapa elu nasehatin gue? Gue udah gede! Gue udah tau
apa yang musti gue perbuat!” Begitulah pledoi dari orang-orang yang mengaku
sudah dewasa ketika dinasehati orang lain. Ah betapa rindunya saya akan
kepolosan dan hal sederhana.
Dan lagi-lagi
saya hanya bisa menyarankan sebuah jawaban klise atas hal itu.
Sudahkah anda
menilai perbuatan anda itu dari hati yang paling dalam?
Hati adalah satu-satunya
hal di dunia ini yang belum terkontaminasi oleh tetek bengek bisnis, politik
atau apapun yang merusak.
Melihat pada
hati seringkali berseberangan dengan orang lain, bertentangan dengan orang
banyak. Namun apakah yang diyakini orang banyak sudah berarti benar? Apakah yang
diyakini oleh hati sudah pasti salah? Pikirkan lagi.
Memang benar kata Hayley Williams "It has to be so lonely to be the only one whose holy."
Memang benar kata Hayley Williams "It has to be so lonely to be the only one whose holy."
Bolehlah kita
hebat, bolehlah kita menggenggam dunia, bolehlah karya kita disukai orang
banyak. Tapi apalah artinya semua itu nanti? Apalah arti jika kita hanya bisa
menyikapi segala anugerah Tuhan dengan kesombongan, merasa hebat, lalu merasa
lebih tinggi daripada orang lain. Dan tahukah anda bahwa kesombongan adalah
awal dari kehancuran?
Lihat saja
sebuah bangsa yang kini berlaku sangat sombong. Mereka menganggap ras lain yang
meninggali wilayah mereka sebagai warga kelas tiga. Mereka menganggap kaum lain
selain mereka adalah kaum lemah yang halal untuk ditipu dan ditindas. Seberapapun
saya mengagumi kepintaran, kecakapan, etos kerja dan kemajuan yang telah mereka
ukir sejauh ini, saya melihat bahaya dalam tindak tanduk mereka. Ya, mereka
hidup dengan kesombongan.
Mereka menginjak-injak, mereka menyerobot lahan,
membentuk tirani, menertawai pengeboman dan genosida. Selama bergenerasi-generasi,
Tuhan telah memberi banyak contoh kepada kita akan kehancuran sebuah kaum
karena kesombongannya.
Tunggu saja,
mereka akan hancur oleh tangan-tangan mereka sendiri. Mereka yang nantinya
bosan karena sudah merasa menang dan menguasai dunia, tentu secara alamiah akan
menciptakan konflik sendiri. Ya, secara alamiah manusia memang tidak bisa hidup
tanpa konflik. Mereka akan terus mencari perbedaan diantara kesamaan, lalu
membesar-besarkannya hingga tercipta peperangan. Begitulah sejarah selalu
berulang.
Mereka akan
seperti produser Hollywood yang membuat film tentang musuh dalam selimut, seakan
pamer kekuatan pada dunia bahwa yang bisa menghancurkan Amerika adalah Amerika
itu sendiri, bangsa lain bahkan alien sudah mereka kalahkan semua.
Eh tunggu dulu,
saya tidak hendak memberi ceramah atau dakwah. Tidak juga bermaksud
mengungkapkan kebencian pada kaum manapun, tidak pula membenarkan teori
konspirasi. Saya hanya mencoba menjelaskan ketidaksukaan saya pada kesombongan.
Itu saja. Dan saya sama sekali tidak cocok bekerjasama dengan orang yang
sombong.
Brute with heart
is better than brain with arrogance.