Rabu, 20 Maret 2013

Mafia Bawang


Setelah sapi, sekarang bawang. Gimana nasib tukang sate dan iga bakar?

Tentu saja bukan hanya penjual sate dan iga bakar yang dipusingkan dengan meroketnya harga bawang menjadi sekitar Rp 36.000-40.000 per kilogram, malah ada yang mencapai 85 ribu rupiah. Kuliner Indonesia yang kaya bumbu nyaris melibatkan bawang sebagai alat tempurnya. Jelas saja kenaikan harga bawang tertinggi sepanjang sejarah ini (harga normal 10.000-15.000 rupiah per kg) akan memukul industri makanan, terutama industri kecil.

Seperti diberitakan okezone, pemerintah terpaksa mengimpor bawang guna menanggulangi kelangkaan. Impor bawang yang meningkat pesat sejak tahun 2006 ini memang mengindikasikan makin banyaknya importir bawang. Semakin banyak importir, tentu semakin besar kemungkinan terjadinya “permainan”.

Masyarakat Indonesia memang hidup dengan konsumsi tinggi dan gemar jajan, terutama jajanan kuliner. Positifnya, inilah salah satu kekuatan ekonomi Indonesia yang membuat negara ini survive dari krisis ekonomi yang melanda dunia tahun 2008 lalu. Dengan hidupnya industri kecil, rakyat mampu hidup mandiri tanpa tergantung berlebih pada pemerintah.

Namun bagaimana jika kemandirian ini kemudian dimanfaatkan oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab? Seperti yang telah dijelaskan diatas, meningkatnya jumlah importir ini memang lama kelamaan menjadi masalah. Pihak-pihak ini kemudian membentuk sindikat yang mampu mengendalikan harga. Hilangnya kendali pemerintah akan harga komoditas pangan inilah yang memungkinkan hal ini terjadi.

Saya pernah membaca kultwit salah satu akun yang menghitung besarnya keuntungan dari para mafia ini. Dalam kultwitnya tersebut ia memperkirakan keuntungan mafia itu bisa mencapai 100 miliar rupiah, hanya dalam waktu 2 bulan saja. Mekanisme pasar yang liar semacam ini tentu saja hanya akan membuat si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin.

Saat ini, 60% bahan pangan di Indonesia adalah produk impor. Kurangnya proteksi pemerintah akan produksi pangan negeri sendiri membuat petani semakin tercekik. Melimpahnya bahan pangan impor yang lebih murah otomatis menghancurkan pertanian kita. Sebenarnya tidak ada yang salah dari kegiatan mengimpor, namun proteksi pada petani lokal tetap harus diberikan.

Alasan pemerintah mengimpor adalah tidak tercukupinya kebutuhan lokal dengan hasil bumi sendiri, padahal semua orang tahu kekayaan alam Indonesia melimpah. Kurangnya kemampuan mengolah kekayaan alam inilah yang menjadi masalah sejak lama. Penanaman pangan diseragamkan dan diversivikasi kurang dilakukan. Pembangunan perkebunan kelapa sawit yang kebanyakan hasilnya adalah untuk diekspor malah digalakkan.

Padahal, mencukupi kebutuhan pangan sendiri jauh lebih mendesak ketimbang menyediakan komoditi untuk diekspor. Perdagangan dan produksi pangan harus dikombinasikan, namun semua itu harus bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan, bukan sekadar keuntungan satu atau dua pihak saja.

Perdagangan perlu dilakukan lebih efektif dengan cara mengimpor bahan pangan yang tidak banyak hasil produksinya, sementara ekspor dilakukan untuk komoditi yang sudah berlebih untuk konsumsi sendiri. Selama ini yang terjadi adalah kebalikannya, beras yang seharusnya mampu diproduksi sendiri malah diimpor sementara lahan yang seharusnya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan malah ditanami komoditi ekspor.

Kondisi ini tentu berdampak buruk bagi ketahanan pangan. Diperkirakan tahun 2030 dunia akan dilanda krisis pangan. Ketidakmandirian untuk menyediakan pangan akan memaksa Indonesia untuk mengimpor dari negara lain dengan harga yang sangat mahal. Akan menjadi ironis jika Indonesia sebagai negara dengan potensi penghasil pangan melimpah dilanda bencana kelaparan atau kekurangan pangan akibat kegagalan negara dalam mengelola industri pertanian dan mengendalikan harga.

Permasalahan mafia bawang dan juga sebelumnya mafia sapi ini memang tidak lepas dari ketahanan pangan yang mengkhawatirkan. Para petani yang sudah terlindas karena ketidakmampuan mereka bersaing dengan importir kehilangan daya saing yang berakibat pada keterbatasan produksi. Keterbatasan produksi inilah yang dapat menjadikan kelangkaan persediaan. Hal ini dimanfaatkan betul oleh kartel bawang untuk menahan persediaan mereka sehingga komoditi semakin langka. Kelangkaan inilah yang menyebabkan harga melambung, sesuai dengan hukum demand-supply.

Bukan tidak mungkin kasus kelangkaan komoditi pangan ini akan berulang, atau berpindah ke komoditi pangan lain. Para mafia itu tinggal menunggu terjadinya penurunan komoditi hasil petani lokal, lalu dengan cepat mengendalikan rantai penyediaan komoditi impor hingga terjadi kelangkaan yang berakibat melambungnya harga.

Jika pemerintah tidak mampu menanggulangi masalah ini, maka negara gagal menjalankan fungsinya sebagai regulator dan akan dikendalikan oleh kartel, mafia dan sindikat.