Setelah sapi, sekarang bawang. Gimana nasib tukang sate dan
iga bakar?
Tentu saja bukan hanya penjual sate dan iga bakar yang
dipusingkan dengan meroketnya harga bawang menjadi sekitar Rp 36.000-40.000 per
kilogram, malah ada yang mencapai 85 ribu rupiah. Kuliner Indonesia yang kaya
bumbu nyaris melibatkan bawang sebagai alat tempurnya. Jelas saja kenaikan
harga bawang tertinggi sepanjang sejarah ini (harga normal 10.000-15.000 rupiah
per kg) akan memukul industri makanan, terutama industri kecil.
Seperti diberitakan okezone,
pemerintah terpaksa mengimpor bawang guna menanggulangi kelangkaan. Impor bawang
yang meningkat pesat sejak tahun 2006 ini memang mengindikasikan makin
banyaknya importir bawang. Semakin banyak importir, tentu semakin besar
kemungkinan terjadinya “permainan”.
Masyarakat Indonesia memang hidup dengan konsumsi tinggi dan
gemar jajan, terutama jajanan kuliner. Positifnya, inilah salah satu kekuatan
ekonomi Indonesia yang membuat negara ini survive
dari krisis ekonomi yang melanda dunia tahun 2008 lalu. Dengan hidupnya
industri kecil, rakyat mampu hidup mandiri tanpa tergantung berlebih pada pemerintah.
Namun bagaimana jika kemandirian ini kemudian dimanfaatkan
oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab? Seperti yang telah dijelaskan
diatas, meningkatnya jumlah importir ini memang lama kelamaan menjadi masalah. Pihak-pihak
ini kemudian membentuk sindikat yang mampu mengendalikan harga. Hilangnya kendali
pemerintah akan harga komoditas pangan inilah yang memungkinkan hal ini
terjadi.
Saya pernah membaca kultwit salah satu akun yang menghitung
besarnya keuntungan dari para mafia ini. Dalam kultwitnya tersebut ia
memperkirakan keuntungan mafia itu bisa mencapai 100 miliar rupiah, hanya dalam
waktu 2 bulan saja. Mekanisme pasar yang liar semacam ini tentu saja hanya akan
membuat si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin.
Saat ini, 60% bahan pangan di Indonesia adalah produk impor.
Kurangnya proteksi pemerintah akan produksi pangan negeri sendiri membuat
petani semakin tercekik. Melimpahnya bahan pangan impor yang lebih murah
otomatis menghancurkan pertanian kita. Sebenarnya tidak ada yang salah dari
kegiatan mengimpor, namun proteksi pada petani lokal tetap harus diberikan.
Alasan pemerintah mengimpor adalah tidak tercukupinya
kebutuhan lokal dengan hasil bumi sendiri, padahal semua orang tahu kekayaan
alam Indonesia melimpah. Kurangnya kemampuan mengolah kekayaan alam inilah yang
menjadi masalah sejak lama. Penanaman pangan diseragamkan dan diversivikasi
kurang dilakukan. Pembangunan perkebunan kelapa sawit yang kebanyakan hasilnya
adalah untuk diekspor malah digalakkan.
Padahal, mencukupi kebutuhan pangan sendiri jauh lebih
mendesak ketimbang menyediakan komoditi untuk diekspor. Perdagangan dan
produksi pangan harus dikombinasikan, namun semua itu harus bertujuan untuk
mewujudkan ketahanan pangan, bukan sekadar keuntungan satu atau dua pihak saja.
Perdagangan perlu dilakukan lebih efektif dengan cara
mengimpor bahan pangan yang tidak banyak hasil produksinya, sementara ekspor
dilakukan untuk komoditi yang sudah berlebih untuk konsumsi sendiri. Selama ini
yang terjadi adalah kebalikannya, beras yang seharusnya mampu diproduksi
sendiri malah diimpor sementara lahan yang seharusnya bisa digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan malah ditanami komoditi ekspor.
Kondisi ini tentu berdampak buruk bagi ketahanan pangan. Diperkirakan
tahun 2030 dunia akan dilanda krisis pangan. Ketidakmandirian untuk menyediakan
pangan akan memaksa Indonesia untuk mengimpor dari negara lain dengan harga
yang sangat mahal. Akan menjadi ironis jika Indonesia sebagai negara dengan
potensi penghasil pangan melimpah dilanda bencana kelaparan atau kekurangan
pangan akibat kegagalan negara dalam mengelola industri pertanian dan
mengendalikan harga.
Permasalahan mafia bawang dan juga sebelumnya mafia sapi ini
memang tidak lepas dari ketahanan pangan yang mengkhawatirkan. Para petani yang
sudah terlindas karena ketidakmampuan mereka bersaing dengan importir
kehilangan daya saing yang berakibat pada keterbatasan produksi. Keterbatasan produksi
inilah yang dapat menjadikan kelangkaan persediaan. Hal ini dimanfaatkan betul
oleh kartel bawang untuk menahan persediaan mereka sehingga komoditi semakin
langka. Kelangkaan inilah yang menyebabkan harga melambung, sesuai dengan hukum
demand-supply.
Bukan tidak mungkin kasus kelangkaan komoditi pangan ini
akan berulang, atau berpindah ke komoditi pangan lain. Para mafia itu tinggal
menunggu terjadinya penurunan komoditi hasil petani lokal, lalu dengan cepat
mengendalikan rantai penyediaan komoditi impor hingga terjadi kelangkaan yang
berakibat melambungnya harga.
Jika pemerintah tidak mampu menanggulangi masalah ini, maka
negara gagal menjalankan fungsinya sebagai regulator dan akan dikendalikan oleh
kartel, mafia dan sindikat.