Di zaman sekarang,
pemeo “Mulutmu harimaumu” sepertinya sudah mulai bergeser lebih luas lagi
menjadi “facebookmu harimaumu” atau “twitmu harimaumu” yang berarti akun social
media yang kita punya memang mewakili pemikiran kita.
Adri Subono mengeruk keuntungan lewat jualan tiket konsernya
lewat twitter. Ia tidak perlu menyebar pamphlet atau susah payah menyebarkan
brosur atau membuat spanduk untuk menjual tiketnya. Cukup ngetwit, orang-orang
langsung berhamburan kerumahnya untuk menukarkan puluhan lembar uang pecahan
seratus ribu atau lima puluhan ribunya hanya demi mendapatkan selembar tiket
untuk menikmati sajian musik internasional.
Namun, ocehan di twitter bisa menjadi malapetaka. Coba lihat
contoh lima kasus ini:
Kasus pertama:
Seorang karyawan ngoceh di twitter mengenai kekesalannya
dengan seorang pegawai kantor pemerintahan dimana mereka berhubungan profesional.
Si karyawan ini tidak menyadari bahwa akun twitter miliknya terkoneksi
sedemikian rupa hingga terhubung dengan istri sang pegawai. Istri pegawai itu kemudian
me-retweet ocehan itu ke suaminya. “Kasus” kecil itu kemudian selesai setelah
sang karyawan itu meminta maaf.
Kasus kedua:
Dulu disaat konflik dualisme sepak bola sedang
hangat-hangatnya, perang twitter seperti tiada habisnya soal ini. Salah satu
akun pribadi pembela si A tiba-tiba menyerang seorang wanita yang menurutnya
pembela si B. Si pembela A itu mencela si B dengan kata-kata yang tidak
senonoh, yang akhirnya membuat si wanita tersinggung. Si wanita mengancam akan
melaporkan twit si pembela A kepada polisi, namun si pembela A meminta maaf,
akhirnya laporan dibatalkan.
Kasus ketiga:
Seorang juranalis diserang oleh kelompok penggemar sebuah
genre musik karena dianggap menghina idola mereka, juga menampilkan informasi
yang tidak akurat. Para fans tersebut tidak terima idolanya dihina, dan mereka
mengecam sang jurnalis dengan ikut mengancam pekerjaan dari sang jurnalis. Kasus
selesai setelah sang jurnalis meminta maaf melalui akun twitternya.
Kasus keeempat:
Sebuah akun anonim sepak bola yang memang terkenal nyinyir
diancam oleh sebuah kelompok suporter karena memposting berita yang tidak
akurat dalam websitenya. Akun nyinyir ini memang seperti sudah ditunggu-tunggu untuk
melakukan kesalahan agar timbul celah bagi para pembenci untuk menyerang balik
mereka. Melalui website dan akun twitternya, akun tersebut membuat pernyataan
permohonan maaf.
Seakan tidak puas, admin dari akun anonim itupun dicari
hingga akhirnya ketemu. Admin tersebut menanggapinya dengan santai saja. Hingga
kini kasus tidak saya ketahui lagi kelanjutannya.
Kasus kelima:
Lain lagi dengan kasus seorang selebtwit, yang baru-baru ini
diadukan ke polisi oleh seorang politisi terkait twitnya yang dianggap menuduh,
memojokkan dan mencemarkan nama baik.
Selebtwit ini memiliki follower yang banyak (ya, namanya
juga seleb) dan ia memang dikenal sering berkicau dan mengeluarkan analisa-analisanya
tentang berbagai hal, dari sepak bola hingga politik. Politisi ini mempolisikan
sang selebtwit karena dua twitnya yang memang “berani”. Sang politisi
sebelumnya telah menuntut permohonan maaf dan ralat dari twit tersebut namun
tidak ditanggapi oleh sang selebtwit.
***
Sangat luar biasa dampak dari twitter ini. Anda bisa menjual
produk, meraup keuntungan, menggiring opini, bahkan menyerang orang lain
melalui permainan jempol yang terjadi atas perintah otak anda. Ya, boleh jadi
jempol anda menari-nari diatas keypad anda setelah rekening anda diguyur
transferan dari pihak tertentu dengan tujuan tertentu pula.
Kasus kelima diatas baru pertama kali saya lihat di
Indonesia. Menarik menyaksikan bagaimana kelanjutannya, juga menarik melihat
apakah UU ITE dapat digunakan sebagai basis dalam kasus ini. Terlepas dari apa
yang dituduhkan oleh sang selebtwit ke sang politisi benar atau salah, tindakan
sang selebtwit ini jelas-jelas sangat beresiko. Bukannya kasus yang dia
tuduhkan itu terungkap, yang ada masalah pencemaran nama baik ini yang ter-blow
up.
Saya jadi berpikir, bagaimana seharusnya kita bersikap dalam
twitter. Di satu sisi, Indonesia adalah negara demokrasi dimana orang bebas
berpendapat, namun di sisi lain Indonesia adalah negara hukum. Ya, teorinya sih
begitu.
Saya yakin banyak kasus lain selain yang tersebut diatas,
terutama di level “grassroots” atau perang twitter yang dilakukan oleh “regular
twitter user” atau para user biasa yang bukan termasuk selebtwit. Dari umpatan
kasar, penghinaan rasial bahkan ancaman-ancaman mengerikan tersaji namun
gaungnya tidak kencang karena tidak melibatkan nama-nama beken.
Jadi, apa tujuan anda memiliki akun twitter?