The Legend Axl Rose (Saya foto dari big screen) |
Saya bukanlah tipe orang yang suka pada keramaian,
kerumunan, klub atau perkumpulan. Saya tidak akan bergabung di kerumunan
orang-orang yang menyaksikan shooting sinetron di mall, juga tidak akan
bergabung dengan kerumunan orang-orang yang menyaksikan bencana kebakaran. Jarang
sekali saya bisa ditemukan diantara itu. Namun jika anda melihat sekumpulan
pria berbaju hitam, setengah gondrong, berusia 20an akhir keatas, dan menuju ke
sebuah konser rock, anda mungkin dapat menemukan saya.
Dan weekend kemarin, saya bersyukur berada diantara 10
ribuan orang yang menyaksikan konser band rock legendaris, Guns ‘n Roses (GNR).
Sebagai band
favorit nomor 5, tentu pantang bagi saya untuk tidak menyaksikan mereka
secara langsung. Apalagi saya sudah kehilangan kesempatan menonton band favorit
nomor 6, Dream Theater di awal tahun, juga ketiadaan multi-event Java Rockingland
tahun ini.
Saya pergi sendirian karena banyak alasan. Saya mungkin
hidup dan lahir di generasi yang salah karena tidak satupun teman saya dari
teman SD hingga teman kantor yang mau saya ajak nonton konser ini. Alasan
mereka bermacam-macam, dari alasan logis hingga mengada-ada. Tidak semua orang
suka musik rock. Jadi walaupun harus pergi sendiri, tidak masalah. Pergi konser
memang pada intinya untuk menonton, bukan untuk mengobrol. Sendiri atau
bareng-bareng sama saja.
Anyway, konser The most dangerous band in the world ini
sebetulnya sempat ditunda secara kontroversial. Jadwal asli 15 Desember di Lapangan D Senayan mendadak diubah
menjadi keesokan harinya di MEIS Ancol
siang hari. Itupun TMCPoldaMetro yang mengumumkan lewat twitternya, bukan si
penyelenggara konser. Terjadi kekhawatiran bahwa konser akan dibatalkan secara
sepihak oleh Axl, seperti yang kadang dilakukannya. Untungnya hal itu urung
terjadi di Jakarta.
Konser yang sempat tertunda nyaris dua dekade ini seolah
mengobati rasa kangen penggemar lawas mereka. Ketika itu kehadiran mereka
dibatalkan karena beberapa waktu sebelumnya konser band papan atas lainnya
yaitu Metallica yang datang lebih dulu berakhir rusuh. GNR yang dianggap
memiliki massa yang saat itu lebih banyak dari Metallica pada akhirnya batal
datang. Banyak penonton konser yang hanyut dalam nostalgia era sekolah mereka
dimana mereka besar dengan mendengarkan musik ini, tidak seperti anak-anak
sekarang yang besar dengan mendengarkan musik … ah sudahlah.
GNR sekarang bukanlah band sama yang beranggotakan Slash, Izzy Stradlin, Duff McKagan dan Steven Adler yang menghuni Rock and Roll Hall
of Fame. Axl telah memecat mereka semua lalu mengibarkan bendera baru GNR
dengan personel-personel pilihannya yang berjumlah 7 orang. (Itu band rock apa
boyband pelanggan salon?).
Axl nampaknya harus menggunakan 3 orang gitaris (Richard Fortus, DJ Ashba dan Ron
Bumblefoot Thal) untuk mengisi dua pos legendaris yang biasa ditempati
Slash dan Izzy Stradlin. Sepanjang pengamatan saya, Axl memang menginstruksikan
ketiga gitaris yang memiliki kemampuan setara sebagai lead guitarist itu untuk
secara bergantian memainkan solo di setiap lagu. Saya ambil contoh di lagu
ballad fenomenal November Rain, ketiga gitaris itu bergantian mengambil porsi
solo di bagian tengah dan akhir lagu.
Sepertinya Axl memang menjaga supaya tidak ada yang
terlalu menonjol diantara ketiganya, tidak seperti era Slash dulu dimana
popularitas dan pengaruh sang lead guitarist berkharisma kuat mengimbangi sang
vokalis. Terdapatnya dua kepala dalam satu band tersebut terbukti bukanlah hal
yang baik.
Performa kelas atas layaknya world class band mereka
bawakan selama lebih dari dua jam dan dengan komposisi dua puluhan lagu, meskipun konser rock ini menjadi seperti acara nonton bioskop karena tersedianya kursi empuk dan hembusan udara dingin yang berasal dari AC. Konser rock rasa pertunjukan drama musikal. Tek teretektektek dung dung tek jess!
Konser ini dibuka dengan lagu Chinese Democracy. Axl memang tidak banyak berinteraksi dengan penonton, namun Ron Bumblefoot sempat membuat saya tersenyum ketika mengajak penonton menyanyikan Indonesia Raya. Ya, dia memetik gitarnya dengan nada lagu kebangsaan kita sebelum masuk kepada intro lagu ballad Don't Cry. Nice one. Penonton lalu mulai berjingkrak dan sing along ketika lagu-lagu hits lawas mereka seperti Sweet Child ‘o Mine, November Rain, Patience, Knocking on heaven’s door, You Could be Mine dan ditutup dengan Paradise City dihadirkan.
Konser ini dibuka dengan lagu Chinese Democracy. Axl memang tidak banyak berinteraksi dengan penonton, namun Ron Bumblefoot sempat membuat saya tersenyum ketika mengajak penonton menyanyikan Indonesia Raya. Ya, dia memetik gitarnya dengan nada lagu kebangsaan kita sebelum masuk kepada intro lagu ballad Don't Cry. Nice one. Penonton lalu mulai berjingkrak dan sing along ketika lagu-lagu hits lawas mereka seperti Sweet Child ‘o Mine, November Rain, Patience, Knocking on heaven’s door, You Could be Mine dan ditutup dengan Paradise City dihadirkan.
Meskipun penampilan mereka luar biasa, namun tetap saja
ada ciri yang hilang dari GNR, yaitu nuansa blues.
Keberadaan tiga gitaris yang menurut saya berkarakter
hard rock membunuh jiwa blues yang sebenarnya membedakan band ini dengan
band-band sejenis lainnya. Suara tiga buah gitar yang terlalu bising -mungkin untuk
menutupi penurunan performa vokal Axl- dikombinasikan dengan ruangan tertutup nyatanya
malah menambah noise yang muncul
dari gitar, sehingga aroma klasik dan blues menjadi hilang. Missing Slash? Jelas.
Namun konser ini bagaimanapun adalah konser terkeren yang
pernah saya tonton. GNR adalah band dengan cita rasa komplit. Mereka punya lagu
keras, cepat dan bersemangat seperti Paradise City, everlasting seperti Sweet
Child o’mine, ballad menyayat November Rain. Menyaksikan konser mereka seperti
mengaduk-aduk mood, namun pada akhirnya menghasilkan mood positif.
Menyaksikan sang legenda Axl Rose langsung membawakan
lagu-lagu penuh kenangan adalah kepuasan tersendiri yang akhirnya menghilangkan
dahaga konser rock yang telah saya derita sepanjang tahun. Memang sempat “diganjal”
dengan performa Mike Portnoy and friends beberapa waktu lalu, namun GNR
tetaplah GNR.
Ya, GNR tetaplah GNR. No matter what they say.