Selasa, 18 Desember 2012

Masih tetap si Bedil dan Kembang

The Legend Axl Rose (Saya foto dari big screen)


Saya bukanlah tipe orang yang suka pada keramaian, kerumunan, klub atau perkumpulan. Saya tidak akan bergabung di kerumunan orang-orang yang menyaksikan shooting sinetron di mall, juga tidak akan bergabung dengan kerumunan orang-orang yang menyaksikan bencana kebakaran. Jarang sekali saya bisa ditemukan diantara itu. Namun jika anda melihat sekumpulan pria berbaju hitam, setengah gondrong, berusia 20an akhir keatas, dan menuju ke sebuah konser rock, anda mungkin dapat menemukan saya.

Dan weekend kemarin, saya bersyukur berada diantara 10 ribuan orang yang menyaksikan konser band rock legendaris, Guns ‘n Roses (GNR).

Sebagai band favorit nomor 5, tentu pantang bagi saya untuk tidak menyaksikan mereka secara langsung. Apalagi saya sudah kehilangan kesempatan menonton band favorit nomor 6, Dream Theater di awal tahun, juga ketiadaan multi-event Java Rockingland tahun ini.

Saya pergi sendirian karena banyak alasan. Saya mungkin hidup dan lahir di generasi yang salah karena tidak satupun teman saya dari teman SD hingga teman kantor yang mau saya ajak nonton konser ini. Alasan mereka bermacam-macam, dari alasan logis hingga mengada-ada. Tidak semua orang suka musik rock. Jadi walaupun harus pergi sendiri, tidak masalah. Pergi konser memang pada intinya untuk menonton, bukan untuk mengobrol. Sendiri atau bareng-bareng sama saja.

Anyway, konser The most dangerous band in the world ini sebetulnya sempat ditunda secara kontroversial. Jadwal asli 15 Desember di Lapangan D Senayan mendadak diubah menjadi keesokan harinya di MEIS Ancol siang hari. Itupun TMCPoldaMetro yang mengumumkan lewat twitternya, bukan si penyelenggara konser. Terjadi kekhawatiran bahwa konser akan dibatalkan secara sepihak oleh Axl, seperti yang kadang dilakukannya. Untungnya hal itu urung terjadi di Jakarta.

Konser yang sempat tertunda nyaris dua dekade ini seolah mengobati rasa kangen penggemar lawas mereka. Ketika itu kehadiran mereka dibatalkan karena beberapa waktu sebelumnya konser band papan atas lainnya yaitu Metallica yang datang lebih dulu berakhir rusuh. GNR yang dianggap memiliki massa yang saat itu lebih banyak dari Metallica pada akhirnya batal datang. Banyak penonton konser yang hanyut dalam nostalgia era sekolah mereka dimana mereka besar dengan mendengarkan musik ini, tidak seperti anak-anak sekarang yang besar dengan mendengarkan musik … ah sudahlah.

GNR sekarang bukanlah band sama yang beranggotakan Slash, Izzy Stradlin, Duff McKagan dan Steven Adler yang menghuni Rock and Roll Hall of Fame. Axl telah memecat mereka semua lalu mengibarkan bendera baru GNR dengan personel-personel pilihannya yang berjumlah 7 orang. (Itu band rock apa boyband pelanggan salon?).

Axl nampaknya harus menggunakan 3 orang gitaris (Richard Fortus, DJ Ashba dan Ron Bumblefoot Thal) untuk mengisi dua pos legendaris yang biasa ditempati Slash dan Izzy Stradlin. Sepanjang pengamatan saya, Axl memang menginstruksikan ketiga gitaris yang memiliki kemampuan setara sebagai lead guitarist itu untuk secara bergantian memainkan solo di setiap lagu. Saya ambil contoh di lagu ballad fenomenal November Rain, ketiga gitaris itu bergantian mengambil porsi solo di bagian tengah dan akhir lagu.

Sepertinya Axl memang menjaga supaya tidak ada yang terlalu menonjol diantara ketiganya, tidak seperti era Slash dulu dimana popularitas dan pengaruh sang lead guitarist berkharisma kuat mengimbangi sang vokalis. Terdapatnya dua kepala dalam satu band tersebut terbukti bukanlah hal yang baik.

Performa kelas atas layaknya world class band mereka bawakan selama lebih dari dua jam dan dengan komposisi dua puluhan lagu, meskipun konser rock ini menjadi seperti acara nonton bioskop karena tersedianya kursi empuk dan hembusan udara dingin yang berasal dari AC. Konser rock rasa pertunjukan drama musikal. Tek teretektektek dung dung tek jess! 

Konser ini dibuka dengan lagu Chinese Democracy. Axl memang tidak banyak berinteraksi dengan penonton, namun Ron Bumblefoot sempat membuat saya tersenyum ketika mengajak penonton menyanyikan Indonesia Raya. Ya, dia memetik gitarnya dengan nada lagu kebangsaan kita sebelum masuk kepada intro lagu ballad Don't Cry. Nice one. Penonton lalu mulai berjingkrak dan sing along ketika lagu-lagu hits lawas mereka seperti Sweet Child ‘o Mine, November Rain, Patience, Knocking on heaven’s door, You Could be Mine dan ditutup dengan Paradise City dihadirkan.

Meskipun penampilan mereka luar biasa, namun tetap saja ada ciri yang hilang dari GNR, yaitu nuansa blues.

Keberadaan tiga gitaris yang menurut saya berkarakter hard rock membunuh jiwa blues yang sebenarnya membedakan band ini dengan band-band sejenis lainnya. Suara tiga buah gitar yang terlalu bising -mungkin untuk menutupi penurunan performa vokal Axl- dikombinasikan dengan ruangan tertutup nyatanya malah menambah noise yang muncul dari gitar, sehingga aroma klasik dan blues menjadi hilang. Missing Slash? Jelas.

Namun konser ini bagaimanapun adalah konser terkeren yang pernah saya tonton. GNR adalah band dengan cita rasa komplit. Mereka punya lagu keras, cepat dan bersemangat seperti Paradise City, everlasting seperti Sweet Child o’mine, ballad menyayat November Rain. Menyaksikan konser mereka seperti mengaduk-aduk mood, namun pada akhirnya menghasilkan mood positif.

Menyaksikan sang legenda Axl Rose langsung membawakan lagu-lagu penuh kenangan adalah kepuasan tersendiri yang akhirnya menghilangkan dahaga konser rock yang telah saya derita sepanjang tahun. Memang sempat “diganjal” dengan performa Mike Portnoy and friends beberapa waktu lalu, namun GNR tetaplah GNR.

Ya, GNR tetaplah GNR. No matter what they say.