Rabu, 12 Desember 2012

Krusialnya sebuah kuantitas


Apakah anda termasuk orang yang mengabaikan kuantitas dan terlalu mengedepankan kualitas?

Salah satu teori ekonomi mikro yang saya masih ingat sedikit-sedikit adalah teori kepuasan konsumen, dimana intinya adalah kepuasan konsumen dapat diukur secara kuantitatif. Misalnya, sebut saja Tuan Joko. Tuan Joko yang baru selesai melakukan olah raga memesan segelas es kelapa muda. Ternyata segelas tidak cukup, maka ia menambah lagi pesanannya. Ia terus menambah hingga 3 gelas berikutnya. Di gelas kedua, ia mencapai kepuasan maksimum, namun masih ingin lagi gelas ketiga. Di gelas ketiga, kepuasannya menurun, dan di gelas keempat ia kembung. Penjual menawarkan segelas lagi, namun Tuan Joko sudah tidak kuat lagi.

Kepuasan konsumen, dalam hal ini manusia dalam beberapa aspek memang bisa diukur dalam kuantitas.

Dulu saya senang menyaksikan acara Empat Mata yang dibawakan oleh Host lucu, Tukul Arwana. Acara itu awalnya seminggu sekali. Lalu karena banyak menyedot atensi, maka jam tayang acara itu diperbanyak hingga ada setiap hari. Meski sempat tersandung kasus cipika-cipiki dan sempat dilarang tampil hingga harus berganti menjadi Bukan Empat Mata, acara tetap berkibar.

Namun kini acara itu tidak lagi seheboh awalnya, tidak lagi se-berkibar awalnya. Terlepas dari berbagai kontroversi yang ditimbulkan acara itu, rasanya penonton mulai bosan karena acara tersebut terlalu sering tayang. Acara yang terlalu sering tayang akan berkurang eksklusifitasnya. Akan mengurangi antusiasme dalam menontonnya. Komentar masygul “Elu lagi elu lagi” pasti lambat laun akan muncul. Bukan kualitas yang dikedapankan, tapi kuantitas.

Dulu waktu SMA, acara Pensi (Pentas Seni) selalu menampilkan band-band dari sekolah. Suatu saat semua orang tercengang dengan kemunculan gitaris handal yang bisa memainkan lagu-lagu Metallica, Guns ‘n Roses dan lainnya dengan baik. Ia seperti menjadi dewa gitar baru di sekolah. Namun ketika lama kelamaan ia menjadi besar kepala dan sering show-off di panggung, orang akhirnya malah mengenang kepongahannya ketimbang kehebatannya.

Lagi-lagi, itu karena ia tidak bisa mengukur kuantitas.

Tapi, kuantitas yang kurang juga berbahaya, misalnya dalam sebuah hubungan.

Saya sudah beberapa kali kehilangan kontak dengan teman saya karena tidak bisa menjaga kuantitas hubungan. Kuantitas yang kurang dari sebuah hubungan pertemanan hanya akan menyebabkan alienasi saja karena ketika kita bertemu langsung dengan orang itu, mungkin saja orang itu sudah menjadi sosok yang sama sekali berbeda dari yang kita kenal. Itu karena kuantitas dan intensitas yang kurang dipelihara.

“Tidur itu yang penting berkualitas.” Apakah anda setuju?

Nyatanya, tidur anda tidak berkualitas jika anda harus ‘balas dendam’ untuk tidur disaat weekend. Berarti badan anda menagih hutangnya kepada anda. Yang namanya tidur berkualitas ya harus diukur pula dari kuantitasnya. Mau 6 jam, atau 4 jam sehari, bahkan 8 jam. Itulah tidur. Kalau hanya sejam atau dua jam sih bukan tidur.

Semua itu membawa saya pada sebuah kesimpulan sederhana: Kuantitas itu perlu dijaga, sebaik kita menjaga kualitas.