Apakah anda termasuk orang yang mengabaikan kuantitas dan
terlalu mengedepankan kualitas?
Salah satu teori ekonomi mikro yang saya masih ingat
sedikit-sedikit adalah teori kepuasan konsumen, dimana intinya adalah kepuasan
konsumen dapat diukur secara kuantitatif. Misalnya, sebut saja Tuan Joko. Tuan Joko
yang baru selesai melakukan olah raga memesan segelas es kelapa muda. Ternyata segelas
tidak cukup, maka ia menambah lagi pesanannya. Ia terus menambah hingga 3 gelas
berikutnya. Di gelas kedua, ia mencapai kepuasan maksimum, namun masih ingin
lagi gelas ketiga. Di gelas ketiga, kepuasannya menurun, dan di gelas keempat
ia kembung. Penjual menawarkan segelas lagi, namun Tuan Joko sudah tidak kuat
lagi.
Kepuasan konsumen, dalam hal ini manusia dalam beberapa
aspek memang bisa diukur dalam kuantitas.
Dulu saya senang menyaksikan acara Empat Mata yang dibawakan
oleh Host lucu, Tukul Arwana. Acara itu awalnya seminggu sekali. Lalu karena
banyak menyedot atensi, maka jam tayang acara itu diperbanyak hingga ada setiap
hari. Meski sempat tersandung kasus cipika-cipiki dan sempat dilarang tampil
hingga harus berganti menjadi Bukan Empat Mata, acara tetap berkibar.
Namun kini acara itu tidak lagi seheboh awalnya, tidak lagi
se-berkibar awalnya. Terlepas dari berbagai kontroversi yang ditimbulkan acara
itu, rasanya penonton mulai bosan karena acara tersebut terlalu sering tayang. Acara
yang terlalu sering tayang akan berkurang eksklusifitasnya. Akan mengurangi
antusiasme dalam menontonnya. Komentar masygul “Elu lagi elu lagi” pasti lambat
laun akan muncul. Bukan kualitas yang dikedapankan, tapi kuantitas.
Dulu waktu SMA, acara Pensi (Pentas Seni) selalu menampilkan
band-band dari sekolah. Suatu saat semua orang tercengang dengan kemunculan
gitaris handal yang bisa memainkan lagu-lagu Metallica, Guns ‘n Roses dan
lainnya dengan baik. Ia seperti menjadi dewa gitar baru di sekolah. Namun ketika
lama kelamaan ia menjadi besar kepala dan sering show-off di panggung, orang
akhirnya malah mengenang kepongahannya ketimbang kehebatannya.
Lagi-lagi, itu karena ia tidak bisa mengukur kuantitas.
Tapi, kuantitas yang kurang juga berbahaya, misalnya dalam sebuah
hubungan.
Saya sudah beberapa kali kehilangan kontak dengan teman saya
karena tidak bisa menjaga kuantitas hubungan. Kuantitas yang kurang dari sebuah
hubungan pertemanan hanya akan menyebabkan alienasi saja karena ketika kita
bertemu langsung dengan orang itu, mungkin saja orang itu sudah menjadi sosok
yang sama sekali berbeda dari yang kita kenal. Itu karena kuantitas dan
intensitas yang kurang dipelihara.
“Tidur itu yang penting berkualitas.” Apakah anda setuju?
Nyatanya, tidur anda tidak berkualitas jika anda harus ‘balas
dendam’ untuk tidur disaat weekend. Berarti badan anda menagih hutangnya kepada
anda. Yang namanya tidur berkualitas ya harus diukur pula dari kuantitasnya. Mau
6 jam, atau 4 jam sehari, bahkan 8 jam. Itulah tidur. Kalau hanya sejam atau
dua jam sih bukan tidur.
Semua itu membawa saya pada sebuah kesimpulan sederhana: Kuantitas
itu perlu dijaga, sebaik kita menjaga kualitas.