Kamis, 15 Maret 2012

Si Tukang Peralat

Gue dulu punya teman yang suka mempengaruhi dan memperalat orang. Dia mempengaruhi teman-temannya mengenai potongan rambut yang bagus. "Sekarang jamannya spike, coy." Beberapa teman yang gampang terpengaruh besoknya langsung pergi ke tukang cukur banci, sebut saja namanya Nanda untuk mengurusi rambutnya. "Nan, di spike ya." Dan si Nanda dengan luwesnya menuruti permintaan temen-temen gue itu dengan gaya lenjenya. Tapi rambut teman gw yang menjadi korban provokasi itu jadinya malah kaya landak, karena bentuk kepala dan jenis rambutnya seperti itu.

Selanjutnya dia menyarankan untuk gak beli pizza merk A, karena menurut kakaknya, sausnya terlalu asam. Dia lalu menyarankan pizza merk B aja, yang udah biasa dimakan. Ternyata pas gue coba pizza merk A, lidah gue cocok-cocok aja. Dan gue heran dengan teman-teman gue yang menurut aja, padahal itu bahkan rekomendasi dari KAKAKNYA, bukan darinya. For God's sake.

Gak cukup, dia lalu mencoba pengaruhi orang dengan selera musiknya. Menurutnya, band emo itu keren. Tapi saat diputusin pacarnya, dia bilang Kerispatih lebih keren, dan dia mendengarkannya berulang-ulang sambil memandangi layar ponselnya, berharap mantan pacarnya menelpon.

Belum cukup, dia lalu merambah dunia film. Menurutnya film Salt itu gak keren, dan dia merekomendasikan untuk tidak menontonnya. Nyatanya, Salt adalah film konspirasi terbaik ever menurut gue.

Selain mempengaruhi, dia juga suka memperalat temannya sendiri. Pada suatu momen saat kumpul bareng di sebuah villa, dia dengan noraknya mengundang "local resident" kedalam area villa. Local resident itu kemudian digoda-goda, lalu dia kompori teman saya yang lain untuk "ngembat." Penyakit yang kronis, dan teman saya yang cuma jadi boneka itu mau saja diperalat. Gue deh yang bertindak sebagai orang menyebalkan dengan mengusir paksa "local resident" itu dan mengakhiri "pesta" norak mereka itu. Eh mereka marah. Kupret.

Familiar gak sih dengan situasi macam ini di bangsa kita? Kita bisa lihat sosok-sosok yang dianggap menyebalkan dan mengakhiri pesta norak itulah yang justru dimusuhi, sementara si tukang peralat tertawa dan bebas melenggang. Gak cuma itu, mereka lantas mengaburkan opini dan memecah belah.

Dilihat dari kacamata sepakbola nasional, tokoh-tokoh tukang peralat orang itulah yang kini berkeliaran. Mereka berkeliaran di social media, dimana informasi berkumpul dan berkembang secepat mobil formula satu. PSSI vs KPSI, IPL vs ISL, dan tentunya simpatisan-simpatisan mereka yang seperti saling melempar golok, celurit dan bom di ranah social media dan juga media citizenship journalism.

Mereka menulis artikel panjang lebar untuk membela kelompok mereka dan menjatuhkan kelompok lainnya. Mereka juga nge-twit dan bikin status FB yang memojokkan kelompok yang mereka anggap musuh. Twitwar terus, siram bensin terus. Buat mereka, bukan bangsa ini yang lebih penting, melainkan kelompok mereka diatas segalanya.

Thread-thread berisi ejekan dan celaan tidak lupa mereka bungkus rapi dengan kecintaan mereka kepada sepakbola. Orang-orang itu mengaku cinta sepakbola, tapi kenapa mereka malah merusaknya? Setiap ada kejadian tidak mengenakkan yang menimpa timnas, kedua kubu itu saling serang. "Beginilah timnas yang tidak diisi pemain-pemain terbaik." begitu kata si pro ISL. Dibalas dengan tangkas oleh simpatisan IPL "Ah dulu waktu diisi pemain-pemain ISL juga kalah terus." Sebutan liga tarkam, liga mafia, liga tidak laku, liga sepi penonton adalah kata-kata yang lebih sering kita dengar ketimbang hal-hal positif yang terjadi. Stasiun TV dan komentatorpun begitu, padahal mereka adalah corong informasi yang seharusnya bisa mempersatukan, bukannya memperkeruh keadaan.

Dan lagi-lagi, si tukang peralat hanya senyum-senyum saja menyaksikan pion-pion mereka bertarung di social media.