Kamis, 08 Maret 2012

The Consultant

Sudah melewati minggu pertama di korporasi baru ini, belom banyak yang bisa gue simpulkan. Gue belom nge-grip sama yang disini. Belom punya temen yang bener-bener bisa dipercaya dan belom ada kegiatan casual yang bisa bikin gue tau apa isi dibalik topeng-topeng ini. Udah dua sesi futsal gue gak bisa join. Pertama gara-gara itu terjadi di first day, gak mungkin juga kan pas hari pertama udah bawa-bawa sepatu futsal kekantor. Yang kedua harusnya hari ini, tapi karena sepertinya udah banyak kerjaan dan kondisi badan lagi ngedrop, sepertinya gue absen lagi, gagal lagi deh ngejajal kemampuan anak-anak ini. Makin sakaw deh sama futsal. Nasib.

Gue mau coba ceritain gimana kerjaan lama gue sebagai konsultan, tepat sebelum kerja disini. Gue belom konsultan sih tepatnya, yang konsultan itu bos-bos gue yang udah punya izin praktek. Gue waktu itu cuma karyawan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa konsultasi perpajakan, mungkin itu bahasa resminya. Lalu, beberapa orang pada heran apa sih yang kami kerjain sampe kadang harus pulang pagi. Karena kalo di perusahaan pada umumnya jam kerjanya adalah 8 to 5, kalo di konsultan bisa dibilang no limit.

Di kantor konsultan, kerjaannya sebenernya gak seribet dan sedetail di perusahaan pada umumnya. Cuma ya banyaknya naujubile. Sampah di bantar gebang aja kalah banyak. Pekerjaan kami adalah membantu klien kami, yaitu perusahaan-perusahaan atau perorangan dalam menyelesaikan kewajiban perpajakannya. Kami membantu bikinin hitungan pajak atau perencanaan pajak yang meminimalisir pengeluaran klien tapi tetap berada pada koridor aturan yang berlaku (cie elaahh preettt...bahasanya bahasa diktat kuliah manajemen perpajakan banget sih). Kami juga ngebantuin klien yang sedang mengalami kasus perpajakan dengan kantor pajak. Kalo banyak yang bilang kerjaan kami merugikan negara karena jadi bikin klien kami bayarnya sedikit, itu gak sepenuhnya benar. Kami bekerja apa adanya, kalo emang harus bayar ya bayar, tapi kalo emang gak ada yang harus dibayar ya jangan disuruh bayar dong. Pokoknya, kita menjembatani kepentingan negara dan warganya deh. (Preeettt lagi - ini blog personal apa blog pajak sih).

Satu orang tuh bisa pegang sampe 10 klien untuk ngerjain kerjaan tahunan, dan tambahan beberapa company lagi untuk kerjaan harian dan bulanan, dan semakin bagus kerja lo biasanya semakin banyak lo dikasih kerjaan sama bos lo. Ada lagi kerjaan yang sifatnya case by case atau tax dispute. Dan di konsultan itu kita kerjanya sama banyak bos. Itu yang sering bikin pusing. Dengan karakter bos-bos yang beda-beda tapi kebanyakan demanding, kitalah yang sebagai cecunguk kacung kampret jadi kalang kabut. Mereka gak peduli gimana kita harus nyelesain kerjaan yang mereka kasih, mau pulang kek mau gak pulang kek, mau buka kamar di hotel sebelah kek yang penting kerjaan mereka beres dan nama mereka selamat. Yah mereka sebenernya begitu karena tuntutan sih. Selalu ada atasan diatas atasan. Nah, atasannya atasan itulah yang membuat atasan kita jadi demanding. Kita punya masalah, begitupun mereka. Begitulah keadaannya. Life is hard, and it's getting harder.

Sering kali ada hari dimana kita low-loaded di pagi hingga siang hari. Logis dong kalo kita berharap bisa pulang tenggo. Disinilah drama terjadi. Rencana-rencana indah yang udah kita susun sama pacar atau istri, atau mau kongkow sama temen-temen lama, atau mau main futsal jadi pudar byar. Tiba-tiba setengah jam sebelum pulang datanglah email berisi data dari klien, dan klien itu dengan seenak udelnya bilang. "Please return to us with the updated calculation by tomorrow morning." Dan bos kita otomatis langsung pasang gembok didepan pintu serta barikade penghalang didepan lift supaya kita gak bisa pulang. Lebay? yaiyalah lebay, kalo gak lebay ya jangan jadi penulis, jadi konsultan aja. Hahaha.

Salah satu yang bikin stress lainnya adalah target. Sehubungan dengan ini, setiap konsultan mungkin memiliki tools masing-masing untuk mengukur kinerja karyawannya. Kami menggunakan sebuah software yang sudah kesohor namanya, sebut saja SUP. Dengan program itu, kami diberi target minimum 65% utilization target. Maksudnya waktu kami setiap harinya harus dialokasikan minimal 65% untuk pekerjaan yang chargeable. Apa maksudnya chargeable? Itu mengacu pada pekerjaan yang efektif kita lakukan untuk klien kita. Kadang kita terlena sama yang namanya ngobrol sama temen, ke toilet, beres-beres meja, browsing, ngegosip, ngurus outing atau ngemil. Dan semua itu bukanlah masuk hitungan chargeable hours. Setiap pekerjaan yang kita lakukan harus dicatat di time report yang terkoneksi dengan SUP itu. Dan jika kita gak mengisinya, konsekuensinya sungguh kejam, yaitu gaji kita akan ditahan! Kasian ya, udah disuruh kerja capek-capek, eh gara-gara gak ngisi laporan malah gak digaji. Nasib.

Umumnya setiap pekerjaan memiliki standar fee yang dipatok. Nah, jika kita kerja terlalu lama, perusahaan akan menagih klien terlalu besar dari yang sebelumnya disepakati di proposal. Perusahaan tidak mau itu terjadi, maka solusinya mereka menghapus-hapus yang dinamakan WIP (Work in Process) yang mencakup pekerjaan kita yang over-charged itu. Hal inilah yang mempengaruhi jumlah penerimaan (revenue) perusahaan. Kalo revenue turun atau tidak mencapai target, siap-siap aja dapet bonus ala kadarnya, siap-siap aja dapet kata-kata pelipur lara dari bos, siap-siap aja gak ada outing. Dan yang tadi, kalo kita kebanyakan charge di time report, kita bisa aja dipanggil manager lalu ditanyain. "Kok elo banyak banget sih nge-charge buat pekerjaan ini? Apa iya selama itu ngerjainnya?"

Selain fakta itu, kami dihadapkan pada penilaian kinerja setiap akhir tahun buku. Disinilah nasib kami ditentukan berdasarkan hasil kerja kami selama setahun. Syarat-syarat kuantitatif macam target minimum 65% utilization maupun training hours jadi patokan pertama. Selanjutnya adalah hal lainnya menyangkut kinerja, pencapaian-pencapaian tertentu dan juga hubungan dengan atasan. Disini atasan seperti dewa yang bisa menentukan nasib kita, hubungan jelek dengan mereka bisa berakibat tidak tertolongnya kita pada rapat tahunan promosi jabatan. Dan bagi sebagian orang, jabatan ini adalah segalanya. Perasaan kecewa jika tidak dipromosi memang hal wajar, tapi menjadi tidak wajar kalau segala sesuatunya dikaitkan dengan hal ini. Saya pernah terjebak di sebuah percakapan di taksi. Pas mau turun dan bayar ongkos, salah seorang teman bilang. "Eh elo yang udah senior masa bayarnya lebih kecil daripada yang masih junior." Sakit kan?

Buat orang yang berambisi akut itulah kadang-kadang mereka bersikap menyebalkan dan tidak seperti dirinya yang asli. Jabatan yang membutakan membuat orang baik bisa berubah 180 derajat. Hal itu mungkin juga berpengaruh kepada pembawaan masing-masing atasan. Ada yang cerewet ada yang kalem, ada yang masa bodo ada yang bijak, ada yang cool ada yang moody.

Dan dalam situasi jeleknya, saat kita melakukan pekerjaan untuk Manager A, lalu datang Manager B menambah pekerjaan kita, dan selanjutnya Manager C menanyakan progress pekerjaannya. Disini memang seperti tabu ya nolak kerjaan. Saat kita sedang follow-up pekerjaan dari Manager C karena dia bilang "Tolong dong di follow up, udah mau deadline nih." Tiba-tiba Manager A datang "Eh, gimana yang kemaren gue suruh udah selesai belom?" Belom lagi manager B yang tiba-tiba email dan Cc ke Partner (bosnya Manager) yang bilang "Please send me your working paper for my review by today!" dan tidak lupa juga di email itu ditambahkan "pentungan" atau tanda seru merah ber-icon "High Important" Belom lagi kalo ketemu klien yang bawel, orang pajak yang keras atau auditor yang suka nge-push. Gimana gak mabok tuh? Hahaha.

Tingkatan stres tinggi bikin kita lupa sama kehidupan diluar kantor, karena 80% hidup kita sepertinya harus tercurah disini. Jiwa, raga, social life, dan segalanya kita serahkan kepada kantor. Believe it or not, banyak yang kisah asmaranya terombang ambing gara-gara pasangannya terlalu sibuk kerja, lebih milih kerja daripada pacaran. Kalo lagi sibuk, jangan coba-coba nelpon kami, karena kami gak akan segan-segan buat cuekin. Telpon yang kami sudi untuk terima hanya telpon dari klien, orang yang kami bersedia untuk ajak bicara hanyalah bos kami. Harsh reality. We are practically married to our job.

Sisi positifnya, kami juga makin deket sama teman seperjuangan. Seringnya lembur bareng dan susah bareng-bareng emang gak heran kalo kami jadi super kompak. Ada benernya kalo lingkaran pertemanan di konsultan ya bener-bener sama temen kantor aja, karena yang bisa ketemu tiap hari ya memang itu-itu saja. Bersama teman-teman inilah kami gak mengenal istilah sikut-sikutan, yang ada malah saling membantu. Usia yang gak terpaut jauh juga bikin cepet nyambung dan deket. Hal inilah yang umumnya bikin kita tetep bertahan dikantor konsultan. Semua teman saya pada umumnya bilang "Cuma lingkungan yang bikin gue bertahan disini."

Bekerja di konsultan, jika dipandang dengan bijak dan berimbang, juga menghasilkan kesempatan dan kompetensi yang lebih besar. Kebiasaan dan etos kerja tinggi yang tertanam sejak bekerja di konsultan, akan membentuk kita menjadi pekerja yang bisa diandalkan. Kebiasaan berada dibawah tekanan, akan menjadikan kita pekerja yang tangguh dan tahan banting. Banyak pula figur yang patut dicontoh disini. Para bos kami yang teliti, detail, smart, sabar, tangguh dan hebat adalah sosok-sosok yang kami temui sehari-hari, dan banyak hal yang bisa kami contoh keteladanan dari mereka (mestinya sih begitu ya)

Itulah The Consultant. Ibarat tentara, mereka adalah Kopasus, mereka bekerja diluar kebiasaan dan jam kerja mereka diluar kewajaran. Dan mereka yang mampu mencapai tahap kesuksesan di dunia itu patut berbangga. Segala pengorbanan, pasti ada hasilnya. Mereka mirip Jose Mourinho. The special one. Untuk para istri, suami, pacar, gebetan, orang tua, kakek, nenek sabar ya. Doa kami cuma dua pilihannya, kuatkan kami bertahan disini, atau keluarkan kami dari sini.

Sekian dulu.