Senin, 26 Maret 2012

Jas Merah, Jangan sesekali melupakan sejarah

Oke, saya akan mulai tulisan ini dengan berkata jujur bahwa saya tidak membuka wikipedia, google ataupun buku pintar. Ini semua adalah ingatan dan hasil membaca dari dulu. Gaborone adalah ibukota Bostwana, Bujumbura adalah ibukota Burundi, Baku adalah ibukota Azerbaijan, Nassau adalah ibukota Bahamas. Bandara Douala adalah yang terjelek di Afrika, seperti halnya Charles de Gaulle di Eropa.


Semua itu bukan apa-apa, bukan sok pintar, bukan mau show-off. Itu hanyalah ketertarikan saya kepada places, atau nama tempat-tempat di dunia. Dunia yang bahkan saya belum pernah jelajahi. Banyak yang bilang bahwa ingatan-ingatan ini hanyalah tumpukan informasi yang tidak berguna dan layak dibuang, waste of brain capacity.


Mungkin mereka pikir harusnya saya membuang itu semua, sebagai karyawan yang berkarir di bidang pajak, saya seharusnya hapal Undang-Undang Pajak, PSAK, OECD model atau sejenisnya supaya bisa menunjang karir. Atau mereka pikir mungkin lebih baik saya menghapal judul-judul lagu yang sedang trend, nama band baru beraliran emo, nama restoran bagus, nama makanan enak, nama minuman enak, judul film drama cinta picisan, atau jadwal sale produk lifestyle supaya saya jadi orang yang mencerminkan gaya kekotaan. Pekerja ibukota. Metropolis. Meteroseksual. Metromini. You named it.


Menguasai bidang pekerjaan sepenuhnya dan mengenal lifestyle modern. Sepertinya itu ada di "manual book" para middle class worker, yang berupaya untuk meraih posisi top management secepatnya, lalu meraih yang dinamakan "sky limit income". Pengetahuan lainnya? Kebudayaan? Sejarah? Politik? Tidak penting. Okelah mungkin penting sih, buat ngobrol sama relasi. Supaya terkesan peduli.


I don't think so. Jika memang ini adalah mainstream, saya pilih melawan arus itu. Ketertarikan pada tempat-tempat dan ibukota di dunia itu membawa ketertarikan saya pada sesuatu yang menempel pada tempat-tempat itu. Sesuatu yang membentuk tempat itu menjadi seperti sekarang yaitu: SEJARAH.


Mungkin waktu sekolah kita udah cukup muak sama pelajaran ini. Menghapal nama, tahun, nama tempat sepertinya bukan sesuatu yang menarik buat anak-anak tanggung yang lebih suka pergi ke mall (suka ke mall sih sampai sekarang ya). Karena ya kita hanya menghapal tanpa tahu maksudnya. Pertanyaannya adalah "bagaimana" atau "apa" bukanlah "kenapa".


Atau kita menganggap sejarah hanyalah dongeng masa lampau yang tidak ada gunanya lagi untuk dibicarakan sekarang, toh semua sudah lewat. Kita mengalir saja seperti air, melangkah kedepan and don't look back in anger. Apakah begitu?


Padahal, lebih menarik kalau kita bertanya kenapa Eropa sempat mengalami Dark Ages dimana Paris dan London hanyalah kampung yang dihuni sekitar 30.000 orang yang di malam harinya menyeramkan. Kenapa di malam hari orang tua mereka melarang untuk pergi keluar rumah dengan alasan ada hantu tanpa kepala bergentayangan, lalu ada makhluk buas bernama naga penyembur api yang suka memangsa siapapun yang lewat.


Tahukah Anda bahwa di Eropa saat itu tidak ada lampu dijalan, pengobatan mengandalkan dukun dan semua penyakit dikaitkan dengan hal mistis. Eropa pernah mengalami hal itu sebelum seperti sekarang, sebelum mengalami masa renaisans.


Mereka lebih suka menyebut era itu sebagai "Middle Ages" ketimbang dark ages yang seperti aib. Di era itu, mereka tidak bisa baca tulis karena buku sangatlah mahal dan jarang. Mahal karena kertas mereka terbuat dari bulu domba yang mereka namakan perkamen. Buku hanya tersedia di biara, itupun tidak dibaca dan dijaga ketat karena takut dicuri. Sebuah peradaban yang terbelakang.


Mereka begitu karena kehancuran Romawi. Kemahsyuran era romawi yang kaya pengetahuan dan kebijakan sirna oleh suku barbar keji yang membakar buku-buku mereka, menghabisi warisan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari berabad-abad, berbagai buah pikiran yang tertuang di buku, lukisan maupun karya seni dihancurkan dengan keji. Bangsa Eropa kemudian gelap, tanpa ilmu. Kenapa mereka yang tangguh dan hebat itu bisa luluh lantak ditangan suku tak berotak? Itu karena mabuk kekuasaan. Situasi aman dan seolah tanpa musuh membuat mereka terlena.


Para penghuni istana megah itu hanya bersenang-senang, mabuk, makan hingga kekenyangan dan perut mereka buncit, bersenang-senang dengan wanita-wanita. Begitu setiap hari hingga tidak sadar akan bahaya yang mengintai dari luar dan kealpaan mereka akan pertahanan negara.


Dan ingatkah disaat jaman kegelapan bangsa Eropa itu terdapat sebuah peradaban yang jauh lebih modern. Buku mereka banyak, filsuf dan orang alim dimana-mana, kehidupan istana yang mewah dan kota-kota mereka seperti dongeng?


Itulah Baghdad. Kota 1001 malam. Dan Baghdad kala itu memiliki kekuasaan yang melebihi luasnya imperium romanum. Kekhalifahan yang super-besar pengaruhnya hingga ke Eropa selatan, Afrika utara, India hingga kepulauan Nusantara. Kekhalifahan yang berperan menjadikan Indonesia sebagai negara paling banyak penganut agama Islam di dunia. Kekhalifahan itu pula menelurkan nama-nama mahsyur di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu tokoh mereka yaitu Ibnu Sina di bidang kedokteran, yang kemudian oleh bangsa Eropa dikenal sebagai Avicenna, akan melatarbelangi berdirinya Universitas Salerno sebagai pusat pengetahuan kedokteran Eropa.


Dan mengapa kekhalifahan besar itu runtuh? Sama seperti Romawi, kesenangan yang tiada bataslah yang membuat mereka hancur. Dan sungguh familiar di saat ini, bahwa faktor terbesar penghancur suatu bangsa adalah KORUPSI. Itulah yang terjadi menjelang akhir khalifah Abbasyiah di Baghdad ditangan bangsa tangguh dan kejam bernama Mongolia. Kekuasaan yang tidak terbatas membuat semua orang ingin menjadi Sultan, ingin sekaya Sultan.


Akibatnya, terjadilah korupsi di pemerintahan daerah, dan berakibat pula disintegrasi diantara mereka. Kekuatan yang terpecah belah terendus oleh bangsa lain, dan hanya menunggu waktu yang tepat saja bagi mereka untuk melakukan serangan. Kekhalifahan yang besar itu hancur oleh tangan-tangan mereka sendiri.


Lalu bagaimana kisah Perang Salib yang merupakan perang paling banyak memakan korban jiwa sepanjanh sejarah umat manusia? Seperti apa Yerusalem? Mengapa terjadi konflik yang tidak pernah selesai di tanah yang dianggap suci oleh tiga agama itu? Jika kita paham sejarah, tentu kita tahu semua jawabannya. Dan dengan pemahaman serta kecanggihan teknologi sekarang, seharusnya kita bisa saling membantu dan membuat hidup lebih baik.


Tapi apa yang terjadi? Bagai jauh panggang dari api, pertarungan menyangkut siapa yang lebih unggul masih saja terjadi. Memang sudah sifat manusia bahwa mereka hanya ingin tinggal dengan sesamanya. Sejarah juga mencatat bagaimana paham Nazisme, Fasisme, Komunisme, hingga gerakan macam xenophobia muncul. Inilah salah satu masalah mendasar dunia.


Seandainya para pemimpin kita belajar sejarah dengan benar, mereka seharusnya tidak mengulangi kesalahan para pendahulu. Mereka tidak akan korup, tidak akan bermewah-mewahan secara berlebihan. Seandainya rakyat juga belajar mengenai betapa buruknya akibat dari perilaku paham sempit, mungkin kekerasan tidak perlu terjadi. Semua itu bisa dipelajari dari sejarah.


Seandainya kita semua memaknai slogan Jas Merah seutuhnya. Jas Merah, jangan sesekali melupakan sejarah. Dengan mengetahui yang terjadi di masa lalu, kita bisa melangkah lebih baik. Memiliki gagasan lebih produktif untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik, dan tidak mengulangi kesalahan di masa lampau.


Seandainya..