Sepuluh tahun bukanlah waktu yang
singkat untuk menjalani profesi yang sama. Menurut saya, ada dua alasan mendasar
mengapa seseorang rela menjalani periode satu dekade untuk melakoni perjalanan
di bidang keahlian yang sama itu. Alasan pertama, tentu saja karena orang ini
memang mencintai pekerjaannya sehingga pekerjaan itu terasa seperti hobi. Namun
tidak semua orang memiliki keberuntungan semacam ini.
Untuk alasan kedua, lebih karena naluri
dasar untuk bertahan hidup. Dengan kata lain, bagi manusia modern seperti kita
adalah untuk mencari uang. Boleh jadi seseorang tidak terlalu menyukai
pekerjaannya, namun karena ia membutuhkan uang, maka ia pun bekerja. Saya
yakin, lebih banyak orang yang menjalani kehidupan seperti ini.
Saya termasuk yang seperti orang
kebanyakan, dan bidang yang saya maksud adalah pajak. Tapi hanya karena
pekerjaan ini bukanlah yang menjadi passion,
menjalaninya juga tidak dengan main-main, bukan? Bersyukur aja, karena separah-parahnya
tekanan pekerjaan yang dijalani, masih jauh lebih baik ketimbang tidak ada
pekerjaan sama sekali.
Tentang saya dan pajak, sebenarnya
sudah seperti sebuah hubungan percintaan yang dipaksakan. Dijalani karena
memang logis untuk dijalani, dilakukan karena memang harus dilakukan.
Dulu, saya memang kuliah di
jurusan pajak di sebuah universitas. Artinya, pekerjaan saya sudah sesuai
dengan latar belakang pendidikan. Namun bersekolahnya saya di jurusan ini bukan
didasari keinginan. Saat duduk di bangku SMP dan SMA, saya begitu kepingin
menjadi pesepak bola profesional. Saking kepinginnya, saya sampai tidak pernah
membayangkan profesi lain, boro-boro kepikiran jadi ahli pajak.
Adalah campur tangan Tuhan yang
membuat saya berakhir di jurusan ini. Ketika itu tahun 2001, saya hendak
membeli formulir program Diploma Tiga untuk saya jadikan cadangan andai gagal
jebol UMPTN (tuh, dari nama UMPTN aja keliatan generasinya).
Dari rumah, saya belum tahu mau
membeli formulir jurusan apa. Tapi pastinya, saya tidak suka pelajaran
akuntansi, jadi saya tidak akan membeli formulir Program Studi Akuntansi. Pada
saat itu, saya juga tidak berminat dengan program studi di fakultas MIPA, FKM,
Hukum, atau Sastra. Jadinya ke mana dong?
Pada pemberhentian fakultas
terakhir, saya mendatangi kampus oranye FISIP. Saya sengaja melewatkan
Departemen Ilmu Komunikasi karena pada saat itu tidak tertarik, dan langsung
menuju Departemen Ilmu Administrasi.
Di Departemen ini, saya harus
memilih satu di antara empat jurusan. Waktu itu, satu formulir dihargai seratus
ribu rupiah, dan karena saya tidak mengecek informasi, seratus ribu rupiah
adalah uang yang ngepas di kantong celana. Saya pun hanya bisa membeli satu
formulir saja.
Entah apa yang merasuki pikiran
saya, namun logika saya pada saat itu berkata Administrasi Perpajakan lah yang
terdengar paling masuk akal dibanding tiga jurusan lainnya. Setelah mengikuti
ujian masuk, ternyata saya diterima. Sedangkan hasil UMPTN saya nihil, alias
tidak lulus. Ya sudahlah saya jalani saja yang ini.
Selesai kah persoalan? Tidak.
Begitu mengikuti perkuliahan,
saya kaget betul ternyata di jurusan ini begitu banyak mata kuliah Akuntansi.
Saya merasa terjebak dan salah pilih jurusan. Tahun kedua, sebetulnya saya
mencoba ikut lagi UMPTN, dan saat itu berhasil diterima di jurusan Ilmu Ekonomi
di sebuah universitas di kota Bandung, tapi pada waktu itu saya memutuskan
untuk tidak mengambilnya dan tetap setia di jurusan pajak (why of why??).
Saya pun melanjutkan kuliah
dengan santai. Sebagaimana mahasiswa yang pasif dan cenderung cuek, saya tidak
aktif di kelas, juga tidak mengikuti organisasi kemahasiswaan. Rambut juga saya
gondrong dan di kampus saya sering mengenakan sendal jepit, makin mengesankan
mahasiswa yang santai dan sedikit urakan. Saya menjalani prinsip seadanya ala survivor: kuliah mah yang penting lulus,
dan yang penting gak dapat nilai yang jelek-jelek amat.
Selepas lulus Diploma Tiga dengan
IPK standar, saya mendaftar ke program Ekstensi agar bisa memperoleh gelar
sarjana. Lagi-lagi saya memilih pajak karena masih gak suka dengan akuntansi.
Kuliah ekstensi berlangsung pada malam hari. Siang hari semestinya bisa
dimanfaatkan sambil bekerja, seperti yang dilakukan teman-teman saya pada umumnya.
Tapi waktu itu saya begitu malas melakukannya.
Dalam waktu dua setengah tahun,
saya menyelesaikan program ini hingga menjadi sarjana, dengan IPK yang sedikit
lebih baik ketimbang waktu masih di D3. Total, lima setengah tahun saya
habiskan di bangku kuliah, tanpa sedikit pun pengalaman kerja. Usia pun sudah
23 tahun, sudah terlalu tua untuk tidak melakukan apa-apa. Saya pun akhirnya menyerah
untuk mengejar impian-impian kosong idealis, lalu mulai menerima realita dengan
mencari pekerjaan kantoran. Kesadaran yang tentu saja telat banget.
Dalam pencarian itu, sepupu saya kemudian
mengenalkan saya dengan temannya yang bekerja sebagai manager di sebuah kantor konsultan pajak 2nd tier berinisial MRI. Saya pun menjalani serangkaian
tes, lalu diterima bekerja di sana.
Dulu saya punya bayangan
mengerikan akan dunia kerja kantoran. Atasan yang galak, senior yang judes, lingkungan
kerja yang saling sikut, kemacetan di jalan, juga jam kerja yang tidak kenal
waktu hanya untuk mendapatkan bayaran yang tidak seberapa adalah bayangan saya
akan dunia kerja.
Di MRI lah, nyatanya saya menemui
semua ketakutan. Bahkan lebih dari yang saya takutkan.
Saya punya pengalaman unik yang
masih saya ingat betul. Suatu ketika, saya menghadapi deadline pembayaran pajak bulanan. Klien baru mengonfirmasi
kalkulasi pajak yang dikirim sehari sebelumnya, sehingga pembayaran pajak harus
dilakukan dengan cara menyetor tunai secara manual (langsung) ke loket teller bank paling lambat jam 9 pagi.
Parahnya, bank milik klien adalah
bank BNI di Jl. Blora, sementara tempat setor pajak di HSBC Menara World Trade
Center, Sudirman. Klien kemudian mengirimkan stafnya untuk menarik dana dari
BNI Blora, lalu menyerahkan ke teman saya yang sudah menunggu di sana dengan
mengendarai sepeda motor. Uang ratusan juta rupiah itu ditarik pada pukul 8
pagi, lalu diserahkan ke teman saya menggunakan plastik kresek agar tidak
terlalu mencolok.
Setelahnya, saya menunggu teman
saya itu di trotoar depan HSBC dalam proses handover
plastik kresek berisi uang yang begitu mendebarkan, lalu menyerahkannya kepada
petugas bank sebelum jam 9. Seingat saya, momen itu adalah salah satu morning rush paling parah yang pernah
saya jalani selama 10 tahun bekerja. Bikin lemas!
Namun tidak dapat dipungkiri, di kantor
MRI itulah saya banyak belajar beneran. Dibentak-bentak klien, diomelin atasan,
hingga dikejar-kejar petugas pajak sudah menjadi makanan sehari-hari. Saya jadi
tahu betul rasanya menduduki posisi paling bawah dalam mata rantai ala sistem
korporasi kapitalis. Jakarta itu keras, man! Nyari duit itu susahnya bukan
main!
Selang beberapa bulan, saya
mendapat peluang kerja yang baru. Sebuah kantor konsultan pajak big 4 yang namanya mirip band lawas itu
membuka lowongan besar-besaran. Saya yang sudah merasa tercebur di dunia
konsultan akhirnya berpikir untuk sekalian aja masuk ke “kolam” yang lebih
besar. Tanpa ekspektasi berlebih, saya pun menjalani proses rekrutmen, dan
akhirnya.. diterima.
Tahun-tahun pertama menjadi “ikan
kecil di kolam besar” saya jalani dengan sukacita. Namanya kantor besar, prosedur
kerjanya tentu lebih rapi. Seluruh “ikan” mendapatkan porsi makannya masing-masing,
bagaikan ikan cupang yang sudah sengaja dipisah-pisahkan di botol air mineral
bekas oleh pemiliknya.
Saya juga menemukan kumpulan
teman sepantar yang cocok, jadi walaupun beban pekerjaan lebih berat, namun
saya merasa betah dengan lingkungan kerjanya. Bersama teman-teman ini, saya
tetap bisa bermain sepak bola, bermain musik dan jalan-jalan. Bekerja di
lingkungan seperti ini membuat waktu berjalan terasa cepat. Tanpa terasa, lima
tahun sudah saya berada di dunia konsultan pajak.
Tapi ternyata, saya kemudiian
merasa ‘mentok’. Setelah menjalani tahun-tahun yang lumayan menyenangkan, saya
kemudian mempertanyakan banyak hal, sehingga merasa bahwa menjadi konsultan
pajak bukan lagi menjadi jalan hidup.
Bekerja di kantor konsultan sebesar
ini ternyata membentuk work ethic
sekaligus gaya bekerja. Saya bukanlah tipe karyawan teladan yang akan datang
tepat waktu ke kantor, lalu pulang pada jam yang ditetapkan. Sebagai
profesional, kita dibayar bukan dari kuantitas jam kerja, tetapi bagaimana
kualitasnya (aseek). Jam kerja semestinya memang fleksibel. Buat saya, yang
penting adalah bagaimana bertanggung jawab pada pekerjaan, menghargai tenggat
waktu, terus memacu diri untuk berkembang dan mampu bekerjasama sebagai bagian
tim yang solid (udah mirip slogan program indoktrinasi, belum?).
Pada Tahun 2012, saya memutuskan
pindah ke sebuah perusahaan manufaktur lokal yang sahamnya dimiliki pihak
asing. Di perusahaan ini, sebetulnya saya mengerjakan hal yang tidak berbeda
ketimbang di konsultan dulu, hanya saja ruang lingkupnya yang lebih terfokus.
Tapi kalau berbicara lingkungan pekerjaan, setelah menjalani empat tahun, saya masih
merasa lebih cocok dengan lingkungan kerja di konsultan yang memiliki
fleksibilitas tinggi itu.
Tahun 2017 mendatang menandai
tepat sepuluh tahun saya bekerja di bidang perpajakan. Bidang yang sudah saya
jalani dengan berbagai suka dan duka, kegagalan dan keberhasilan. Untuk ukuran
anak yang dulunya malas, santai, dan gak jelas, saya sendiri kaget masih bisa
berjalan dan bertahan sejauh dan selama ini. Anggap aja rejeki anak soleh.
Apakah sepuluh tahun berikutnya masih
akan saya habiskan sebagai pegawai pajak di perusahaan swasta, atau kembali ke
dunia konsultan? Atau bahkan beralih profesi menjadi pengembang start-up, atau menjadi penulis sepak bola, atau menjadi guru, atau jualan makanan? Saya juga belum tahu. Tapi yang jelas, saya
berterimakasih untuk semua teman, atasan, klien, dan semua pihak yang sengaja
saya tidak sebutkan namanya, tapi pernah berkoneksi dan berkolaborasi secara
profesional.