Mata
saya berbinar seperti Crayon Sinchan yang melihat Kak Nanako ketika melihat
iklan di salah satu akun instagram. Akun ini tidak menjual kaos, dompet atau
sepatu, apalagi pelangsing, pemutih dan pembesar ini-itu. Yang dia jual adalah mainan
konsol lawas! Konsol lawas ini macam-macam. Ada konsol generasi kedua yaitu
Atari yang pertama kali diluncurkan tahun 1976. Lalu ada generasi ketiga dan
keempat yaitu Nintendo, Sega dan Super Nintendo yang keluar tahun 90an.
Ada
pula konsol portable semacam Gamewatch (atau Gimbot, kalo anak Jakarta bilang),
lalu ada Game Boy dan Game Gear. Terakhir, ada pula yang mulai canggih
gambarnya seperti Sega Saturn, Nintendo 64 dan Sony Playstation edisi pertama. Lengkap
dengan stik, adaptor dan kabel video yang masih berfungsi, konsol-konsol ini
dibanderol dengan harga mulai dari 250 ribu hingga 750 ribu rupiah. Jumlah yang
cukup mahal untuk membeli sepenggal dua penggal memori masa kanak-kanak.
Dari
seluruh konsol tadi, saya paling berkesan dengan Super Nintendo. Alasannya
sederhana, karena banyak game Super Nintendo yang saya suka dan masih ingat
sampai sekarang, misalnya Super Mario World, Goof Troop, Killer Instinct,
International Superstar Soccer, Captain Commando, Biker Mice From Mars, Street Fighter, Fatal Fury, Mortal Kombat, Dragon Ball dan
lain-lain.
Tahu
bakal begini, saya bakal lebih apik menyimpan mainan-mainan lawas saya dulu. Entah ke mana perginya mainan-mainan itu. Jadilah saya memutuskan untuk membelinya lagi, walaupun
kalo menurut saya sih harganya cukup mahal. Gak apa-apalah, emak-emak muda aja bisa
sebulan sekali ganti tas dan lipstick yang harganya 500 ribuan.
Begitu
girangnya saya ketika akhirnya mendapati mesin Super Nintendo di rumah. Saya
terngiang dengan perasaan lima belasan tahun lalu saat membeli konsol ini di
Glodok ditemani almarhum kakek. Ketika saya nyalakan mesin ini,
euforianya sungguh luar biasa. Sakral seperti ibadah ritual, syahdu seperti
rasa rindu. Memori ini pun perlahan-lahan terkumpul saat logo permainan muncul,
latar musik mengalun, hingga ketika akhirnya permainan dimulai. Sungguh
nuansanya 90an sekali dan saya amat terharu bisa merasakannya di era sekarang.
Yang
pertama kali saya coba tentu saja permainan Super Mario World. Level demi level
dilalui, dan setengah jam pertama rasanya masih menyenangkan. Tapi anehnya,
kemudian saya mulai bosan. Tidak seperti dulu saat saya kuat memainkannya
berjam-jam. Tingkat kesulitan memang meningkat, tapi tetap tidak menjadikan
saya makin penasaran seperti dulu.
Saya
coba permainan lain, dan rasanya pun sama saja. Malah kebanyakan, saya merasa
permainan-permainan ini kok gambarnya jelek amat ya. Sampai timbul pertanyaan
di benak "Kok bisa ya dulu saya seneng banget main game seperti ini?"
Mungkin perasaan ini muncul karena sekarang ini saya sudah
terbiasa memainkan yang lebih mutakhir dan mendekati realita melalui konsol
PS3 dan PS4.
Ternyata
memang hanya sebatas euforia saja yang saya alami, padahal awalnya begitu
menggugah dan menyenangkan, tetapi pada saat dicoba ternyata hanya sebegitu
saja. Saya akhirnya berkesimpulan kalau kita tidak akan bisa mengalami kembali
rasa kegirangan main game yang dulu pernah ada, karena walaupun barangnya masih
sama, ekspektasi kita sudah jauh berbeda karena sudah terbiasa disuguhi yang
lebih baik.
Manusiawi.
Melakukan
lagi hal-hal yang dulu pernah dilakukan memang menggoda. Tapi bagi saya, hanya
euforianya saja yang besar. Mungkin saja saya hanya sekadar bosan pada
permainan PS3 yang sekarang biasa saya mainkan. Tapi kalau Super Nintendo ini
harus menggantikan peran PS3, ya enggak bisa juga. Untuk sekadar nostalgia saja
ya bolehlah.