Senin, 13 Juni 2016

Karena Nostalgia Cuma Sebatas Nostalgia


Mata saya berbinar seperti Crayon Sinchan yang melihat Kak Nanako ketika melihat iklan di salah satu akun instagram. Akun ini tidak menjual kaos, dompet atau sepatu, apalagi pelangsing, pemutih dan pembesar ini-itu. Yang dia jual adalah mainan konsol lawas! Konsol lawas ini macam-macam. Ada konsol generasi kedua yaitu Atari yang pertama kali diluncurkan tahun 1976. Lalu ada generasi ketiga dan keempat yaitu Nintendo, Sega dan Super Nintendo yang keluar tahun 90an.


Ada pula konsol portable semacam Gamewatch (atau Gimbot, kalo anak Jakarta bilang), lalu ada Game Boy dan Game Gear. Terakhir, ada pula yang mulai canggih gambarnya seperti Sega Saturn, Nintendo 64 dan Sony Playstation edisi pertama. Lengkap dengan stik, adaptor dan kabel video yang masih berfungsi, konsol-konsol ini dibanderol dengan harga mulai dari 250 ribu hingga 750 ribu rupiah. Jumlah yang cukup mahal untuk membeli sepenggal dua penggal memori masa kanak-kanak.


Dari seluruh konsol tadi, saya paling berkesan dengan Super Nintendo. Alasannya sederhana, karena banyak game Super Nintendo yang saya suka dan masih ingat sampai sekarang, misalnya Super Mario World, Goof Troop, Killer Instinct, International Superstar Soccer, Captain Commando, Biker Mice From Mars, Street Fighter, Fatal Fury, Mortal Kombat, Dragon Ball dan lain-lain.


Tahu bakal begini, saya bakal lebih apik menyimpan mainan-mainan lawas saya dulu. Entah ke mana perginya mainan-mainan itu. Jadilah saya memutuskan untuk membelinya lagi, walaupun kalo menurut saya sih harganya cukup mahal. Gak apa-apalah, emak-emak muda aja bisa sebulan sekali ganti tas dan lipstick yang harganya 500 ribuan.


Begitu girangnya saya ketika akhirnya mendapati mesin Super Nintendo di rumah. Saya terngiang dengan perasaan lima belasan tahun lalu saat membeli konsol ini di Glodok ditemani almarhum kakek. Ketika saya nyalakan mesin ini, euforianya sungguh luar biasa. Sakral seperti ibadah ritual, syahdu seperti rasa rindu. Memori ini pun perlahan-lahan terkumpul saat logo permainan muncul, latar musik mengalun, hingga ketika akhirnya permainan dimulai. Sungguh nuansanya 90an sekali dan saya amat terharu bisa merasakannya di era sekarang.


Yang pertama kali saya coba tentu saja permainan Super Mario World. Level demi level dilalui, dan setengah jam pertama rasanya masih menyenangkan. Tapi anehnya, kemudian saya mulai bosan. Tidak seperti dulu saat saya kuat memainkannya berjam-jam. Tingkat kesulitan memang meningkat, tapi tetap tidak menjadikan saya makin penasaran seperti dulu.


Saya coba permainan lain, dan rasanya pun sama saja. Malah kebanyakan, saya merasa permainan-permainan ini kok gambarnya jelek amat ya. Sampai timbul pertanyaan di benak "Kok bisa ya dulu saya seneng banget main game seperti ini?"


Mungkin perasaan ini muncul karena sekarang ini saya sudah terbiasa memainkan yang lebih mutakhir dan mendekati realita melalui konsol PS3 dan PS4.


Ternyata memang hanya sebatas euforia saja yang saya alami, padahal awalnya begitu menggugah dan menyenangkan, tetapi pada saat dicoba ternyata hanya sebegitu saja. Saya akhirnya berkesimpulan kalau kita tidak akan bisa mengalami kembali rasa kegirangan main game yang dulu pernah ada, karena walaupun barangnya masih sama, ekspektasi kita sudah jauh berbeda karena sudah terbiasa disuguhi yang lebih baik.


Manusiawi.


Melakukan lagi hal-hal yang dulu pernah dilakukan memang menggoda. Tapi bagi saya, hanya euforianya saja yang besar. Mungkin saja saya hanya sekadar bosan pada permainan PS3 yang sekarang biasa saya mainkan. Tapi kalau Super Nintendo ini harus menggantikan peran PS3, ya enggak bisa juga. Untuk sekadar nostalgia saja ya bolehlah.