Senin, 11 Juli 2016

Menjauhi Gemerlap Kota

Di belahan dunia mana pun, orang-orang pergi merantau. Ada berbagai harapan, impian dan cita-cita yang terucap meski hanya dalam kalbu. Jika bukan ingin merasakan hujan emas di negeri/kota orang, setidaknya agar bisa hidup mandiri dan tidak menyusahkan orang tua di daerah asal. Atau yang paling idealis dan kekinian, mengikuti kata hati dan jiwa yang tak pernah kenyang akan petualangan.

Kebanyakan orang merantau dari pelosok desa ke kota besar. Inilah yang membuat kota seperti Jakarta penuh sesak oleh para pendatang dan perantau yang mengadu nasib, sekaligus menjadikan pulau Jawa sebagai yang terpadat di dunia. Desa yang sepi dan terisolasi akan membuat hidup monoton cenderung tak ada kemajuan. 'Pergilah merantau ke kota besar, di mana kesempatan melimpah, dan jangan kembali jika belum menjadi orang sukses.' Sepertinya begitulah petuah dari jutaan orang tua kepada anak-anaknya yang akan pergi merantau.

Sebaliknya, cukup jarang yang memilih untuk merantau dari kota besar ke desa terpencil, kecuali mereka yang ikut program transmigrasi dari pemerintah. Salah seorang teman yang saya temui ketika libur lebaran kemarin, adalah termasuk yang jarang itu. Dia meninggalkan selatan Jakarta menuju sebelah selatan lainnya namun di wilayah berbeda di Indonesia, yang malahan lebih dekat dengan perbatasan negeri tetangga. Sebuah kota kecil yang hanya berpenduduk 15 ribu jiwa menurut data tahun 2014 dari situs Wikipedia. Saya sengaja tidak menyebut namanya dan nama kota tempat tinggalnya agar ia tidak besar kepala, sebab yang saya akan tuangkan ini berisi kekaguman demi kekaguman.

Mereka yang merantau dari desa ke kota tidaklah memiliki beban. Tidak jarang kaum urban ini datang memenuhi sudut kota tanpa bekal apa-apa, bahkan tanpa pendidikan dan keahlian. Nothing to lose. Sebagian sukses, namun lebih banyak lagi yang gagal. 

Lain cerita dengan mereka yang lahir dan tumbuh di kota besar tetapi jalan hidup membawa mereka pergi merantau ke kota yang lebih kecil. Rasa kehilangannya akan lebih besar. Apalagi, merantau ke kota kecil tidaklah menjanjikan kesuksesan material seperti halnya yang dicari-cari oleh perantau kota besar.

Culture shock, sudah pasti. Yang tadinya terbiasa melihat cahaya terang benderang dan suasana yang ramai, tiba-tiba berhadapan dengan kegelapan dan kesunyian. Belum lagi mereka yang terbiasa dimanjakan koneksi internet, restoran-restoran nyaman, kafe-kafe sejuk dan mal-mal besar. Tentu saja akan sulit menerima jika semua itu digantikan dengan hamparan sawah, pantai, bukit atau hutan. Kalau hanya untuk tujuan berlibur satu-dua minggu sih asik dan kece, apalagi untuk dituangkan dalam buku dan berfoto-foto. Tapi bagaimana kalau harus ditinggali bertahun-tahun, lalu menikah, beranak pinak dan mungkin saja mati di sana?

Tentu saja ada begitu banyak hal yang lebih istimewa dengan menjadi perantau daerah pelosok. Merasakan bagaimana hidup sendiri tanpa teman dan sanak saudara, dan tidak jarang pula menjadi golongan minoritas berujung perlakukan diskriminatif. Apalagi, perputaran bisnis tidak selalu sesuai harapan, dan orang yang semula dipercaya amat mungkin berubah mengecewakan.

'Dalam keadaan kaya begini, gak ada yang bisa diandalkan selain nyali. Sebetulnya bisa saja minta beliin tiket pulang, tapi itu berarti menyerah. Gua mencoba bertahan hidup dengan banyak cara, dari bekerja di rumah sakit hingga bandara. Alhamdulillah sekarang sudah diterima bekerja di sebuah instansi pemerintah. Keadaan menjadi jauh lebih baik, sekarang sudah tahun ke enam di sana." Pengembaraan semacam ini rasanya sudah pasti menjadikan kita lebih bijaksana. 'Kalau dulu gak merantau, mungkin hidup gua bakal gak beres,' lanjutnya sambil memandang lurus ke depan, membayangkan kehidupan alternate universe-nya. 

Menjauhi gemerlap kota, di banyak sisi tentu saja lebih menyenangkan. Suasana yang lebih bersahaja, lalu lintas yang lebih bersahabat, orang-orang yang tidak tergesa dan terburu-buru, juga waktu yang berjalan begitu lambat adalah kenikmatan tersendiri dari mengambil pilihan hidup semacam ini. 'Nantinya sih kepingin tinggal di Depok lagi, tapi sepertinya masih lama. Sekarang cukup mudik setahun sekali aja. Ongkosnya mahal. Lagipula istri 'kan penduduk dari sana. Orang-orang mah mudik itu ke kampung, ini malah ke kota. Hehehe.' tutupnya dengan logat khas daerahnya yang sudah bercampur dengan logat Betawi.

Di kota besar, semua memang tersedia, tetapi apa gunanya jika kita sulit mencapai tujuan akibat kemacetan yang semakin parah? Di kota besar, kita boleh jadi memiliki lebih banyak teman, tapi bukankah kita lebih banyak menghabiskan waktu dengan mereka melalui dunia maya?

Untuk kawan saya yang menjalani hidup sebagai perantau di kota kecil nan jauh dari gemerlap kota, saya mengucap kata salut. Cerita-cerita seperti ini tentu saja lebih menarik buat saya. Semoga tetap rendah hati dan berada di bawah lindungan Tuhan.