Kamis, 28 Juli 2016

Satu Dekade Bersama Pajak

Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menjalani profesi yang sama. Menurut saya, ada dua alasan mendasar mengapa seseorang rela menjalani periode satu dekade untuk melakoni perjalanan di bidang keahlian yang sama itu. Alasan pertama, tentu saja karena orang ini memang mencintai pekerjaannya sehingga pekerjaan itu terasa seperti hobi. Namun tidak semua orang memiliki keberuntungan semacam ini.

Untuk alasan kedua, lebih karena naluri dasar untuk bertahan hidup. Dengan kata lain, bagi manusia modern seperti kita adalah untuk mencari uang. Boleh jadi seseorang tidak terlalu menyukai pekerjaannya, namun karena ia membutuhkan uang, maka ia pun bekerja. Saya yakin, lebih banyak orang yang menjalani kehidupan seperti ini.

Saya termasuk yang seperti orang kebanyakan, dan bidang yang saya maksud adalah pajak. Tapi hanya karena pekerjaan ini bukanlah yang menjadi passion, menjalaninya juga tidak dengan main-main, bukan? Bersyukur aja, karena separah-parahnya tekanan pekerjaan yang dijalani, masih jauh lebih baik ketimbang tidak ada pekerjaan sama sekali.

Tentang saya dan pajak, sebenarnya sudah seperti sebuah hubungan percintaan yang dipaksakan. Dijalani karena memang logis untuk dijalani, dilakukan karena memang harus dilakukan.

Dulu, saya memang kuliah di jurusan pajak di sebuah universitas. Artinya, pekerjaan saya sudah sesuai dengan latar belakang pendidikan. Namun bersekolahnya saya di jurusan ini bukan didasari keinginan. Saat duduk di bangku SMP dan SMA, saya begitu kepingin menjadi pesepak bola profesional. Saking kepinginnya, saya sampai tidak pernah membayangkan profesi lain, boro-boro kepikiran jadi ahli pajak.

Adalah campur tangan Tuhan yang membuat saya berakhir di jurusan ini. Ketika itu tahun 2001, saya hendak membeli formulir program Diploma Tiga untuk saya jadikan cadangan andai gagal jebol UMPTN (tuh, dari nama UMPTN aja keliatan generasinya).

Dari rumah, saya belum tahu mau membeli formulir jurusan apa. Tapi pastinya, saya tidak suka pelajaran akuntansi, jadi saya tidak akan membeli formulir Program Studi Akuntansi. Pada saat itu, saya juga tidak berminat dengan program studi di fakultas MIPA, FKM, Hukum, atau Sastra. Jadinya ke mana dong?

Pada pemberhentian fakultas terakhir, saya mendatangi kampus oranye FISIP. Saya sengaja melewatkan Departemen Ilmu Komunikasi karena pada saat itu tidak tertarik, dan langsung menuju Departemen Ilmu Administrasi.

Di Departemen ini, saya harus memilih satu di antara empat jurusan. Waktu itu, satu formulir dihargai seratus ribu rupiah, dan karena saya tidak mengecek informasi, seratus ribu rupiah adalah uang yang ngepas di kantong celana. Saya pun hanya bisa membeli satu formulir saja.

Entah apa yang merasuki pikiran saya, namun logika saya pada saat itu berkata Administrasi Perpajakan lah yang terdengar paling masuk akal dibanding tiga jurusan lainnya. Setelah mengikuti ujian masuk, ternyata saya diterima. Sedangkan hasil UMPTN saya nihil, alias tidak lulus. Ya sudahlah saya jalani saja yang ini.

Selesai kah persoalan? Tidak.

Begitu mengikuti perkuliahan, saya kaget betul ternyata di jurusan ini begitu banyak mata kuliah Akuntansi. Saya merasa terjebak dan salah pilih jurusan. Tahun kedua, sebetulnya saya mencoba ikut lagi UMPTN, dan saat itu berhasil diterima di jurusan Ilmu Ekonomi di sebuah universitas di kota Bandung, tapi pada waktu itu saya memutuskan untuk tidak mengambilnya dan tetap setia di jurusan pajak (why of why??).

Saya pun melanjutkan kuliah dengan santai. Sebagaimana mahasiswa yang pasif dan cenderung cuek, saya tidak aktif di kelas, juga tidak mengikuti organisasi kemahasiswaan. Rambut juga saya gondrong dan di kampus saya sering mengenakan sendal jepit, makin mengesankan mahasiswa yang santai dan sedikit urakan. Saya menjalani prinsip seadanya ala survivor: kuliah mah yang penting lulus, dan yang penting gak dapat nilai yang jelek-jelek amat.

Selepas lulus Diploma Tiga dengan IPK standar, saya mendaftar ke program Ekstensi agar bisa memperoleh gelar sarjana. Lagi-lagi saya memilih pajak karena masih gak suka dengan akuntansi. Kuliah ekstensi berlangsung pada malam hari. Siang hari semestinya bisa dimanfaatkan sambil bekerja, seperti yang dilakukan teman-teman saya pada umumnya. Tapi waktu itu saya begitu malas melakukannya.

Dalam waktu dua setengah tahun, saya menyelesaikan program ini hingga menjadi sarjana, dengan IPK yang sedikit lebih baik ketimbang waktu masih di D3. Total, lima setengah tahun saya habiskan di bangku kuliah, tanpa sedikit pun pengalaman kerja. Usia pun sudah 23 tahun, sudah terlalu tua untuk tidak melakukan apa-apa. Saya pun akhirnya menyerah untuk mengejar impian-impian kosong idealis, lalu mulai menerima realita dengan mencari pekerjaan kantoran. Kesadaran yang tentu saja telat banget.

Dalam pencarian itu, sepupu saya kemudian mengenalkan saya dengan temannya yang bekerja sebagai manager di sebuah kantor konsultan pajak 2nd tier berinisial MRI. Saya pun menjalani serangkaian tes, lalu diterima bekerja di sana.

Dulu saya punya bayangan mengerikan akan dunia kerja kantoran. Atasan yang galak, senior yang judes, lingkungan kerja yang saling sikut, kemacetan di jalan, juga jam kerja yang tidak kenal waktu hanya untuk mendapatkan bayaran yang tidak seberapa adalah bayangan saya akan dunia kerja.

Di MRI lah, nyatanya saya menemui semua ketakutan. Bahkan lebih dari yang saya takutkan.

Saya punya pengalaman unik yang masih saya ingat betul. Suatu ketika, saya menghadapi deadline pembayaran pajak bulanan. Klien baru mengonfirmasi kalkulasi pajak yang dikirim sehari sebelumnya, sehingga pembayaran pajak harus dilakukan dengan cara menyetor tunai secara manual (langsung) ke loket teller bank paling lambat jam 9 pagi.

Parahnya, bank milik klien adalah bank BNI di Jl. Blora, sementara tempat setor pajak di HSBC Menara World Trade Center, Sudirman. Klien kemudian mengirimkan stafnya untuk menarik dana dari BNI Blora, lalu menyerahkan ke teman saya yang sudah menunggu di sana dengan mengendarai sepeda motor. Uang ratusan juta rupiah itu ditarik pada pukul 8 pagi, lalu diserahkan ke teman saya menggunakan plastik kresek agar tidak terlalu mencolok.

Setelahnya, saya menunggu teman saya itu di trotoar depan HSBC dalam proses handover plastik kresek berisi uang yang begitu mendebarkan, lalu menyerahkannya kepada petugas bank sebelum jam 9. Seingat saya, momen itu adalah salah satu morning rush paling parah yang pernah saya jalani selama 10 tahun bekerja. Bikin lemas!

Namun tidak dapat dipungkiri, di kantor MRI itulah saya banyak belajar beneran. Dibentak-bentak klien, diomelin atasan, hingga dikejar-kejar petugas pajak sudah menjadi makanan sehari-hari. Saya jadi tahu betul rasanya menduduki posisi paling bawah dalam mata rantai ala sistem korporasi kapitalis. Jakarta itu keras, man! Nyari duit itu susahnya bukan main!

Selang beberapa bulan, saya mendapat peluang kerja yang baru. Sebuah kantor konsultan pajak big 4 yang namanya mirip band lawas itu membuka lowongan besar-besaran. Saya yang sudah merasa tercebur di dunia konsultan akhirnya berpikir untuk sekalian aja masuk ke “kolam” yang lebih besar. Tanpa ekspektasi berlebih, saya pun menjalani proses rekrutmen, dan akhirnya.. diterima.

Tahun-tahun pertama menjadi “ikan kecil di kolam besar” saya jalani dengan sukacita. Namanya kantor besar, prosedur kerjanya tentu lebih rapi. Seluruh “ikan” mendapatkan porsi makannya masing-masing, bagaikan ikan cupang yang sudah sengaja dipisah-pisahkan di botol air mineral bekas oleh pemiliknya.

Saya juga menemukan kumpulan teman sepantar yang cocok, jadi walaupun beban pekerjaan lebih berat, namun saya merasa betah dengan lingkungan kerjanya. Bersama teman-teman ini, saya tetap bisa bermain sepak bola, bermain musik dan jalan-jalan. Bekerja di lingkungan seperti ini membuat waktu berjalan terasa cepat. Tanpa terasa, lima tahun sudah saya berada di dunia konsultan pajak.

Tapi ternyata, saya kemudiian merasa ‘mentok’. Setelah menjalani tahun-tahun yang lumayan menyenangkan, saya kemudian mempertanyakan banyak hal, sehingga merasa bahwa menjadi konsultan pajak bukan lagi menjadi jalan hidup.

Bekerja di kantor konsultan sebesar ini ternyata membentuk work ethic sekaligus gaya bekerja. Saya bukanlah tipe karyawan teladan yang akan datang tepat waktu ke kantor, lalu pulang pada jam yang ditetapkan. Sebagai profesional, kita dibayar bukan dari kuantitas jam kerja, tetapi bagaimana kualitasnya (aseek). Jam kerja semestinya memang fleksibel. Buat saya, yang penting adalah bagaimana bertanggung jawab pada pekerjaan, menghargai tenggat waktu, terus memacu diri untuk berkembang dan mampu bekerjasama sebagai bagian tim yang solid (udah mirip slogan program indoktrinasi, belum?).

Pada Tahun 2012, saya memutuskan pindah ke sebuah perusahaan manufaktur lokal yang sahamnya dimiliki pihak asing. Di perusahaan ini, sebetulnya saya mengerjakan hal yang tidak berbeda ketimbang di konsultan dulu, hanya saja ruang lingkupnya yang lebih terfokus. Tapi kalau berbicara lingkungan pekerjaan, setelah menjalani empat tahun, saya masih merasa lebih cocok dengan lingkungan kerja di konsultan yang memiliki fleksibilitas tinggi itu.

Tahun 2017 mendatang menandai tepat sepuluh tahun saya bekerja di bidang perpajakan. Bidang yang sudah saya jalani dengan berbagai suka dan duka, kegagalan dan keberhasilan. Untuk ukuran anak yang dulunya malas, santai, dan gak jelas, saya sendiri kaget masih bisa berjalan dan bertahan sejauh dan selama ini. Anggap aja rejeki anak soleh.

Apakah sepuluh tahun berikutnya masih akan saya habiskan sebagai pegawai pajak di perusahaan swasta, atau kembali ke dunia konsultan? Atau bahkan beralih profesi menjadi pengembang start-up, atau menjadi penulis sepak bola, atau menjadi guru, atau jualan makanan? Saya juga belum tahu. Tapi yang jelas, saya berterimakasih untuk semua teman, atasan, klien, dan semua pihak yang sengaja saya tidak sebutkan namanya, tapi pernah berkoneksi dan berkolaborasi secara profesional.