Ini adalah hari yang panas terik. Matahari seperti berada
tepat di atas kepala. Siapa pun akan malas keluar rumah jika tidak ada
keperluan yang mendesak. Si Gondrong, pun begitu. Ia terlihat berada di ruang tunggu dokter gigi dekat rumah untuk menambal giginya yang bolong.
Sedang asik membaca buku di ruang tunggu ala kadarnya, ia
melihat Bambang, sobat karibnya semasa sekolah dulu yang baru datang untuk membeli obat di apotek, tepat di sebelah tempat praktik dokter. Setelah
bertegur sapa, mereka asik mengobrol. Lumayan, daripada bosan menunggu antrian, lebih baik ngobrol dengan teman.
Baru sebentar mengobrol, Bambang sudah mengeluarkan telepon
selulernya. “Ndrong, gue mau kasih liat nih koleksi foto terbaru gue.”
Gondrong tidak menyambutnya dengan semangat, karena ini
adalah kesekian kali Bambang menunjukkan koleksi foto setiap kali mereka
bertemu. Gondrong melihatnya sebentar, memberi penilaian seadanya, lalu
mengembalikan ponsel Bambang.
“Lho kok cuma sebentar? Ini masih banyak di folder
berikutnya,” Bambang masih belum puas dengan eksebisi kecilnya kepada Gondrong,
lalu menunjukkan folder lain. Gondrong, walau tidak enak hati, menolaknya dengan halus.
“Mbang, sorry bukannya gue gak mau lihat hasil foto elo,
tapi gigi gue lagi sakit, lagi gak asik liat foto. Lain kali aja ya, Mbang,” ujar Gondrong mencoba sehalus mungkin. Bambang sepertinya
sedikit kecewa, tapi ia masih juga penasaran.
“Gue lagi belajar foto prewed, Ndrong. Elo bukannya mau
nikah ya? Sini biar gue yang fotoin buat prewed sama pas acara. Boleh ya?” kali
ini Bambang setengah memohon.
Untungnya bagi Gondrong, perawat memanggil namanya untuk masuk ruang praktik dokter. “Soal itu nanti deh kita omongin. Gue berobat dulu ya, mbang..”
Begitu ia selesai, Bambang sudah pergi.
“Si Bambang ternyata masih aja begitu,” gumam Gondrong
ketika beranjak pulang.
Ya, Bambang, di luar bakat dan passion besar di bidang
fotografi, bagi Gondrong, ia seperti gelas yang sudah terisi penuh. Sudah
kesekian kalinya, Bambang menunjukkan portofolio foto miliknya kala mereka
bertemu. Dan Bambang, layaknya seorang salesman
atau agen MLM yang persistent, selalu
membawa ‘atribut’ fotografinya di manapun mereka bertemu. Padahal, Gondrong tidak pernah memintanya. Gondrong juga tidak tahu banyak soal dunia fotografi, dan tidak pernah merasa memberi
input atas karya-karya Bambang.
"Entah dia begitu ke gue doang, atau ke semua orang.." lanjutnya
"Entah dia begitu ke gue doang, atau ke semua orang.." lanjutnya
Bagai gelas yang sudah terisi penuh, tidak ada tempat lain
di kepala Bambang selain dunia fotografi. Setiap kali Gondrong mencoba
menggiring pembicaraan ke topik lain, Bambang selalu berusaha menggiring
kembali arah pembicaraan ke dunia fotografi. Gondrong pun merasa bosan, dan
sudah beberapa kali menolak ajakan nongkrong dari Bambang karena alasan itu.