Senin, 05 Oktober 2015

Si Gelas Penuh

Ini adalah hari yang panas terik. Matahari seperti berada tepat di atas kepala. Siapa pun akan malas keluar rumah jika tidak ada keperluan yang mendesak. Si Gondrong, pun begitu. Ia terlihat berada di ruang tunggu dokter gigi dekat rumah untuk menambal giginya yang bolong.

Sedang asik membaca buku di ruang tunggu ala kadarnya, ia melihat Bambang, sobat karibnya semasa sekolah dulu yang baru datang untuk membeli obat di apotek, tepat di sebelah tempat praktik dokter. Setelah bertegur sapa, mereka asik mengobrol. Lumayan, daripada bosan menunggu antrian, lebih baik ngobrol dengan teman.

Baru sebentar mengobrol, Bambang sudah mengeluarkan telepon selulernya. “Ndrong, gue mau kasih liat nih koleksi foto terbaru gue.”

Gondrong tidak menyambutnya dengan semangat, karena ini adalah kesekian kali Bambang menunjukkan koleksi foto setiap kali mereka bertemu. Gondrong melihatnya sebentar, memberi penilaian seadanya, lalu mengembalikan ponsel Bambang.

“Lho kok cuma sebentar? Ini masih banyak di folder berikutnya,” Bambang masih belum puas dengan eksebisi kecilnya kepada Gondrong, lalu menunjukkan folder lain. Gondrong, walau tidak enak hati, menolaknya dengan halus.

“Mbang, sorry bukannya gue gak mau lihat hasil foto elo, tapi gigi gue lagi sakit, lagi gak asik liat foto. Lain kali aja ya, Mbang,” ujar Gondrong mencoba sehalus mungkin. Bambang sepertinya sedikit kecewa, tapi ia masih juga penasaran.

“Gue lagi belajar foto prewed, Ndrong. Elo bukannya mau nikah ya? Sini biar gue yang fotoin buat prewed sama pas acara. Boleh ya?” kali ini Bambang setengah memohon.

Untungnya bagi Gondrong, perawat memanggil namanya untuk masuk ruang praktik dokter. “Soal itu nanti deh kita omongin. Gue berobat dulu ya, mbang..”

Begitu ia selesai, Bambang sudah pergi. 

“Si Bambang ternyata masih aja begitu,” gumam Gondrong ketika beranjak pulang.

Ya, Bambang, di luar bakat dan passion besar di bidang fotografi, bagi Gondrong, ia seperti gelas yang sudah terisi penuh. Sudah kesekian kalinya, Bambang menunjukkan portofolio foto miliknya kala mereka bertemu. Dan Bambang, layaknya seorang salesman atau agen MLM yang persistent, selalu membawa ‘atribut’ fotografinya di manapun mereka bertemu. Padahal, Gondrong tidak pernah memintanya. Gondrong juga tidak tahu banyak soal dunia fotografi, dan tidak pernah merasa memberi input atas karya-karya Bambang.

"Entah dia begitu ke gue doang, atau ke semua orang.." lanjutnya

Bagai gelas yang sudah terisi penuh, tidak ada tempat lain di kepala Bambang selain dunia fotografi. Setiap kali Gondrong mencoba menggiring pembicaraan ke topik lain, Bambang selalu berusaha menggiring kembali arah pembicaraan ke dunia fotografi. Gondrong pun merasa bosan, dan sudah beberapa kali menolak ajakan nongkrong dari Bambang karena alasan itu.

“Seandainya saja elo bersedia tumpahin sedikit isi gelas itu, Mbang..”