LGBT. Belakangan, singkatan ini amat populer di kalangan
publik terkait keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat untuk melegalisasi pernikahan di antara kaum tersebut. Langkah ini menyusul negara-negara lain yang lebih dulu melegalkan, seperti Belanda, Slovenia, Finlandia, Belgia, Brasil, Selandia Baru, Kanada, Denmark, Prancis, Islandia, Irlandia, Luksemburg, Meksiko, Norwegia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Inggris, Portugal dan Uruguay.
Status Amerika Serikat sebagai negara adidaya, juga membuat
negara tersebut secara tidak resmi menjadi pusat budaya dunia. Bagaimana tidak,
seluruh dunia begitu hapal film-film produksi Hollywood, juga begitu fasih
menyenandungkan lirik-lirik lagu yang dinyanyikan artis-artis asal negeri Paman
Sam. Pemilihan presiden di negara itu juga tidak lepas dari perhatian dunia,
dan tidak jarang menjadi headline
dari media negara-negara dunia ketiga.
Maka rasanya tidak terlalu mengherankan jika isu LGBT yang
terjadi di Amerika Serikat menjadi santapan pembahasan sebagian besar kita yang
berada jauh di Indonesia. Sekalipun akan banyak pihak yang mencibir kelakuan ini sebagai tindakan latah dan reaksioner khas inlander. Berpuluh-puluh tulisan cerdas, bernas dan berkualitas
naik cetak. Para pemuka agama, budayawan, selebriti dunia nyata sampai
selebriti dunia maya pun ikut menyuarakan pemikiran-pemikiran yang amat mengagumkan.
Bagi mereka yang kontra, tentu dasar agama yang
dikedepankan. Ada pula yang mengedepankan fitrah kita sebagai manusia yang memang
berkembang biak demi kelangsungan peradaban. Ada juga pelajaran sejarah kaum Nabi Luth yang kembali diangkat tinggi-tinggi ke permukaan sebagai pengingat.
Tapi bagi mereka yang pro, dasar agama dibuang
ditepikan. Pledoi yang (menurut mereka) lebih canggih, bermartabat, liberal,
humanis dan modern diapungkan baik ke media cetak maupun media daring dengan tidak kalah gencarnya. Juga dengan melakukan aksi memasang latar
pelangi pada profile picture,
mengetik tagar #LoveWins, selebrasi hingga turun ke jalan. Bahwa orientasi seksual
dan pelegalan pernikahannya adalah kemenangan yang paripurna bagi tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM), sesuatu yang ter(disepakati) oleh dunia atas prakarsa mereka yang menjadi pemenang Perang Dunia II.
Yang kontra marah dengan ketidakwajaran ini, tapi yang pro lebih
galak. Bukan hanya diserang, tapi merasa haknya
dilimitasi.
Saya bukannya bermaksud latah ingin ikut-ikut berkomentar, apalagi
saya bukan siapa-siapa dan juga tidak memiliki kepentingan apapun. Saya juga tidaklah sepintar mereka para pegiat budaya modern yang begitu
rajin membaca jurnal, buku, riset sehingga lantas bertransformasi menjadi sosok freethinker
yang begitu mengagungkan logika dan superioritas ilmu pengetahuan. Agama itu dongeng yang dibuat-buat manusia, agama itu cuma alat propaganda, agama itu cuma buat jualan, agama itu impor. Agama begitu, agama begini.
Untuk yang satu ini, sikap saya sedari dulu sudah jelas. Saya
tidak ingin mengatakannya secara gamblang. Tapi yang bisa saya katakan adalah, saya tidak ingin anak-anak saya menjadi seperti itu. Saya ingin anak-anak saya bersekolah, berkarya, menikah dengan pasangan lawan jenis, memiliki keturunan lalu hidup normal dan selamat dunia akhirat.
Dalam banyak hal, saya sebenarnya fleksibel.
TAPI, hanya untuk persoalan-persoalan remeh temeh seperti:
Saya amat setuju jika hal-hal semacam ini dikembalikan saja kepada masing-masing preferensi individu. Namun tidak untuk hal signifikan seperti orientasi seksual.
TAPI, hanya untuk persoalan-persoalan remeh temeh seperti:
- makan nasi padang pakai tangan atau sendok dan garpu,
- makan bubur ayam diaduk atau tidak diaduk,
- memilih paha (ayam) daripada dada (ayam) sebagai pasangan makan nasi uduk,
- makan soto dengan nasi dicampur atau dipisah,
- memilih selai sarikaya atau coklat keju pada roti bakar,
- memilih antara gado-gado atau ketoprak,
- saus bolognaise atau carbonara,
- mau nikah di gedung atau di rumah,
- bulan madu di Bali atau Singapura,
- liburan ke pantai atau ke gunung.
Saya amat setuju jika hal-hal semacam ini dikembalikan saja kepada masing-masing preferensi individu. Namun tidak untuk hal signifikan seperti orientasi seksual.
Hal yang memang sudah fitrah dan
prinsipil, tentunya harus diikuti sebagai bentuk ketaqwaan kita kepada sosok
yang telah memberikan kita hidup, nafas, makan, rezeki, jodoh dan semua
kehidupan yang sesaat ini.
Hal-hal yang memang diatur untuk tujuan yang baik, oleh Dzat yang derajatnya bermiliar-miliar kali lipat hebatnya dari kita, memang kadang tidak masuk kepada logika. Lagipula, apalah arti logika kita sebagai manusia yang terbatas jika dibandingkan dengan ketentuan-Nya. Dia yang maha besar, tiada banding dan tiada batas.
Hal-hal yang memang diatur untuk tujuan yang baik, oleh Dzat yang derajatnya bermiliar-miliar kali lipat hebatnya dari kita, memang kadang tidak masuk kepada logika. Lagipula, apalah arti logika kita sebagai manusia yang terbatas jika dibandingkan dengan ketentuan-Nya. Dia yang maha besar, tiada banding dan tiada batas.
Bukannya ingin menggurui. Selain memang bentuk akan sikap saya pribadi, saya hanya ingin membekali anak-anak saya menjalani
zaman yang semakin lama semakin mengherankan ini. Zaman di mana yang salah
diagungkan, orang alim dileluconkan, dan yang memegang prinsip malah dianggap kaku dan gak sesuai dengan tuntutan zaman yang udah modern. Modern muke lu!
Ini adalah
sikap, dan saya tidak tertarik akan segala bentuk debat. Kalau punya pendapat
berbeda, silakan tetap jalani dengan penuh tanggung jawab jangan asal
ikut-ikutan. Tidak perlu juga membuang-buang energi untuk memengaruhi orang
lain yang berpendapat berbeda. Ini sudah masalah prinsip. Let’s just agree to disagree.