Senin, 13 Juli 2015

Malam Lailatul Qadr

Jadi, suatu ketika saya bertemu seorang teman baik. Sepanjang ngobrol, dia dengan begitu yakin mengatakan hal-hal yang menjadi tujuannya. Aspirasinya. Apa yang ingin dicapainya. Dan sekarang dia mulai merancang jalannya itu.

Beberapa waktu lalu, saya bertemu teman baik lain. Dia bangkit dari sebuah luka yang besar, dan tahukah? Dia sekarang berjalan lebih kuat ketimbang dirinya sebelum terluka. Kini, dia tengah berada di seberang samudera untuk menggapai impiannya.

Sama halnya dengan teman saya yang satu lagi, teman yang begitu bergairah jika diajak berbicara pajak dan akuntansi. Silakan tertawa terbahak seolah ia adalah fanboy dari akun twitter auditor cabul, tapi kini ia tinggal beberapa langkah lagi akan menjadi partner, alias posisi tertinggi dalam karir jasa perpajakan. Dan ia amat mungkin meraihnya bahkan sebelum umurnya 40 tahun.

Lalu saya melihat pada diri sendiri. Apa tujuan saya? Mengapa saya masih berprinsip 'go with the flow' ketika teman-teman saya telah merintis jalannya sendiri, bukan sekadar mengikuti jalan yang tersedia? Mengapa saya masih saja harus pasrah, mengangguk, menurut, dan menahan diri setiap kali saya diperintahkan melakukan sesuatu? Dan mengapa saya rela saja diberitahu terus menerus tentang apa yang saya harus lakukan, dan bagaimana melakukannya.

Bukannya hendak tidak bersyukur. Sebaliknya, saya berterima kasih telah diberi kehidupan -bahkan kehidupan yang diinginkan jutaan manusia lain ini-. Meskipun saya berulang kali menyatakan penolakan, membelot dari jalan yang lurus, terlalu banyak mempertanyakan apa yang seharusnya cukup dijalankan, dan terlalu memusingkan perkara yang mungkin terlihat sepele bagi orang-orang besar itu.

Saya cuma menginginkan menjadi 'besar', tapi saya sendiri tidak yakin bagaimana cara menjembatani impian itu. Saya menginginkan banyak hal, tapi kenyataannya saya tidak visioner-visioner amat untuk bisa merancang jalan saya sendiri. Tidak seperti teman-teman baik saya.

Maka untuk itu, di malam ganjil 10 hari terakhir ramadan 1436 H yang saya sendiri tidak dapat memastikan apakah malam ini termasuk malam yang lebih baik daripada 1000 bulan, ijinkan saya berdiam diri untuk merenungi pertanyaan-pertanyaan mendasar tadi. Karena sebagai manusia yang terbatas akal dan pikirannya, terdapat beberapa hal yang saya merasa begitu memerlukan bimbingan, alih-alih merasa sombong bisa menentukan takdir sendiri. Atau merasa otak terlalu pintar untuk menafsirkan apa-apa yang sebenarnya harus dilakukan. Atau bahkan, terjebak dalam permainan 'si mata satu' di mana sebetulnya ialah yang menginginkan orang lain percaya bahwa apa yang sedang dikerjakannya dengan rapi tidak lebih dari sekadar teori konspirasi murahan. Tapi ini soal lain.

Kembali ke malam 1000 bulan. Jika memang inilah yang dimaksud, berikanlah saya sedikit tanda. Atau, jika memang tidak ada tanda, ya tidak masalah. Daripada membuat saya besar kepala, apalagi menjadi riya. 

Lalu keesokan paginya, sesuatu meminta saya membaca dan memahami Surah Adh Dhuha. Saya baca berulang-ulang, berpikir dan cari tahu.


Dan akhirnya saya mengerti.

Mengerti apa? Baca dan pahami sendiri isi Surah Adh Dhuha.