Selasa, 21 Juli 2015

Membeli Kenangan Dalam Bentuk Bon Jovi

Segera setelah konfirmasi konser Bon Jovi di Gelora Bung Karno, Jakarta, 11 September 2015 mendatang, generasi yang menjalani masa muda tahun 1990an larut dalam euforia yang sama: Nostalgia.

Bon Jovi, band yang berdiri tahun 1983 di New Jersey, Amerika Serikat, memang memiliki banyak hits bertemakan cinta yang terkenal hingga ke seluruh dunia pada zaman itu. Always, I’ll Be There For You, Bed of Roses, Keep The Faith, You Give Love a Bad Name, dan In These Arms adalah sedikit di antaranya. Lagu-lagu rock ballad tadi telah menjadi memori bagi sebagian besar dari anak-anak 90an. 

Kedatangan Bon Jovi tentu saja membuat pria dan wanita usia 30 tahunan ke atas yang udah cocok dipanggil om dan tante (tapi sering denial) ini semakin senang, dan menambah alasan untuk beretorika bahwa zaman mereka muda lah yang paling menyenangkan. Setidaknya ada satu poin yang bisa ditambah para om dan tante yang teramat bangga dengan masa mudanya ini, yaitu saat merasakan cinta monyet, lagu Bon Jovi-lah yang mengiringi, bukannya band-band yang 'seperti itu'. Hehe.

Satu hal yang menjadi kelebihan Bon Jovi adalah reception dari berbagai kalangan. Untuk penggemar pop, melodi yang dihasilkan Bon Jovi masih bisa dinikmati, dan bagi rocker, hentakan-hentakan dihasilkan band ini tidaklah malu-maluin. Para metalhead pun akan dengan senang hati berbaur. Dan tidak ketinggalan, bagi para pujangga wanna be yang doyan ngegombalin gebetan, Jon Bon Jovi adalah sosok panutan.

Bagi saya sendiri, ya sama saja. Lagu-lagu Bon Jovi menemani hari demi hari semasa sekolah dulu. Gitar-gitaran bareng, berlagak seperti mereka saat berlatih di studio band, sampai nonton bareng video konser mereka di stadion Wembley, London melalui perangkat video CD. Bon Jovi telah menciptakan kultur musik tersendiri di kalangan remaja 90an, suka atau tidak. 

Dalam mengantisipasi kedatangan mereka, perasaan saya tidak seantusias ketika Metallica atau Megadeth datang. Lagu-lagu lawas Bon Jovi hanya enak dinikmati jika dibawakan dengan nada asli sesuai album rekaman. Namun faktor usia membuat saya sangsi akan performa Jon nanti. Boleh jadi, nadanya diturunkan atau cara bernyanyinya dimodifikasi. 

Posisi gitaris juga tidak lagi dihuni sang ikon, Richie Sambora. Beberapa orang yang saya kenal batal menonton konser karena ketiadaan Richie. Bagaimana tidak, Richie adalah sosok di balik solo gitar bluesy dalam lagu Always atau Lie To Me, juga suara revolusioner dalam lagu Livin' on a Prayer. Richie juga memiliki suara yang khas sebagai backing vocal. Menyaksikan Bon Jovi tanpa Richie Sambora, mungkin sama saja menyaksikan Guns n Roses tanpa Slash.

Karena alasan itulah saya memilih untuk membeli tiket tribun, bukan festival seperti biasanya. Saya hanya ingin nostalgia, berjingkrak sesaat dua saat, menikmati atmosfer musik 90an yang semakin jarang diperdengarkan secara massal, juga berkumpul dengan generasi seangkatan tanpa gangguan dari histeria lebay khas abg. 

Nantinya di stadion GBK, kita semua memang datang dengan tujuan ‘membeli’ kenangan.