Segera setelah konfirmasi konser Bon Jovi di Gelora Bung
Karno, Jakarta, 11 September 2015 mendatang, generasi yang menjalani masa muda
tahun 1990an larut dalam euforia yang sama: Nostalgia.
Bon Jovi, band yang berdiri tahun 1983 di New Jersey, Amerika Serikat, memang
memiliki banyak hits
bertemakan cinta yang terkenal hingga ke seluruh dunia pada zaman itu. Always, I’ll Be There
For You, Bed of Roses, Keep The Faith, You Give Love a Bad Name, dan In These
Arms adalah sedikit di antaranya. Lagu-lagu rock ballad tadi
telah menjadi memori bagi sebagian besar dari anak-anak
90an.
Kedatangan Bon Jovi tentu saja membuat pria dan wanita usia 30 tahunan ke atas yang udah cocok dipanggil om dan tante (tapi sering denial) ini semakin senang, dan menambah alasan untuk beretorika bahwa zaman mereka muda lah yang paling menyenangkan. Setidaknya ada satu poin yang bisa ditambah para om dan tante yang teramat bangga dengan masa mudanya ini, yaitu saat merasakan cinta monyet, lagu Bon Jovi-lah yang mengiringi, bukannya band-band yang 'seperti itu'. Hehe.
Kedatangan Bon Jovi tentu saja membuat pria dan wanita usia 30 tahunan ke atas yang udah cocok dipanggil om dan tante (tapi sering denial) ini semakin senang, dan menambah alasan untuk beretorika bahwa zaman mereka muda lah yang paling menyenangkan. Setidaknya ada satu poin yang bisa ditambah para om dan tante yang teramat bangga dengan masa mudanya ini, yaitu saat merasakan cinta monyet, lagu Bon Jovi-lah yang mengiringi, bukannya band-band yang 'seperti itu'. Hehe.
Satu hal yang menjadi kelebihan Bon Jovi adalah reception dari berbagai kalangan. Untuk
penggemar pop, melodi yang dihasilkan Bon Jovi masih bisa dinikmati, dan bagi rocker, hentakan-hentakan dihasilkan band ini tidaklah malu-maluin. Para metalhead pun akan dengan senang hati berbaur. Dan tidak ketinggalan, bagi para pujangga wanna be yang doyan ngegombalin gebetan, Jon
Bon Jovi adalah sosok panutan.
Bagi saya sendiri, ya sama saja. Lagu-lagu Bon Jovi menemani hari
demi hari semasa sekolah
dulu. Gitar-gitaran bareng, berlagak seperti mereka saat berlatih di studio band, sampai nonton bareng video konser mereka di stadion Wembley, London melalui perangkat video CD. Bon Jovi telah menciptakan kultur musik tersendiri di kalangan remaja 90an, suka atau tidak.
Dalam mengantisipasi kedatangan mereka, perasaan saya tidak seantusias ketika Metallica atau Megadeth datang. Lagu-lagu
lawas Bon Jovi hanya enak dinikmati jika dibawakan
dengan nada asli sesuai album rekaman. Namun faktor usia membuat saya sangsi
akan performa Jon nanti. Boleh jadi, nadanya diturunkan atau cara bernyanyinya
dimodifikasi.
Posisi gitaris juga tidak lagi dihuni sang ikon, Richie Sambora. Beberapa
orang yang saya kenal batal menonton konser karena ketiadaan Richie. Bagaimana tidak, Richie adalah sosok di balik solo gitar bluesy dalam lagu Always atau Lie To Me, juga suara revolusioner dalam lagu Livin' on a Prayer. Richie juga memiliki suara yang khas sebagai backing vocal. Menyaksikan Bon Jovi tanpa Richie Sambora, mungkin sama saja menyaksikan Guns n Roses tanpa Slash.
Karena alasan itulah saya memilih untuk
membeli tiket tribun, bukan festival seperti biasanya. Saya hanya ingin
nostalgia, berjingkrak sesaat dua saat, menikmati atmosfer musik 90an yang semakin jarang diperdengarkan secara massal, juga
berkumpul dengan generasi seangkatan tanpa gangguan dari histeria lebay khas abg.
Nantinya di stadion GBK, kita semua memang datang dengan tujuan ‘membeli’ kenangan.
Nantinya di stadion GBK, kita semua memang datang dengan tujuan ‘membeli’ kenangan.