Pernahkah kita berkumpul satu meja dengan 10 orang teman, di mana terdapat
tiga orang yang asik bercerita hingga tertawa terbahak-bahak, sementara tujuh
orang lainnya termasuk kita hanya terdiam karena tidak mengerti apa yang dibicarakan
tiga orang itu? Seolah mereka tidak sadar bahwa mereka sedang membicarakan
topik ‘lokal’ yang hanya dimengerti mereka sendiri, dan tentu saja dalam beberapa tingkatan akan membuat risih
orang-orang di sekitar mereka.
Saya berpendapat, dalam dunia olahraga, seperti
itulah negara Amerika Serikat.
Negara ini seolah menciptakan dunianya
sendiri. Mungkin ini adalah salah satu manifestasi mereka sebagai negara
adikuasa, yang merasa harus menjadi pelopor, bukannya pengikut. Mereka memiliki
versi sendiri terhadap sepak bola, yaitu (American) Football, dan mereka
sungguh berani sekali menyebut sepak bola konvensional sebagai soccer. Kecuali bola basket yang telah
dikenal luas oleh dunia, Amerika Serikat juga memiliki tontonan yang sepertinya
hanya mereka yang bisa mereka nikmati sendiri seperti Baseball, Nascar, hingga Hoki
Es.
Olahraga-olahraga ini tetaplah hidup meskipun negara lain
tidak ada yang mengikuti jejak mereka. Pasar dalam negeri mereka sudah cukup
untuk menjadi penggerak industri, dan tidak kalah pentingnya, mereka mampu
mengemas berbagai acara ini dengan teramat menarik, alias menggabungkannya
dengan unsur pertunjukan, atau showbiz.
Salah satu motor penggerak dalam industri pertunjukan adalah
dunia perfilman yang mereka miliki. Ketika mereka memfilmkan sesuatu, maka
penonton seakan dibuat terhipnotis sekaligus terhibur. Mereka yang tadinya awam
terhadap suatu subjek, dalam waktu kurang dari dua jam saja (sesuai durasi film)
lantas bisa berubah menjadi paham, terima kasih pada begitu lengkapnya penggambaran
dalam film.
Film berjudul Draft Day, rilis tahun 2014 dibintangi Kevin
Costner dan Jennifer Garner, bercerita tentang sebuah hari yang menjadi hajatan
tahunan yang penting di dunia American Football (selanjutnya disebut football
saja). Dalam momen yang dikenal dengan nama draft
day ini, klub-klub yang bertanding di Liga Nasional (NFL) diberi kesempatan
untuk mengontrak pemain-pemain terbaik dari universitas demi memperkuat tim
menghadapi musim yang baru.
Sejalan dengan sistem draft,
tim yang pada musim terakhir prestasinya paling buruk mendapatkan kesempatan
untuk mengambil first draft, atau
pemain paling menonjol dalam liga mahasiswa. Sebaliknya, tim yang musim lalu
prestasinya bagus, tidak mendapat keistimewaan dalam memilih pemain draft mereka. Hal ini bertujuan agar sebuah
tim tidak terus menerus terpuruk, atau sebaliknya tidak ada tim yang terlalu
mendominasi. Dalam sistem franchise
yang tidak mengenal promosi-degradasi, menjaga keseimbangan kompetisi memang
menjadi pilihan yang wajib diambil agar eksistensi terjaga.
Dalam film arahan Ivan Reitman ini, Sonny Weaver Jr
(Costner), General Manager dari Cleveland Brown, tim football asal kota
Cleveland mendapatkan tawaran yang cukup menggiurkan dari tim Seattle Seahawk
berupa berupa pemilihan draft
pertama. Dari situ muncullah nama seorang quarterback
yang digambarkan begitu berbakat bernama Bo Callahan. Callahan adalah fenomena
dalam dunia football mahasiswa. Anthony Molina, pemilik Brown meminta Weaver Jr
mengiyakan tawaran tersebut. Staf pelatih Brown juga memberi rekomendasi
positif soal Callahan.
Namun Weaver Jr bukanlah sosok yang mudah percaya pada
angka-angka statistik semata maupun euforia sesaat yang timbul karena peluang
mendapatkan seorang pemain handal. Ia melihat hal yang orang lain tidak mampu
melihat, yaitu hal-hal nonteknis dari seorang pemain seperti sikap atau attitude, dan juga mampu menerjemahkan
data statistik sesuai konteksnya, bukan sekadar melihat angka-angka belaka lalu
mengambil kesimpulan yang dangkal. Weaver Jr adalah sosok idealis, cerdas,
keras kepala, sekaligus sedikit ‘gila’, menjadikan karakternya sebagai episentrum
dari film.
Dari sinilah kemudian tercipta drama, kehebohan pada hari-H draft day, juga betapa kerasnya
perjuangan Weaver Jr hingga pada akhirnya berhasil mendapatkan pemain-pemain
yang sesuai dengan kebutuhan tim, tidak peduli begitu banyak kritik dan keraguan
yang dialamatkan kepadanya.
Kelebihan utama dari film ini terletak pada pemaparan yang
jelas. Saya yang tidak mengerti banyak soal football
dan juga kompetisi Superbowl nyatanya mampu menikmati film ini dari awal hingga
akhir. Plot yang progresif memang cukup membantu sehingga penonton awam seperti
saya tidak perlu memutar otak terlalu keras tentang urutan kejadian. Dari film
ini pula tergambar betapa mumpuninya pengelola NFL dalam menerapkan
aturan-aturan rumit dari sistem draft,
sekaligus betapa menariknya industri olahraga Amerika Serikat karena ditunjang
oleh showbiz yang amat profesional.
Menonton film ini dari awal hingga akhir layaknya
menyaksikan seorang yang begitu handal dalam melakukan pekerjaannya. Pesan yang
ingin disampaikan sang pembuat film juga terkirim dengan baik, menggambarkan
dinamika dunia football secara umum, sekaligus ketegangan dalam draft day yang dieksekusi dengan amat mendetil.
Film ini sedikit mengingatkan saya pada film semisal The Damned United atau
Coach Carter, film yang menonjolkan ilmu manajemen, namun berlatar belakang
olahraga.
Saya sampai berharap, sepak bola konvensional memiliki film
sejenis ini. Film yang menggambarkan kesibukan bursa transfer, permainan para
agen, konflik antara presiden dengan pelatih klub, pemain dengan suporter, dan
lain-lain. Mengambil sudut pandang beberapa tokoh seperti Adriano Galliani,
Jorge Mendez, Brendan Rodgers, Florentino Perez, Jose Mourinho hingga Paul
Pogba rasanya cukup. Sayangnya, dunia Hollywood masih belum berteman dekat
dengan hingar bingar sepak bola Eropa.