Senin, 16 April 2012

Konser impor

“Hello Jakarta! Thanks for coming up and rock with us. You guys are amazing. Have a nice day!!”


Familiar dengan sepenggal kalimat diatas? Jika Anda adalah orang sering menonton konser band atau penyanyi luar negeri, kurang lebih kata-kata itulah yang mereka ucapkan. Dan sambutan tepuk tangan meriah plus chant “We want more! We want more!” membahana di seantero venue. Bisa ditebak, selanjutnya mereka memainkan encore perpisahan dengan lagu favorit para fans-nya. Penonton puas, euforia bakal berlangsung berhari-hari.


Saya sangat menyukai musik rock, dan wajar jika saya juga suka sekali nonton konser rock. Sebagai empat pilar hal duniawi yang membentuk karakter diri, rock concert adalah agenda salah satu wajib buat saya.


Lima tahun lalu, saya menyaksikan konser Megadeth di Tenis Indoor Senayan. Tiket hampir sold out. Setiap kali Dave Mustaine membawakan lagu, fans hapal lagu-lagunya, dan interaksi  antara band dengan fans selalu berjalan mulus. Itulah luar biasanya fans Indonesia.


Saya menyesal menonton di tribun VIP yang terlalu jauh dari panggung. Padahal tribun festival dibawah sana sangat tertib. Para headbangers itu memang sesekali saling dorong dan melakukan “ritual” moshing layaknya konser metal pada umumnya, tapi hanya sebatas itu saja.


Selanjutnya, saya keranjingan nonton konser. Kriterianya hanya satu, yaitu konser rock. Seperti halnya saya memandang hanya ada dua genre musik, rock dan bukan rock. Sebuah diskriminasi subjektif tentunya, karena musik dan seni memang dunia yang sangat jauh dari objektivitas dan keteraturan.


Saya tidak bisa berkata tidak pada skill para gitaris handal, para vokalis yang mampu bernyanyi dengan nada tinggi, dan para drummer yang sangat mantap menggebuk drum dan simbalnya. Sebuah kebahagiaan yang sederhana.


Berturut-turut, saya menyaksikan konser rock minimal setahun sekali. Extreme, Mr. Big, Stereophonics dan The Cranberries sudah saya lihat langsung penampilannya. Mr. Big yang paling mantap dari sisi sound system dan performance. Band favorit saya nomor 4 ini punya kelebihan yang unik, yaitu live performance mereka kualitasnya sepadan dengan yang terdapat di album mereka. Mereka benar-benar musisi panggung.


Tahun ini, saya terancam tidak bisa berangkat headbanging. Dream Theater lewat sudah. Harga tiket yang (menurut saya) kelewat mahal adalah alasan utama. Walaupun mereka adalah band favorit saya nomor 6, saya terpaksa mengubur impian untuk tidak menyaksikan langsung para profesor musik itu beraksi didepan mata dan kepala sendiri. Sungguh menyedihkan.


Java Rocking Land? Saya masih belum pasti bisa datang menyaksikan rockstar-rockstar itu tampil karena mungkin saat itu saya sedang menyambut kelahiran sang rockstar pemberian Tuhan. Tapi, lihat saja keadaannya nanti.


Menghadiri konser rock ditengah gempuran musik yang itu-itu saja bagaikan bertemu oase di padang pasir. Dan menghadiri konser itu sama saja berkumpul dengan orang-orang yang satu visi dalam memandang musik, juga sebagai bentuk selebrasi sederhana saya yang sehari-hari sudah penat dan pusing dengan hidup dan segala atribut semunya.


Tapi menyangkut hal ini, ada sedikit uneg-uneg yang saya punya. Fenomena ramainya konser musik artis luar negeri sepertinya melebihi animo para penggemar musik akan penampilan dari band dalam negeri sendiri. Beberapa artis lokal mengeluhkan fenomena ini, yang mana mereka merasa seperti menjadi tamu di negeri sendiri.


Saya punya opini sederhana, dimana wajar saja mereka ingin melihat langsung konser band favorit mereka yang biasanya hanya mereka dengarkan saja tanpa melihat langsung. Terlebih, kebanyakan musisi lokal tentu influence bermusiknya berasal dari mereka yang berada di barat sana, ditambah lagi, konser dari artis luar negeri hampir selalu menyajikan hal-hal yang spektakuler, karena mereka memang sangat matang dalam konsep panggung mereka.


Sebuah fenomena yang wajar jika artis luar negeri lebih diminati konsernya sekaligus menjadi bahan motivasi bagi artis-artis kita. Dalam hal kesiapan konser, para artis luar negeri itu patut ditiru.


Akan tetapi, hal ini menjadi pemandangan yang tidak mengenakkan saat band atau artis lokal tersebut menjadi pembuka konser artis luar negeri. Para penonton yang sudah tidak sabar ingin menyaksikan artis idola luar negerinya sering memberi sambutan yang kurang pantas kepada musisi dari negeri mereka sendiri. Para penonton ini tidak sabar untuk menyaksikan artis luar negeri idola mereka, untuk itulah mereka datang dan rela membayar mahal. Sayangnya, sikap mereka kurang respek terhadap musisi lokal.


Bicara respek terhadap karya orang lain, memang seperti inilah bangsa kita dalam menyikapinya. Begitulah…