Selasa, 07 Februari 2012

Industri musik dan teenager bayaran

Berita besar di dunia maya belakangan ini adalah dihapusnya layanan megaupload dan fileserve. Buat yang sering download atau upload file gratis pasti gak asing dengan website ini. Lalu apa implikasi menghilangnya mereka bagi industri musik dan musik itu sendiri?

Bahwa era digital dan internet kini berdampingan dengan dunia musik, memang bukanlah hal baru. Media penyedia layanan upload dan download gratis itu emang memungkinkan kita untuk memiliki sebuah karya dari musisi tanpa harus membelinya. Keberadaan mereka ini sangat berpengaruh terhadap penjualan album.

Jaman sekarang orang udah jarang beli album band atau musisi favoritnya di toko. Layanan download gratis memungkinkan para penggemar musik mengunduh lagu ataupun album favoritnya tanpa pertimbangan apapun. Karena gratis, orang menjadi nothing to loose dan tidak terlalu peduli akan kualitas album, yang berarti mengurangi rasa hormat mereka akan karya seni. Merekapun memiliki kemewahan untuk memiliki lagu yang mereka anggap bagus, dan tidak mengunduh lagu-lagu lainnya yang mereka tidak sukai. Ada juga sih segelintir die hard fans yang emang selalu beli album original untuk musisi yang mereka kagumi, tapi itu gak banyak.

Gak heran, penjualan album dari para musisi merosot tajam. Gak ada lagi penjualan album diatas sejuta kopi seperti jamannya album Sesuatu Yang Tertunda (Padi-2002), Bintang Lima (Dewa-2000) atau 7 Desember (Sheila on 7-2001). Apakah kebetulan jika ketiga band itu sekarang meredup karena imbas dari turunnya penjualan album?

Tidak bisa dilihat semata dari album, penghasilan dari para musisi bisa didapat dengan banyak cara. Ada RBT, iklan, radio airplay, dan tentunya tawaran manggung. Kalau dilihat secara berimbang, fenomena illegal download ini sebenarnya bisa dianggap sebagai ajang promosi gratis bagi musisi itu sendiri. Kok bisa? Jelas bisa, karena dengan demikian, musik mereka akan lebih mudah dikenal oleh masyarakat luas. Orang akan banyak request ke radio, dan jika airplay mereka tinggi, mereka akan makin dikenal, otomatis tawaran manggung akan berdatangan. Tidak semata hanya mengandalkan penjualan album, bukan?

Bahwa musik sekarang sudah bukan sekedar seni, tapi juga industri. Banyak yang hidup dan makan dari sini. Bukan sekedar penjualan album, ada pula RBT, ringtones, dan bahkan penjual MP3 dan CD bajakan juga menggantungkan hidupnya disini.

Tapi bagaimanapun, pada hakikatnya musik adalah seni, yang sayang jika seni itu dirusak oleh komersialisasi. Karya yang baik akan lahir dari industri dan regulasi yang baik pula, terutama yang tidak merugikan musisi itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa apresiasi masyarakat kita terhadap musik yang berkualitas masih sangat kurang. Band-band yang berpenampilan sama dan mengusung tema lagu sama yaitu cinta picisan berkeliaran di media tv kita. Kita sebagai penonton dicekoki tayangan yang itu-itu saja. Genre sama, lagu mirip, penampilan mirip menjadi wajah dari industri musik kita saat ini. 

Dengan ketiadaan fileserve dan megaupload, peluang memiliki karya cipta secara cuma-cuma kini makin tipis, dan setidaknya orang kini akan memiliki pertimbangan untuk memiliki sebuah album lagu. Karena mereka harus membeli, atau meminjam dari temannya yang membeli, mereka akan lebih menghargai suatu karya. Penyetopan layanan unduh gratis ini ternyata bisa memiliki sisi positif lain dalam bentuk apresiasi. Industri musik bisa hidup kembali.

Memang fileserve atau megaupload hanyalah sedikit media yang memungkinkan adanya illegal download atau pembajakan. Saya sendiri masih netral dalam memandang fenomena ini. Dunia internet memang memberikan konsumen banyak pilihan. Album yang bahkan belum selesai proses rekamannya pun bisa bocor melalui internet, bahkan musisi sebesar Guns and Roses sendiri pernah kecolongan. 

Terdapat dua sisi berbeda akan imbas dari fenomena ini. Berapa banyak musisi potensial yang harus terkubur impiannya hanya karena demo lagunya ditolak oleh label? Jaman sekarang, merekam musik dari kamar sendiripun sudah bisa. Dengan adanya internet, siapapun bisa menelurkan karya tanpa batas dan tanpa mengandalkan label. Demokratisasi dalam dunia musik ini boleh jadi memang kurang berpihak pada musisi yang bermusikalitas bagus. Jika seorang remaja mampu terkenal hanya bermodalkan sebuah gitar kopong dan peralatan rekaman sederhana, lalu apa gunanya musisi-musisi hebat itu bersekolah musik tinggi-tinggi lalu dan menguasai instrumen sedemikian hebatnya jika karya mereka kalah laku?

Pada akhirnya, musik memang dikembalikan kepada selera pasar. Namun pasar yang mana? Media TV yang ada sekarang cenderung hanya mengakomodir pasar tertentu saja, yang sama-sama kita sering lihat di acara musik setiap pagi. Akan sangat menyedihkan jika para pengasuh acara musik itu mengajak anak-anak sekolah untuk bolos dengan iming-iming upah uang jajan dan mengajarkan mereka joget cuci-jemur. Inilah teenage abuse yang terkordinir dan sistematis. Hanya dua kalangan yang menikmati acara demikian, anak sekolah yang harusnya disekolah, dan band-band pengusung lagu cinta picisan seragam itu. Konsep inipun menjadi sesuatu yang janggal, dimana penyelenggara acara dan musisi itu sendirilah yang membayar orang untuk menonton mereka, bukannya sebaliknya. Musisi makin tidak dihargai.

Band-band yang beraliran beda dari yang ada sekarang umumnya ditolak oleh label besar, dengan alasan musiknya "terlalu keras" atau terlalu "njelimet" karena media umumnya memang tidak melihat kualitas, melainkan melihat apa yang sedang disukai oleh para penonton bayaran itu. Siapa sih yang mau bela-belain nonton pagi-pagi di mall atau di studio TV? Ya cuma teenager bayaran itu. Siapa pasar sebenarnya dari musik itupun menjadi bias. Hanya mereka yang digemari teenager bayaran itulah yang diberi kesempatan tampil di televisi, dan itulah pasar musik Indonesia sekarang.

Kekeliruan masif ini tentu gampang dilihat imbasnya. Sulit untuk melihat musisi berkualitas bertengger di top chart musik, dan sulit pula bagi mereka untuk bertahan. Dan selamat menikmati musik yang itu-itu saja.