Kamis, 09 Februari 2012

Passion and happiness

Belakangan ini gue sering baca buku-buku mengenai PASSION. Buku-buku itu menggelitik jiwa, betapa hidup gak sekedar kerja kantoran 9 to 5, atau kerja keras sampe pulang pagi, lalu paginya udah harus kerja lagi. Passion menawarkan lebih dari itu. Passion adalah kendaraan menuju tingkatan HAPPINESS.

Intinya, buku-buku itu memiliki pertanyaan mendasar yang kurang lebih sama: "Are you happy?" Happiness atau kebahagiaan adalah sebuah terminologi sederhana dari apa yang dicari-cari oleh manusia. Tapi, gak semua orang bisa atau bahkan mau mengejarnya.

Gue udah ngumpulin definisi HAPPINESS dari orang-orang disekitar. "Happiness? Buat gue, itu adalah uang. Kalo punya uang, kita bisa beli apa aja yang kita mau." Kata seorang teman, yang diam-diam punya ambisi menjadi walikota di masa depannya. Lain lagi dengan pendapat seorang teman lainnya, yang berambisi menjadi partner (jabatan tertinggi di firma akunting) di masa depan. "Buat gue, yang penting itu jabatan. Karena jabatan berbanding lurus sama penghasilan. Kalau penghasilan besar, kita bakal happy." Lain lagi dengan definisi beberapa orang teman lainnya, yang bermimpi untuk melanjutkan studi keluar negeri dan menetap disana. Dengan studi keluar negeri, mereka berharap mampu membawa perubahan bagi negara ini sekembalinya dari studi mereka.

Entahlah, masing-masing orang punya definisi dan ukuran tentang kebahagiaan. Ada pula beberapa orang yang tadinya sangat passionate mengejar bidang yang disenanginya lalu banting setir untuk sesuatu yang sebenarnya kurang disukainya, tapi dia memang capable untuk mengerjakannya. Atau ada juga beberapa orang hebat yang mampu mengerjakan apa yang dia suka dan menjadikannya sebagai penopang hidup.

Hidup cepat berubah. Akan ada saat dimana hari-hari yang semula berisi banyak mimpi dan idealisme akan berubah menjadi kehidupan yang realistis, datar, membosankan, serba 'cari aman' dan serba 'cari yang pasti'. Pastinya seringkali hal itu mengabaikan kebahagiaan kita sendiri. Padahal, apapun yang dilakukan tanpa hati, hasilnya gak bakal bagus. Ditengah segala keharusan dan kebutuhan hidup yang pokok, akankah kita masih peduli sama passion?

Well apapun itu, pengalaman membawa gue kepada banyak hal. Banyak masukan dan saran dari orang-orang terdekat. Inti dari semua saran itu sebenernya mengerucut kepada satu hal, yaitu keberanian. Namun pertanyaan kembali muncul. Beranikah kita mengejar passion kita disaat kita sekarang tidak memungkinkan untuk mengejarnya? Apakah kita harus berhenti dari pekerjaan untuk mengejar kemana passion kita?

Gue mendapatkan rumusan yang cukup keren untuk orang-orang yang berada di situasi dimana passion tidak sejalan dengan realita. Rumusan yang dinamakan 70-20-10. 70 persen kita alokasikan untuk kegiatan yang mampu menopang hidup kita, kalau bahasa lugasnya, membuat dapur tetep ngebul. 20 persen kita alokasikan untuk kegiatan menghasilkan yang kita suka. 10 persen lainnya unutk kegiatan baru dan belum menghasilkan, tapi tidak membahayakan kegiatan 70 persen itu.

Kita gak pernah tahu masa depan kaya gimana. Manusia hanya bisa berencana, tapi Tuhan yang menentukan. Siapa yang tahu 20 persen yang kita lakukan itu kelak berubah menjadi 70 persen? Misalnya, bisa jadi hobi fotografi kita menjadi profesi saat karya fotografi tersebut diapresiasi oleh banyak orang, yang kemudian meroketkan nama kita.

Yang jelas, kejarlah passion itu bagaimanapun kita akan sukses atau tidak. Karena passion adalah “makanan” untuk hati, dimana kita selalu bergairah dan bersungguh-sungguh mengerjakannya, walau tanpa imbalan sekalipun. Gak usah berharap suatu hasil dari pengejaran terhadap passion itu, karena dengan menjalankannyapun sudah bikin kita bahagia.

Bagaimana kalau kita terlambat atau bahkan belum tahu passion kita? Dari buku-buku yang gue baca, semuanya bilang: CARI. Bagaimana mencarinya? Cobalah think out of the box, cobalah untuk lebih banyak bergaul dan bersosialisasi, membuka diri, memperluas wawasan, membaca buku dan lainnya.

So, are you happy?

Are you wanna be happy?