Dalam hidup, kita memang berlomba
dan berkompetisi. Misalnya saja saat mengikuti pertandingan bulutangkis,
pemenang utama mendapat medali emas, runner-up menerima medali perak, dan penghuni
peringkat tiga mendapat medali perunggu. Sementara yang lain tidak mendapat
apapun.
Pun begitu halnya dengan
kompetisi-kompetisi lainnya. Dunia tarik suara yang diperlombakan pun memakai
format yang sama, yakni pemenang ditentukan dengan peringkat kesatu, dua dan
tiga. Dan begitupula perlombaan balap karung atau makan kerupuk tujuh belas-an.
Pemenang dan pecundang tersegregasi dengan jelas, antara siapa yang mendapat
hadiah dan yang tidak. Atau jika panitianya berlimpah uang, maka pemenang akan mendapat hadiah utama, dan yang tidak menang akan diberi hadiah hiburan tanda terimakasih.
Yang dititikberatkan dalam aneka
perlombaan ini adalah kejelasan antara siapa yang menang dan kalah. “The winner
standing tall, the loser standing small. It’s easy and it’s plain, why should I
complain” begitu kata band ABBA dalam menghayati arti dari sebuah kompetisi.
Semuanya sudah ditetapkan dengan jelas dan terang benderang, tak ada keraguan
dan tanda tanya. Oleh karenanya, untuk apa harus protes?
Namun bagaimana dengan kekalahan
yang tak berwujud? Kita sudah menjalani sebuah proses, tetapi tidak mengetahui
apakah kita menang atau kalah. Yang ada, kita malah akan menjalani periode ‘digantung
tanpa kejelasan’ sebelum akhirnya mengetahui bahwa sudah ada pemenang
selain kita yang terpilih.
Begitulah rasanya dalam mencari
pekerjaan, baik pencari kerja yang baru lulus kuliah yang tidak akan terlalu ‘jual
mahal’ atau pun pekerja berpengalaman yang sudah mulai ‘picky’. Para pencari
kerja ini akan mengalami periode pasang surut. Di awal proses rekrutmen, para ‘pemburu
kepala’ ini akan berbaik hati menghubungi kita, lalu beramah tamah demi
mendapatkan informasi yang diinginkan.
Setelah itu, mereka akan membuat janji
dengan kandidat, bahkan tidak sedikit yang rela menganggarkan jamuan di
restoran mahal. Percakapan dengan kandidat pun terjadi. Namun lama kelamaan
keadaan berbalik. Kandidat yang terpesona dengan presentasi dari pemburu kepala
kemudian berharap bahwa ia akan menjadi orang yang cocok untuk pekerjaan yang
ditawarkan.
Mulailah timbul rasa resah dan
gelisah menghantui pikiran si kandidat. Mulai melihat-lihat lagi apakah
perusahaan yang sekarang mempekerjakannya sudah cukup baik memperlakukan,
padahal selama ini cuek-cuek saja. Lalu kemudian mulailah ia mencari-cari tahu
tentang si calon tempat kerja baru, dan jika perlu mencoba produk-produknya.
Harapan pun membuncah ketika
panggilan kedua, ketiga dan keempat didapat. Rasanya proses kepindahan hanya
tinggal formalitas. Berita ‘bahagia’ pun mulai disiarkan, mula-mula kepada orang-orang
terdekat, yang kemudian menjalar hingga ke seantero kantor. Mulai banyak sosok
yang bertanya, sekadar ingin tahu, tapi sebetulnya tidak peduli-peduli amat. Atau
mereka hanya iri saja.
Apa daya, di tengah euforia dan
optimisme yang membuncah, kabar akan proses final tidak kunjung didapat. Ingin menghubungi
si pemburu kepala, tapi hati masih gengsi. Okelah baru satu minggu tidak
dikabari, mungkin mereka masih mempersiapkan ini-itu. Namun kemudian dua
minggu, sebulan, dua bulan pun berlalu tanpa kejelasan. Ketika dihubungi,
jawabannya hanyalah lip service
belaka. Tidak ada kata gamblang penolakan, atau kabar bahwa posisi yang dituju
sudah diisi oleh kandidat lain.
Digantung itu gak enak, Jenderal!
Begitu menyebalkannya berada di situasi ‘digantung’ ini. Saat di mana kegagalan
atau kekalahan tidak ada wujudnya, dan baru disadari setelah waktu
berlalu terlalu lama. Sampai kemudian waktu pula yang akan 'menyembuhkan'.
Untuk itulah, saya akan jauuhh
lebih menghargai perusahaan yang memberitahukan penolakan secara gamblang, baik
langsung ataupun lewat email. “We are sorry that we have selected another
candidate to the position that you have applied. We would like to thank you for
the participation. We will keep your resume, and we will contact you if there
are opportunities in the future.”
Di atas adalah contoh email penolakan kerja dari perusahaan kepada kandidat.
Udah nolak, masih juga ngasih
harapan (palsu). Ya gak pa-pa lah, setidaknya mereka masih punya guts untuk berkata-kata, dan tentunya empati untuk tidak membiarkan
kita jadi korban harapan palsu hingga waktu yang tidak dapat ditentukan.
Sebetulnya situasi ini juga sama
aja sih dengan orang yang lagi pedekate.
Situasi digantung begini pasti udah pernah dirasain, di mana si target tanpa
kita ketahui sudah memiliki banyak kandidat, seperti halnya perusahaan yang
sedang mencari calon karyawan. Dalam mengejar cinta seseorang, kita memang
tidak ubahnya seperti pelamar kerja, yang dapat dengan mudah dilupakan sejenak meskipun kita sudah bersusah payah.
Tapi tenang, akan selalu ada penghiburan. Kalo kata Lupus ke Boim "Dunia belum berakhir. Ditolak belum tentu diterima."