Kamis, 09 Juni 2016

Penolakan Tak Berwujud

Dalam hidup, kita memang berlomba dan berkompetisi. Misalnya saja saat mengikuti pertandingan bulutangkis, pemenang utama mendapat medali emas, runner-up menerima medali perak, dan penghuni peringkat tiga mendapat medali perunggu. Sementara yang lain tidak mendapat apapun.


Pun begitu halnya dengan kompetisi-kompetisi lainnya. Dunia tarik suara yang diperlombakan pun memakai format yang sama, yakni pemenang ditentukan dengan peringkat kesatu, dua dan tiga. Dan begitupula perlombaan balap karung atau makan kerupuk tujuh belas-an. Pemenang dan pecundang tersegregasi dengan jelas, antara siapa yang mendapat hadiah dan yang tidak. Atau jika panitianya berlimpah uang, maka pemenang akan mendapat hadiah utama, dan yang tidak menang akan diberi hadiah hiburan tanda terimakasih.


Yang dititikberatkan dalam aneka perlombaan ini adalah kejelasan antara siapa yang menang dan kalah. “The winner standing tall, the loser standing small. It’s easy and it’s plain, why should I complain” begitu kata band ABBA dalam menghayati arti dari sebuah kompetisi. Semuanya sudah ditetapkan dengan jelas dan terang benderang, tak ada keraguan dan tanda tanya. Oleh karenanya, untuk apa harus protes?


Namun bagaimana dengan kekalahan yang tak berwujud? Kita sudah menjalani sebuah proses, tetapi tidak mengetahui apakah kita menang atau kalah. Yang ada, kita malah akan menjalani periode ‘digantung tanpa kejelasan’ sebelum akhirnya mengetahui bahwa sudah ada pemenang selain kita yang terpilih.


Begitulah rasanya dalam mencari pekerjaan, baik pencari kerja yang baru lulus kuliah yang tidak akan terlalu ‘jual mahal’ atau pun pekerja berpengalaman yang sudah mulai ‘picky’. Para pencari kerja ini akan mengalami periode pasang surut. Di awal proses rekrutmen, para ‘pemburu kepala’ ini akan berbaik hati menghubungi kita, lalu beramah tamah demi mendapatkan informasi yang diinginkan. 


Setelah itu, mereka akan membuat janji dengan kandidat, bahkan tidak sedikit yang rela menganggarkan jamuan di restoran mahal. Percakapan dengan kandidat pun terjadi. Namun lama kelamaan keadaan berbalik. Kandidat yang terpesona dengan presentasi dari pemburu kepala kemudian berharap bahwa ia akan menjadi orang yang cocok untuk pekerjaan yang ditawarkan. 


Mulailah timbul rasa resah dan gelisah menghantui pikiran si kandidat. Mulai melihat-lihat lagi apakah perusahaan yang sekarang mempekerjakannya sudah cukup baik memperlakukan, padahal selama ini cuek-cuek saja. Lalu kemudian mulailah ia mencari-cari tahu tentang si calon tempat kerja baru, dan jika perlu mencoba produk-produknya.


Harapan pun membuncah ketika panggilan kedua, ketiga dan keempat didapat. Rasanya proses kepindahan hanya tinggal formalitas. Berita ‘bahagia’ pun mulai disiarkan, mula-mula kepada orang-orang terdekat, yang kemudian menjalar hingga ke seantero kantor. Mulai banyak sosok yang bertanya, sekadar ingin tahu, tapi sebetulnya tidak peduli-peduli amat. Atau mereka hanya iri saja.


Apa daya, di tengah euforia dan optimisme yang membuncah, kabar akan proses final tidak kunjung didapat. Ingin menghubungi si pemburu kepala, tapi hati masih gengsi. Okelah baru satu minggu tidak dikabari, mungkin mereka masih mempersiapkan ini-itu. Namun kemudian dua minggu, sebulan, dua bulan pun berlalu tanpa kejelasan. Ketika dihubungi, jawabannya hanyalah lip service belaka. Tidak ada kata gamblang penolakan, atau kabar bahwa posisi yang dituju sudah diisi oleh kandidat lain.


Digantung itu gak enak, Jenderal! Begitu menyebalkannya berada di situasi ‘digantung’ ini. Saat di mana kegagalan atau kekalahan tidak ada wujudnya, dan baru disadari setelah waktu berlalu terlalu lama. Sampai kemudian waktu pula yang akan 'menyembuhkan'.


Untuk itulah, saya akan jauuhh lebih menghargai perusahaan yang memberitahukan penolakan secara gamblang, baik langsung ataupun lewat email. “We are sorry that we have selected another candidate to the position that you have applied. We would like to thank you for the participation. We will keep your resume, and we will contact you if there are opportunities in the future.” 

Di atas adalah contoh email penolakan kerja dari perusahaan kepada kandidat.


Udah nolak, masih juga ngasih harapan (palsu). Ya gak pa-pa lah, setidaknya mereka masih punya guts untuk berkata-kata, dan tentunya empati untuk tidak membiarkan kita jadi korban harapan palsu hingga waktu yang tidak dapat ditentukan.


Sebetulnya situasi ini juga sama aja sih dengan orang yang lagi pedekate. Situasi digantung begini pasti udah pernah dirasain, di mana si target tanpa kita ketahui sudah memiliki banyak kandidat, seperti halnya perusahaan yang sedang mencari calon karyawan. Dalam mengejar cinta seseorang, kita memang tidak ubahnya seperti pelamar kerja, yang dapat dengan mudah dilupakan sejenak meskipun kita sudah bersusah payah

Tapi tenang, akan selalu ada penghiburan. Kalo kata Lupus ke Boim "Dunia belum berakhir. Ditolak belum tentu diterima."