Jumat, 15 Januari 2016

Dari Tragedi Ke Komedi



Kemarin, 14 Januari 2016, patut dicatat dalam sejarah bangsa ini. Serangan teroris yang menyasar daerah pertokoan Sarinah Thamrin, yang bisa dibilang jantungnya kota Jakarta menelan dua korban jiwa tak berdosa, dan Jakarta kemudian digelayut rasa takut. Teror dilanjutkan dengan tebaran pesan singkat berisi ancaman peledakan bom dan serangan lanjutan di beberapa titik keramaian, ditambah kabar akan sosok teroris berjubah putih bermotor trail yang siap memberedel senjata AK-47 kepada siapa saja yang dilihat.

Kepanikan sempat tersebar selama beberapa jam pertama. Informasi 'katanya si ini' dan 'katanya si anu' beredar viral tanpa filter, entah benar atau bohong. Pesan-pesan tadi membuat banyak orang takut, tempat berjualan pun ditutup, karyawan dipulangkan, dan sebagian pengelola gedung menyuruh penghuni tetap di dalam karena menanggap di luar tidak aman.

Tapi hanya beberapa jam saja, bangsa ini mampu mengubah tragedi menjadi komedi, tanpa mengurangi rasa hormat pada korban jiwa. Pesan-pesan menakutkan tadi ternyata hanyalah hoax belaka. Padahal di tempat kejadian, para casual crowd yang menyikapi hal ini dengan bergairah. Maklum saja, sehari-harinya mereka lebih sering mengrubungi dan memfoto korban kecelakaan atau shooting sinetron. Sekarang mereka bisa dapat foto atau video eksklusif berisi baku tembak polisi dengan teroris!

Abang-abang pengais rezeki di sekitaran Thamrin pun tetap berjualan seperti tidak terjadi apa-apa, bahkan mengaku dagangannya lebih cepat habis. Mereka bertemu dengan para pembeli yang kebanyakan kelas menengah yang punya ponsel pintar dengan kamera canggih dan sering main Path untuk berbagi momen dan mendapat 'love'.

Para desainer grafis beradu kreativitas mengedit foto dengan berbagai teknik memukau, para motivator online dan keyboard warrior yang menjalankan perannya untuk membalikkan teror pesan hoax menjadi pembangkit semangat, tidak ketinggalan random person yang punya kecenderungan untuk mengomentari segala hal, walau terbatas kepada grup whatsapp teman sekolah yang udah susah diajak kumpul ketemuan karena udah sibuk masing-masing dan terbiasa php-in janjian. 

Posting dengan tema parenting modern, tausyiah inspiratif, pandangan politik yang bernas, resep makanan enak yang kebarat-baratan dan desain rumah minimalis di Facebook pun sekilas berganti dengan meme-meme kreatif teror Sarinah (dan tentu saja akan segera balik lagi seperti semula). Belum lagi para stalker medsos yang sempat-sempatnya mencari tahu identitas sang polisi ganteng bersepatu Guc*i dan memakai tas Co*ch, juga polwan-polwan cantik yang tiba-tiba menenteng senapan mesin. Ada yang pakai analisa mata uang rupiah yang bisa tergelincir ke 17 ribu, ada ekonom-ekonom dadakan, ada pula pengamat intelejen beneran, dan ada juga orang biasa yang tiba-tiba bisa jadi pengamat. 

Untungnya awan hitam pun sirna. Semua mengambil peran masing-masing untuk memperbaiki keadaan, dan ternyata dalam hitungan jam saja, tragedi ini berangsur menjadi komedi. Sekali lagi, tanpa bermaksud menghilangkan rasa hormat kepada korban.

Di antara hal-hal tidak jelas dan tidak masuk di akal yang terjadi di negara ini, di antara banyaknya para alay yang naik motor ugal-ugalan bertiga di jalanan komplek, di antara ribut-ribut gak jelas (di Facebook doang sih) antara pemerintah haterz dan pemerintah loverz yang saling gemez, kita memiliki polisi-polisi tangguh, tidak hanya yang tambun saja. Publik kita juga punya karakter cuek, bocor dan bodor –entah karena hidupnya yang terbiasa tertekan, kurang diperhatikan atau memang kurang piknik- yang mampu membalikkan sebuah krisis menjadi euforia hanya dalam hitungan jam. Tagar #JakartaMencekam atau #PrayForJakarta sontak berubah menjadi #KamiTidakTakut, #KamiNaksir dan #KamiJugaNaksir bagaikan pesan kemenangan sekaligus tamparan telak bagi lawan. Untung saja tidak ada yang sampai menceburkan diri di air mancur Bunderan HI saking norakgirangnya.

Tapi apakah peristiwa ini perlu dirayakan seperti kemenangan? Tidakkah kita berpikir bahwa serangan ini bisa diikuti serangan-serangan lain yang lebih rapi dan terencana di waktu dan tempat yang sulit diduga? Jangan lupa, kita berhadapan dengan para ekstrimis yang tidak takut mati, yang sudah menyebabkan begitu banyak korban di belahan dunia lain. Sudah tepatkah reaksi kita untuk mengolok-olok balik mereka? Jika tujuan dari teror ini adalah untuk membuat takut, maka ini adalah kekalahan telak. Pembalasan mungkin datang, tapi biarlah masalah keamanan nasional ini dipikirkan oleh pihak berwenang.

Sementara bagi kita yang awam ini, hidup tidak akan banyak berubah. Tetap saja kita akan menghadapi teror sehari-hari dari kemacetan, pengendara mobil yang sotoy dan suka bawa air soft gun, pengendara motor yang kalo salah malah lebih galakan dia, gaji di kantor yang naiknya sedikit-sedikit, ancaman PHK demi efisiensi (atau demi tidak berkurangnya dividen shareholder), cicilan motor PC* dan N*AX yang kita beli sekaligus saking bingung pilih yang mana, juga tagihan kartu kredit hasil belanja kalap di IK*A, Met*o atau M*ther*are.