Kemarin,
14 Januari 2016, patut dicatat dalam sejarah bangsa ini. Serangan teroris yang
menyasar daerah pertokoan Sarinah Thamrin, yang bisa dibilang jantungnya kota Jakarta menelan dua
korban jiwa tak berdosa, dan Jakarta kemudian digelayut rasa takut. Teror
dilanjutkan dengan tebaran pesan singkat berisi ancaman peledakan
bom dan serangan lanjutan di beberapa titik keramaian, ditambah kabar akan sosok teroris berjubah putih bermotor
trail yang siap memberedel senjata AK-47 kepada siapa saja yang dilihat.
Kepanikan
sempat tersebar selama beberapa jam pertama. Informasi 'katanya si ini' dan 'katanya si anu' beredar viral tanpa filter, entah benar atau bohong. Pesan-pesan tadi membuat
banyak orang takut, tempat berjualan pun ditutup, karyawan dipulangkan, dan
sebagian pengelola gedung menyuruh penghuni tetap di dalam karena menanggap di luar tidak
aman.
Tapi
hanya beberapa jam saja, bangsa ini mampu mengubah tragedi menjadi komedi,
tanpa mengurangi rasa hormat pada korban jiwa. Pesan-pesan menakutkan tadi ternyata hanyalah hoax belaka. Padahal di tempat kejadian, para casual crowd yang menyikapi hal ini dengan bergairah. Maklum saja,
sehari-harinya mereka lebih sering mengrubungi dan memfoto korban kecelakaan atau shooting sinetron. Sekarang mereka bisa dapat foto atau video eksklusif berisi baku tembak polisi dengan teroris!
Abang-abang pengais
rezeki di sekitaran Thamrin pun tetap berjualan seperti tidak terjadi
apa-apa, bahkan mengaku dagangannya lebih cepat habis. Mereka bertemu dengan para
pembeli yang kebanyakan kelas menengah yang punya ponsel pintar dengan kamera
canggih dan sering main Path untuk berbagi momen dan mendapat 'love'.
Para
desainer grafis beradu kreativitas mengedit foto dengan berbagai teknik
memukau, para motivator online dan keyboard warrior yang menjalankan
perannya untuk membalikkan teror pesan hoax
menjadi pembangkit semangat, tidak ketinggalan random person yang punya kecenderungan untuk mengomentari segala
hal, walau terbatas kepada grup whatsapp teman
sekolah yang udah susah diajak kumpul ketemuan karena udah sibuk masing-masing
dan terbiasa php-in janjian.
Posting
dengan tema parenting modern,
tausyiah inspiratif, pandangan politik yang bernas, resep makanan enak yang
kebarat-baratan dan desain rumah minimalis di Facebook pun sekilas berganti
dengan meme-meme kreatif teror Sarinah (dan tentu saja akan segera balik lagi seperti semula).
Belum lagi para stalker medsos yang
sempat-sempatnya mencari tahu identitas sang polisi ganteng bersepatu Guc*i dan
memakai tas Co*ch, juga polwan-polwan cantik yang tiba-tiba menenteng senapan mesin. Ada yang pakai analisa mata uang rupiah yang bisa
tergelincir ke 17 ribu, ada ekonom-ekonom dadakan, ada pula pengamat intelejen beneran, dan ada juga orang biasa yang tiba-tiba bisa jadi pengamat.
Untungnya awan hitam pun sirna. Semua mengambil peran masing-masing untuk memperbaiki keadaan, dan ternyata dalam
hitungan jam saja, tragedi ini berangsur menjadi komedi. Sekali lagi, tanpa
bermaksud menghilangkan rasa hormat kepada korban.
Di
antara hal-hal tidak jelas dan tidak masuk di akal yang terjadi di negara ini,
di antara banyaknya para alay yang naik motor ugal-ugalan bertiga di jalanan komplek, di
antara ribut-ribut gak jelas (di Facebook doang sih) antara pemerintah haterz dan
pemerintah loverz yang saling gemez, kita memiliki polisi-polisi tangguh, tidak hanya yang tambun
saja. Publik kita juga punya karakter cuek, bocor dan bodor –entah karena hidupnya yang
terbiasa tertekan, kurang diperhatikan atau memang kurang piknik- yang mampu membalikkan sebuah krisis
menjadi euforia hanya dalam hitungan jam. Tagar #JakartaMencekam atau
#PrayForJakarta sontak berubah menjadi #KamiTidakTakut, #KamiNaksir dan #KamiJugaNaksir bagaikan pesan
kemenangan sekaligus tamparan telak bagi lawan. Untung saja tidak ada yang
sampai menceburkan diri di air mancur Bunderan HI saking norakgirangnya.
Tapi
apakah peristiwa ini perlu dirayakan seperti kemenangan? Tidakkah kita berpikir
bahwa serangan ini bisa diikuti serangan-serangan lain yang lebih rapi dan
terencana di waktu dan tempat yang sulit diduga? Jangan lupa, kita berhadapan dengan para ekstrimis yang tidak takut mati, yang sudah menyebabkan begitu banyak korban di belahan dunia lain. Sudah tepatkah reaksi kita untuk mengolok-olok balik mereka? Jika tujuan dari teror ini adalah untuk membuat takut, maka ini adalah kekalahan telak. Pembalasan mungkin datang, tapi biarlah masalah keamanan nasional ini dipikirkan oleh pihak
berwenang.
Sementara
bagi kita yang awam ini, hidup tidak akan banyak berubah. Tetap saja kita akan
menghadapi teror sehari-hari dari kemacetan, pengendara mobil yang sotoy dan
suka bawa air soft gun, pengendara motor yang kalo salah malah lebih galakan
dia, gaji di kantor yang naiknya sedikit-sedikit, ancaman PHK demi efisiensi
(atau demi tidak berkurangnya dividen shareholder),
cicilan motor PC* dan N*AX yang kita beli sekaligus saking bingung pilih yang
mana, juga tagihan kartu kredit hasil belanja kalap di IK*A, Met*o atau M*ther*are.