Senin, 15 Juni 2015

Teman Nongkrong Yang Asik

Interaksi dengan sesama manusia, suka atau tidak, adalah kebutuhan. Manusia tetaplah membutuhkan manusia lain, sekalipun ia kaya raya, sukses besar, ataupun melarat. Dan bentuk interaksi paling sederhana adalah saling berbicara, atau mengobrol. Mengobrol tentu tidak sekadar mengobrol, karena biasanya dilakukan sembari menyantap kudapan, menyeruput kopi, menyesap teh, merokok atau malah menenggak bir dingin. Apapun hidangannya, di manapun tempatnya, kegiatan seperti ini lazim disebut nongkrong.

Kecuali anda seorang antisosial, maka anda pasti pernah nongkrong, entah di warung kopi dekat rumah atau kafe sejuk dengan ambience yang tidak malu-maluin untuk difoto. Nongkrong ini, sayangnya bersifat eksklusif. Anda tentu tidak mau membuang-buang waktu untuk nongkrong bersama orang-orang yang tidak anda inginkan, bukan? Dan karena nongkrong identik dengan mengobrol, maka teman nongkrong adalah teman yang enak diajak mengobrol. Seperti apa orang itu? Saya sih punya kriteria sendiri.

Wawasan Luas
Sebuah ide besar kadang datang dari kegiatan sederhana seperti ini. Untuk mendapatkan ide tersebut, tidak jarang bahwa teman nongkrong yang asik ini adalah sosok yang berwawasan luas, atau setidaknya mahir di satu bidang. Dengan wawasan luas inilah, ia dapat memberikan pengetahuan yang tidak nanggung sehingga bisa mencerahkan kita yang hanya mendengar. 

Tapi, bukan berarti juga saya senang dengan seorang Mr. Know It All Wanna Be. Seseorang yang selalu terlihat ingin menonjol dalam setiap percakapan, selalu ingin dibilang paling tahu segalanya. Ketika anda berbicara musik jazz, ia langsung nimbrung seolah paling paham, begitu pula ketika anda beralih ke topik sejarah. Orang ini selalu sibuk menyandingkan pengetahuannya dengan lawan bicara. 

Anda tidak perlu berusaha keras bersikap seperti itu jika anda bukan seorang polymath seperti halnya Leonardo Da Vinci, Galileo Galilei, Confucius, Benjamin Franklin ataupun Bruce Dickinson.

Tidak Arogan
Seorang yang arogan bisa saja sebegitu membanggakan profesinya, seakan profesi lain tiada arti dan tanpa keahlian profesionalnya, maka tatanan masyarakat akan runtuh. Orang seperti ini menggunakan keahlian profesionalnya ataupun status pergaulannya sebagai standar untuk menilai orang lain.

Polisi arogan: “Elo semua gak bakal hidup aman kalo gak ada polisi kaya gue!”
Dokter arogan: “Kalo gak ada dokter kaya gue, siapa yang bakal ngobatin penyakit lo?”
Ekonom arogan: "Kalo bukan karena penelitian-penelitian gue, ekonomi bangsa ini bakal runtuh!"
Editor arogan: "Gak nyangka direktur perusahaan sekaliber dia masih gagap EYD saat menulis."
Anak mobil arogan: "Penampilannya memang keren, tapi lihat dong mobilnya, dekil dan gak terawat."

Memiliki keahlian tinggi dan pencapaian eksepsional di bidang yang digeluti memang membanggakan, tapi cobalah untuk sadar bahwa setiap orang memang terlahir memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Setiap orang juga telah memilih bidang keahliannya sendiri dan tidak mungkin untuk menjadi sempurna di semua bidang.

Dan jangan lupa, bagaimanapun anda merasa hebat, sesungguhnya anda tidak sehebat itu, kokNo matter how good you are, there are always someone better.

Berpikiran Terbuka
Hanya karena seseorang tidak pernah selingkuh (mungkin karena gak laku), bukan berarti dia berhak memberi label buruk kepada temannya yang berselingkuh karena terus menerus digoda teman perempuannya. Juga hanya karena seseorang memiliki pandangan politik berbeda, bukan berarti kita harus memaksakan pandangan politik kita.

Seseorang punya jalan cerita dan lika-liku hidup masing-masing yang menyebabkannya memilih suatu jalan, dan kita sama sekali tidak berhak menghakiminya karena cerita hidup seseorang memang berbeda-beda. Manusia memang terlalu terbiasa untuk melihat segala sesuatu dari luarnya saja, padahal apa yang dia lihat sama sekali tidak merepresentasikan yang terjadi. 

Lagipula, siapalah kita ini sampai merasa berhak untuk menilai hidup orang lain? 

Sikap Positif
Sangat menyenangkan nongkrong bersama orang-orang yang positif. Mereka tidak suka mengeluh, mereka memandang hidup dengan lebih optimis. Oke, sesekali mengeluh tentu tidak mengapa, tapi mbok ya jangan setiap nongkrong obrolannya keluhan melulu. Mengeluhkan bos yang gak cocok dengan kita, gaji yang kurang, istri yang galak, mertua yang bawel, anak yang bandel, perut yang menggendut, mobil yang butut, sampai rumah yang sempit. Tidak jarang, orang seperti ini sering membicarakan betapa enaknya hidup orang lain, hingga lupa mensyukuri apa yang sudah didapat. Rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau.

Mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah hingga anda sendiri yang bergerak untuk melakukan sesuatu. 

Dan ingatlah, betapapun anda menganggap hidup orang lain lebih baik, banyak orang tidak beruntung di luar sana yang menginginkan hidup seperti yang anda punya.

Tidak Banyak Bergosip
Bergosip, bukan hanya kerjaan wanita. Banyak juga pria yang gemar bergosip. Awalnya hanya ngomongin orang secara pekerjaan, lama kelamaan menjadi personal. Lama kelamaan sinis. Akhirnya, di matanya, segala sesuatu tentang orang yang digosipin itu menjadi jelek, dan dia ingin orang lain berpendapat sama. Memang bergosip kadang menyenangkan, tapi tidak lebih untuk lucu-lucuan belaka. Kalau sudah sampai tahap selalu menjelek-jelekkan, apalagi menghina dan menjatuhkan kredibilitas, tentu saja keterlaluan.

Small people talk about other people. Kita tidak akan terlihat baik dengan cara menjelekkan orang lain.

Rendah Hati
"It's hard to be humble... When we perfect in every way," begitulah kata orang, menggambarkan betapa sulitnya bersikap rendah hati. Terlebih pada era sosial media, di mana anda akan terbiasa memberitakan kepada dunia tentang apa yang anda lakukan, di restoran mana anda makan malam, di kafe mana anda ngopi, di hotel mana anda menginap, di kota mana anda berlibur, mobil apa yang anda kendarai, begitu nyamannya rumah besar anda, betapa pintarnya si kecil, juga seberapa kerennya koleksi batu akik anda.

Memiliki semua itu memang menyenangkan, tapi tentu saja anda tidak perlu memberitahu semua orang. Memperlihatkan satu-dua koleksi barang mungkin akan terlihat wajar sebatas aktualisasi diri, tapi perlukah anda memamerkan setiap jengkal isi rumah, semua kegiatan dan kumpulan foto tentang hebatnya si buah hati?

Itu tentang bersikap terhadap diri sendiri, lalu bagaimana bersikap terhadap orang lain? Jika seseorang sedang berbicara tentang pengalamannya, tanggapilah dengan positif. Misalnya si A sedang bercerita pengalaman liburannya ke Singapura, tidak perlu kita menyombongkan diri bercerita pengalaman liburan kita ke Paris. Walaupun kita memang pernah ke Paris, tidak perlu bercerita secara sukarela kecuali ketika orang lain bertanya.

Atau, jika teman kita bercerita tentang anaknya yang sudah bisa sholat, tidak perlu membandingkan dengan anak anda, sekalipun anak anda sudah hapal Al Quran.

Kita tidak perlu menunjukkan superioritas atas orang lain hanya untuk dibilang hebat. 

Selera Humor Yang Baik
Pertemanan tanpa cela-celaan tentu saja hambar. Begitu pula acara nongkrong tanpa menertawakan teman sendiri atau diri sendiri, tentu saja akan terlalu serius seperti halnya wawancara kerja atau rapat direksi. Alangkah menyenangkannya kita bertemu teman yang masih bisa diajak bercanda dan sedikit bersenda gurau, sekalipun teman kita itu sudah memiliki jabatan dan kedudukan yang tinggi.

Kita tidak perlu terlalu menjaga wibawa seperti ketika kita berada di kantor saat sedang nongkrong santai bersama teman. Kita juga tidak bisa berlaku seperti direktur ketika kita berada di depan anak-anak, karena anak-anak kita hanya ingin bersama sosok seorang ayah, bukan sosok direktur.

Karena hidup memang soal berakting dan menempatkan diri. 

Tidak Mendewakan Uang dan Tidak Pelit
Tujuan utama nongkrong adalah bertemu dan bersilaturahmi dengan teman, bukan semata mencari tambahan penghasilan. Menjadi sosok matrealistis di zaman sekarang memang tidak salah karena semua memang butuh uang, tapi mendasari segala tindakan dengan uang juga tidak baik.

"Mau minta tolong sama gue? Wani piro?
"Gue salut sama si A, biar orangnya culas, tapi uangnya banyak."

Orang seperti ini jelas akan melakukan sesuatu dengan mengharap imbalan, dan menilai seseorang dari banyaknya uang yang dimiliki. Cenderung menghalalkan segala cara demi uang. Peduli apa soal moral.

Kalo mau cepet kaya, ya gak usah nongkrong lah, sering-sering aja nonton video motivasi hadiah dari buku how to be rich for dummies yang elo pinjam dari teman. 

Kan nongkrong juga butuh duit, masak sih minta ditraktir melulu? Irit atau pelit?

Tidak Keberatan Berbicara Hal Remeh Temeh
Kadang kita perlu membicarakan hal-hal yang lebih ringan dan menyenangkan. Kita yang sudah sehari-hari bertarung dengan deadline dan target, tentu saja malas dong jika ter(di)paksa terus menerus mendengarkan obrolan berbobot macam politik, hukum ataupun ekonomi ketika sedang bersantai. 

Why so serious?