Bulan Ramadan, selain merupakan bulan yang penuh berkah dan
ampunan, juga dimaksudkan sebagai bulan untuk meredam. Bagi saya, bulan yang
juga sering disebut bulan puasa ini memang sejatinya diperuntukkan untuk
sedikit mengerem aktivitas kita setelah sebelas bulan lamanya beraktivitas. Banyak
lembaga pendidikan mengurangi jam belajar, dan banyak perusahaan mengurangi jam
kerja. Selain memberi kesempatan orang untuk lebih khusyuk dalam beribadah,
juga memberi kesempatan untuk berkumpul lebih sering dengan keluarga. Pendeknya,
banyak kegiatan duniawi yang dikurangi frekuensinya demi memanfaatkan momen
penuh berkah ini.
Namun bagi anak-anak, bulan Ramadan bukanlah sebuah momen
untuk meredam dan bercermin. Memangnya apa yang mau diredam dan direfleksikan
dari masa kanak-kanak yang penuh sukacita? Apa pula yang perlu dipikirkan
masak-masak oleh anak kecil yang belum memiliki tanggung jawab seberat orang
dewasa?
Maka tidak heran jika bulan Ramadan, dengan segala
nilai spiritual yang ada, akan selalu disambut dengan keriangan oleh anak-anak. Bagi anak-anak,
bulan Ramadan bukanlah soal bagaimana mengkhatamkan bacaan Al Quran, shalat
tarawih sebulan penuh, itikaf pada sepuluh malam terakhir, atau bagaimana cara
berlomba-lomba dalam mengeluarkan amal. Bagi anak-anak, bulan Ramadan menjadi
semacam kulminasi kemunculan tradisi-tradisi yang menyenangkan, yang hanya
terjadi setahun sekali.
Dimulai dari malam pertama tarawih, anak-anak sudah riuh
memenuhi masjid, mushalla atau surau. Bermodal kain sarung, mereka bercanda
dengan teman-teman. Kain sarung digulung, lalu diayunkan dengan gerakan seperti
back-hand ala petenis dunia, yang
kemudian menghasilkan sensasi pedas pada kulit temannya yang terkena sabetan. Tidak
mau kalah, sang korban membentuk kain sarungnya hingga menyerupai gada rantai,
semacam senjata yang populer pada abad pertengahan. Ia balas memukulkan bola
gulung kain sarungnya pada kaki temannya, hingga temannya itu menjerit
kesakitan. Acara berantem-beranteman
ini usai setelah salah seorang bapak-bapak melerai mereka, sambil menjewer atau
menyentil kuping tentunya.
Sepanjang salat tarawih, anak-anak ini pun masih bercanda. Mengelitiki
pinggang, menginjak kaki, hingga berebut tempat sujud membuat ibadah ini jauh
dari khusyuk. Selepas salat, mereka langsung ngibrit sebelum orang-orang dewasa sempat memarahi, tapi kemudian tersadar harus kembali lagi ke mushalla karena harus meminta penceramah untuk menandatangani agenda ramadan sebagai tugas dari sekolah.
Sepulang dari masjid, anak-anak ini pulang ke rumah
masing-masing untuk makan malam, lalu kembali keluar rumah untuk berkumpul di
sekitaran masjid. Apa yang dilakukan? Pilihannya bermacam-macam, dari perang
petasan dengan anak kampung sebelah, nimbrung permainan karambol orang dewasa,
hingga bermain sepak bola jika lampu lapangan serba guna dinyalakan.
Selepas bermain, mereka beristirahat sejenak. Minuman
bersoda, es teh manis atau es temulawak menjadi pilihan. Minuman yang akan
dibatasi konsumsinya jika berada di rumah. Sungguh nikmat air dingin kaya gula ini
mengalir ke tubuh-tubuh yang belum saatnya memikirkan selembar kertas berisi
hasil medical check up.
Tibalah pada saat yang dinantikan: membuat suara gaduh untuk
membangunkan orang sahur. Kaleng, botol, galon atau apa saja digunakan untuk membuat bising. Begitu riuh,
berisik dan gaduh. Namun begitu khas. Mereka lalu pulang ke rumah masing-masing
untuk makan sahur, menunggu hingga adzan subuh sambil terkantuk-kantuk, lalu
tertidur hingga siang hari jika sedang libur sekolah.
Sore harinya, kegiatan sudah dimulai kembali. Mengumpulkan makanan
dari donatur untuk berbuka di masjid, tadarusan,
lalu kembali bermain sepak bola di tanah lapang hingga adzan maghrib
berkumandang. Lalu mereka berbuka puasa bersama dengan riang gembira. Makan dengan
lahap hingga lupa diri, hingga perut sakit dan orang-orang dewasa mulai
menceramahi “Tuh kan, udah dibilangin
kalo makan buka puasa itu jangan rakus dan terburu-buru!” Minimal, kita pernah sekali mengalami kejadian semacam ini.
Setelah itu mereka kembali tarawih, lalu begitu terus sampai
30 hari. Sampai mereka bosan sendiri dan menanti-nantikan hari kemenangan,
yaitu hari Idul Fitri. Saat di mana mereka tidak perlu lagi menahan lapar dan haus
di siang hari, dan saat di mana mereka mendapatkan duit lebaran dari om, tante, kakek, nenek atau orang kampung
terpandang yang melakukan open house. Juga menagih uang hadiah puasa kepada orang tua karena berhasil menamatkan puasa tanpa sekalipun batal.
Siklus ini akan berlangsung bertahun-tahun sampai usainya masa kanak-kanak, sampai pada suatu masa di mana persoalan-persoalan lain mulai menghinggapi, hingga kemudian mereka menemukan makna ramadan yang lebih dalam lagi seiring dengan ilmu yang semakin bertambah.
Siklus ini akan berlangsung bertahun-tahun sampai usainya masa kanak-kanak, sampai pada suatu masa di mana persoalan-persoalan lain mulai menghinggapi, hingga kemudian mereka menemukan makna ramadan yang lebih dalam lagi seiring dengan ilmu yang semakin bertambah.
Kini, mereka telah berada pada usia 30an. Sedikit lagi memasuki midlife crisis. Zaman juga telah berubah. Mereka kini lebih memilih dibangunkan sahur oleh alarm pada ponsel pintar
daripada suara anak-anak. Mereka kini juga lebih banyak memberi, daripada menerima. Betapa zaman telah berubah. Mereka
juga tidak bisa bersantai lagi selama ramadan. Pekerjaan tetaplah pekerjaan,
para atasan tidak akan peduli, toh kegiatan usaha tetap berjalan bahkan hingga
malam takbiran. Deadline tetap saja deadline.
Lalu suatu ketika, tibalah mereka di mushalla tempat mereka biasa melakukan ibadah salat tarawih seperti saat mereka kecil. Mereka melihat kembali sekelompok anak kecil yang berisik dan membuat gaduh. Lalu pada malam takbiran, mereka kembali melihat anak-anak kecil yang sama bergantian menabuh bedug dan meneriakkan kalimat takbir tanpa lelah, sembari membagi-bagikan zakat fitrah berupa beras dan kebutuhan pokok kepada para mustahiq, atau golongan yang berhak menerima zakat. Di lain kesempatan, mereka membaca berita tentang keributan yang ditimbulkan anak-anak muda zaman sekarang pada acara Sahur On The Road (SOTR). Betapa bodohnya anak-anak kecil itu.
Kali ini, mereka hanya tersenyum, sembari mengingat bahwa hal-hal inilah yang dilakukan sewaktu kanak-kanak dulu. Berbeda dengan anak sekarang yang sudah serampangan mengendarai sepeda motor walau masih di bawah umur. Generasi 90an seperti mereka baru mengendarai motor saat mereka sudah mampu membelinya dengan gaji sendiri. Kembali ke tema sentral tulisan, bahwa bagaimanapun, dalam episode Ramadan yang datang setiap tahunnya, masa ramadan kanak-kanak tetaplah yang teramat berkesan untuk dilupakan.
Lalu suatu ketika, tibalah mereka di mushalla tempat mereka biasa melakukan ibadah salat tarawih seperti saat mereka kecil. Mereka melihat kembali sekelompok anak kecil yang berisik dan membuat gaduh. Lalu pada malam takbiran, mereka kembali melihat anak-anak kecil yang sama bergantian menabuh bedug dan meneriakkan kalimat takbir tanpa lelah, sembari membagi-bagikan zakat fitrah berupa beras dan kebutuhan pokok kepada para mustahiq, atau golongan yang berhak menerima zakat. Di lain kesempatan, mereka membaca berita tentang keributan yang ditimbulkan anak-anak muda zaman sekarang pada acara Sahur On The Road (SOTR). Betapa bodohnya anak-anak kecil itu.
Kali ini, mereka hanya tersenyum, sembari mengingat bahwa hal-hal inilah yang dilakukan sewaktu kanak-kanak dulu. Berbeda dengan anak sekarang yang sudah serampangan mengendarai sepeda motor walau masih di bawah umur. Generasi 90an seperti mereka baru mengendarai motor saat mereka sudah mampu membelinya dengan gaji sendiri. Kembali ke tema sentral tulisan, bahwa bagaimanapun, dalam episode Ramadan yang datang setiap tahunnya, masa ramadan kanak-kanak tetaplah yang teramat berkesan untuk dilupakan.