Jumat, 19 Juni 2015

Mengenang Ramadan Masa Kanak-kanak

Bulan Ramadan, selain merupakan bulan yang penuh berkah dan ampunan, juga dimaksudkan sebagai bulan untuk meredam. Bagi saya, bulan yang juga sering disebut bulan puasa ini memang sejatinya diperuntukkan untuk sedikit mengerem aktivitas kita setelah sebelas bulan lamanya beraktivitas. Banyak lembaga pendidikan mengurangi jam belajar, dan banyak perusahaan mengurangi jam kerja. Selain memberi kesempatan orang untuk lebih khusyuk dalam beribadah, juga memberi kesempatan untuk berkumpul lebih sering dengan keluarga. Pendeknya, banyak kegiatan duniawi yang dikurangi frekuensinya demi memanfaatkan momen penuh berkah ini.

Namun bagi anak-anak, bulan Ramadan bukanlah sebuah momen untuk meredam dan bercermin. Memangnya apa yang mau diredam dan direfleksikan dari masa kanak-kanak yang penuh sukacita? Apa pula yang perlu dipikirkan masak-masak oleh anak kecil yang belum memiliki tanggung jawab seberat orang dewasa?

Maka tidak heran jika bulan Ramadan, dengan segala nilai spiritual yang ada, akan selalu disambut dengan keriangan oleh anak-anak. Bagi anak-anak, bulan Ramadan bukanlah soal bagaimana mengkhatamkan bacaan Al Quran, shalat tarawih sebulan penuh, itikaf pada sepuluh malam terakhir, atau bagaimana cara berlomba-lomba dalam mengeluarkan amal. Bagi anak-anak, bulan Ramadan menjadi semacam kulminasi kemunculan tradisi-tradisi yang menyenangkan, yang hanya terjadi setahun sekali.

Dimulai dari malam pertama tarawih, anak-anak sudah riuh memenuhi masjid, mushalla atau surau. Bermodal kain sarung, mereka bercanda dengan teman-teman. Kain sarung digulung, lalu diayunkan dengan gerakan seperti back-hand ala petenis dunia, yang kemudian menghasilkan sensasi pedas pada kulit temannya yang terkena sabetan. Tidak mau kalah, sang korban membentuk kain sarungnya hingga menyerupai gada rantai, semacam senjata yang populer pada abad pertengahan. Ia balas memukulkan bola gulung kain sarungnya pada kaki temannya, hingga temannya itu menjerit kesakitan. Acara berantem-beranteman ini usai setelah salah seorang bapak-bapak melerai mereka, sambil menjewer atau menyentil kuping tentunya.

Sepanjang salat tarawih, anak-anak ini pun masih bercanda. Mengelitiki pinggang, menginjak kaki, hingga berebut tempat sujud membuat ibadah ini jauh dari khusyuk. Selepas salat, mereka langsung ngibrit sebelum orang-orang dewasa sempat memarahi, tapi kemudian tersadar harus kembali lagi ke mushalla karena harus meminta penceramah untuk menandatangani agenda ramadan sebagai tugas dari sekolah.

Sepulang dari masjid, anak-anak ini pulang ke rumah masing-masing untuk makan malam, lalu kembali keluar rumah untuk berkumpul di sekitaran masjid. Apa yang dilakukan? Pilihannya bermacam-macam, dari perang petasan dengan anak kampung sebelah, nimbrung permainan karambol orang dewasa, hingga bermain sepak bola jika lampu lapangan serba guna dinyalakan. 

Selepas bermain, mereka beristirahat sejenak. Minuman bersoda, es teh manis atau es temulawak menjadi pilihan. Minuman yang akan dibatasi konsumsinya jika berada di rumah. Sungguh nikmat air dingin kaya gula ini mengalir ke tubuh-tubuh yang belum saatnya memikirkan selembar kertas berisi hasil medical check up.

Tibalah pada saat yang dinantikan: membuat suara gaduh untuk membangunkan orang sahur. Kaleng, botol, galon atau apa saja digunakan untuk membuat bising. Begitu riuh, berisik dan gaduh. Namun begitu khas. Mereka lalu pulang ke rumah masing-masing untuk makan sahur, menunggu hingga adzan subuh sambil terkantuk-kantuk, lalu tertidur hingga siang hari jika sedang libur sekolah.

Sore harinya, kegiatan sudah dimulai kembali. Mengumpulkan makanan dari donatur untuk berbuka di masjid, tadarusan, lalu kembali bermain sepak bola di tanah lapang hingga adzan maghrib berkumandang. Lalu mereka berbuka puasa bersama dengan riang gembira. Makan dengan lahap hingga lupa diri, hingga perut sakit dan orang-orang dewasa mulai menceramahi “Tuh kan, udah dibilangin kalo makan buka puasa itu jangan rakus dan terburu-buru!” Minimal, kita pernah sekali mengalami kejadian semacam ini.

Setelah itu mereka kembali tarawih, lalu begitu terus sampai 30 hari. Sampai mereka bosan sendiri dan menanti-nantikan hari kemenangan, yaitu hari Idul Fitri. Saat di mana mereka tidak perlu lagi menahan lapar dan haus di siang hari, dan saat di mana mereka mendapatkan duit lebaran dari om, tante, kakek, nenek atau orang kampung terpandang yang melakukan open house. Juga menagih uang hadiah puasa kepada orang tua karena berhasil menamatkan puasa tanpa sekalipun batal. 

Siklus ini akan berlangsung bertahun-tahun sampai usainya masa kanak-kanak, sampai pada suatu masa di mana persoalan-persoalan lain mulai menghinggapi, hingga kemudian mereka menemukan makna ramadan yang lebih dalam lagi seiring dengan ilmu yang semakin bertambah.

Kini, mereka telah berada pada usia 30an. Sedikit lagi memasuki midlife crisis. Zaman juga telah berubah. Mereka kini lebih memilih dibangunkan sahur oleh alarm pada ponsel pintar daripada suara anak-anak. Mereka kini juga lebih banyak memberi, daripada menerima. Betapa zaman telah berubah. Mereka juga tidak bisa bersantai lagi selama ramadan. Pekerjaan tetaplah pekerjaan, para atasan tidak akan peduli, toh kegiatan usaha tetap berjalan bahkan hingga malam takbiran. Deadline tetap saja deadline.

Lalu suatu ketika, tibalah mereka di mushalla tempat mereka biasa melakukan ibadah salat tarawih seperti saat mereka kecil. Mereka melihat kembali sekelompok anak kecil yang berisik dan membuat gaduh. Lalu pada malam takbiran, mereka kembali melihat anak-anak kecil yang sama bergantian menabuh bedug dan meneriakkan kalimat takbir tanpa lelah, sembari membagi-bagikan zakat fitrah berupa beras dan kebutuhan pokok kepada para mustahiq, atau golongan yang berhak menerima zakat. Di lain kesempatan, mereka membaca berita tentang keributan yang ditimbulkan anak-anak muda zaman sekarang pada acara Sahur On The Road (SOTR). Betapa bodohnya anak-anak kecil itu.

Kali ini, mereka hanya tersenyum, sembari mengingat bahwa hal-hal inilah yang dilakukan sewaktu kanak-kanak dulu. Berbeda dengan anak sekarang yang sudah serampangan mengendarai sepeda motor walau masih di bawah umur. Generasi 90an seperti mereka baru mengendarai motor saat mereka sudah mampu membelinya dengan gaji sendiri. Kembali ke tema sentral tulisan, bahwa bagaimanapun, dalam episode Ramadan yang datang setiap tahunnya, masa ramadan kanak-kanak tetaplah yang teramat berkesan untuk dilupakan.