“Saya dibawa berputar oleh taksi selama lima jam, dari
bandara kesini.” Ujar salah seorang teman saya yang seorang mahasiswa dari
sebuah negara Asia dengan bahasa Indonesia yang lumayan lancar. Dia sedang
melaksanakan program perkuliahan di Indonesia dalam rangka memenuhi syarat
kelulusan.
Dia lalu menceritakan pengalaman lainnya saat dia bersama
teman-teman satu bangsanya hendak pergi ke pulau seribu. Ongkos yang normalnya
300 ribu per orang tiba-tiba membengkak menjadi 3 juta rupiah karena
orang-orang disana memanfaatkan ketidaktahuan para pelajar asing itu.
Gak usah orang asing. Coba kalau kita yang orang Jakarta
pergi ke daerah pantai Anyer dan sekitarnya, lalu memarkir mobil sebentar di
pinggir pantai, pasti preman disana langsung "menggetok" tarif parkir secara
gila-gilaan. Teman saya pernah hampir berantem gara-gara “dipalak” dua puluh
lima ribu rupiah untuk membayar parkir.
Begitulah sikap asli bangsa kita, gak usah malu-malu lagi. Kata
siapa bangsa kita itu bangsa yang ramah dan sopan? Semua itu hanya ada di buku
pelajaran, bukan di kenyataan.
Kembali kepada orang asing tadi, saya merasa simpati kepada
mereka. Mereka berjuang melintasi batas negara, meninggalkan kamar nyaman penuh
fasilitas mereka, meninggalkan orang tua mereka untuk pergi ke negeri orang. Mereka
menghadapi hambatan bahasa, makanan, cuaca, dan budaya disini. Alangkah kasihan
jika mereka ditambah penderitaannya dengan sikap-sikap banci jago kandang
seperti diatas.
Kita yang bekerja di bagian payroll yang menghitung gaji
karyawan pasti iri saat menengok berapa gaji para ekspatriat yang bekerja di
negeri kita. Namun itulah yang mereka dapat atas segala perjuangan yang mereka
tempuh. Jika kita melihat lebih luas, sikap-sikap seperti inilah yang membuat
bangsa itu maju, saat orang-orangnya berani menjelajah dunia demi mencari ilmu
dan rezeki. Mental seperti itulah yang membuat bangsa lain menguasai
perekonomian dan perdagangan dunia.
Lalu, bagaimana dengan bangsa kita? Yah lihat saja sendiri.