Senin, 13 Agustus 2012

The Smart Disease


Menjadi orang pintar, tentu menyenangkan.

Mudah menangkap pelajaran di kelas, disenangi pengajar, dikagumi teman-teman, dan tentunya nilai akademik memuaskan. Predikat juara kelas, IPK Cum laude, murid teladan, siswa berprestasi dan sejenisnya kerap akan didapatkan orang pintar ini. Mungkin juga effortlessly tanpa bersusah payah. Saya sering mendengar seorang teman yang juara kelas, ketika ditanya bagaimana cara dia belajar, sering dijawab “Aku gak pernah belajar kok.” Sungguh menggelikan. Mereka menganggap pertanyaan itu sebagai kelucuan.

Orang pintar juga kerap jadi kebanggaan orang tuanya, minimal bisa jadi bahan cerita ibunya saat arisan atau belanja sayur di perempatan, ataupun saat ngerumpi bersama rekan kerja. Ibu saya suatu hari pernah ditelpon oleh ibunya teman saya, dengan bangganya Ibunya teman saya itu bercerita “Bu, tau gak sih? Anak saya satu-satunya itu ulangan matematika dapat 100 lho, sampai saya pegal dari tadi jawab telepon dari cewek-cewek teman sekelasnya yang ngasih selamat.”

Wow, selamat bu, tapi apa anak Anda harus mendapatkan nilai 100 dahulu hanya untuk mendapat telepon dari teman-teman perempuannya?

Tidak cukup sampai disitu, jika ada kumpul-kumpul saudara saat hari raya, tidak jarang pertanyaan yang ditonjolkan adalah “ranking berapa?” lalu jika sang anak menjawab “ranking 1” sontak pujian datang bertubi-tubi dari seantero keluarga besar. Sementara si ranking 20 dianggap bodoh dan tidak punya masa depan. Pertemuan keluarga yang seharusnya menyenangkan bagi seorang anak kecil malah berubah menjadi mimpi buruk yang menghantuinya hingga dia beranjak dewasa nanti. 

Inilah fenomena yang terjadi pada sebagian besar keluarga disini. Orang dinilai karena angka-angka yang dia dapatkan, padahal prestasi bukanlah sekadar angka semata. Akibatnya, anak-anak kecil itu terjebak dalam delusi intelektual dan menjadi penghamba superioritas intelegensia yang kelak membentuknya menjadi pribadi yang sombong dan dangkal dalam menilai orang lain.

Smart disease ini makin menjadi, dan akan menjadi habit yang akan dibawa hingga anak itu dewasa. Kuliah membanggakan jaket, kerja membanggakan jabatan. Sebal pada rejeki orang, merasa dirinya lebih layak, meremehkan orang lain akan terus menjadi penyakit hati yang hanya akan membuat orang itu tidak pernah bersyukur. Kepintaran sudah teramat memenuhi kepalanya, sehingga mereka tidak menyisakannya sedikit saja untuk sikap rendah hati dan membumi.

Mungkin mereka lupa. Bill Gates itu di DO dari Harvard. Thomas Alfa Edison itu dianggap bodoh karena terlalu banyak bertanya. Mereka juga perlu membaca kisah Che Guevara, Albert Einstein, bahkan Gabriel Omar Batustuta yang di masa kecilnya lebih gemar memancing dan bermain bola daripada duduk di bangku sekolahan. Kebanyakan tokoh dunia itu dianggap bodoh oleh orang-orang sok pintar itu, tapi lihatlah kini siapa yang benar-benar pintar.

Coba baca deh kumpulan twit dari om @bobsadino. Gak perlu gue ceritain kan siapa dia?

"Orang pintar, belajar keras biar dpt ijazah dan cepat melamar kerja. Orang Bodoh berjuang agar cepat dpt uang dan bisa bayar pelamar kerja."


"Orang 'pintar' biasanya banyak ide, bahkan mungkin telalu banyak ide, sehingga tidak satupun yang menjadi kenyataan."


"Orang pintar biasanya berfikir mengikuti aturan cara berfikir yg dia pelajari, sedangkan orang bodoh berfikir bebas tanpa dibatasi aturan."


"Orang Pintar menganggap keberhasilannya adalah usahanya, sedangkan orang bodoh menganggap karunia Tuhan."


"Orang pintar susah menolong orang bodoh gampang menolong."

"Org bodoh bekerja keras dan dgn sedikit kecerdasan mencapai sukses, org pintar tdk mau kerja keras dan sok pintar."

"Org bodoh dimarahin merasa sedang diajarin, sdngkan org pintar merasa kesal."

"Orang bodoh kadang tdk tahu kualitas bila diberi tahu segera memperbaikinya, sdgkan org pintar sering mengabaikan kualitas karena sok tahu."

"Wahai para sarjana, hilangkan Arogansi Akademik, yang sering menghambatmu leluasa berusaha dan belajar dari jalanan (lingkungan)." 


"Di Indonesia terlalu banyak orang yang (sok) pintar, sehingga engga ada lagi yg betul2 mau belajar."


Anak-anak pintar itu mungkin tidak akan mengerti. Di dunia mereka, ukuran keberhasilan adalah angka-angka akademis. Mereka kerap menganggap anak-anak yang bergaya santai dan cuek sebagai anak-anak yang tidak punya masa depan. Mereka merasa bahwa nilai akademis adalah cerminan dari nilai orang itu sendiri. Padahal, semua manusia sama dimata Tuhan. Percayalah, sepintar apapun Anda, tidak akan terlihat keren kalau Anda terus menyombongkan dan membicarakannya. Anda hanya akan menjadi radio rusak kuno yang sama sekali tidak keren.

Dan lagi-lagi, itu bukanlah sepenuhnya salah anak-anak pintar itu. Lingkungan dan kebiasaan kitalah yang membentuknya.

Anak-anak itu terlalu berusaha untuk mendapatkan juara kelas, bahkan mereka mungkin tidak pernah melihat cover depan biografi pencipta gadget yang dijinjingnya sepanjang hari atau didengarkannya pada kupingnya. Mereka perlu merenungi kata-kata terkenal dalam biografi Steve Jobs, yang terpampang di cover bukunya itu sendiri: Stay Hungry, Stay Foolish.