Kamis, 09 Agustus 2012

Nasibmu, studio musik

Ilustrasi studio musik

"Wah, ternyata enakan ngeband ya daripada karaokean!" Seru salah seorang teman kantor saya di sela-sela latihan band kantor dadakan, yang mengaku sudah bertahun-tahun tidak memegang gitar, namun skill gitarnya masih ada.

Bagi para peminat musik, antusiasme mengulik lagu dan melatihnya di sebuah studio musik sewaan memang tidak pernah padam. Namun ada satu hal yang cukup mengganggu belakangan ini bagi saya, mungkin juga Anda yang menggemari musik dan suka bermain musik, yaitu berkurangnya studio musik.

Jelas hal itu sangat mengganggu dan akan membatasi kita para penggemar musik jika kita ingin berlatih bersama band kita. Yah walaupun saya bahkan bukan musisi, hanya suka gombrang-gambreng cuwawaan aja di studio musik, tapi buat saya itu adalah obat mujarab penghilang stres dan penat pekerjaan.

Belakangan ini, saya mendapati beberapa studio di ibukota yang beberapa kali pernah saya sambangi kini sudah gulung tikar alias tutup. Dari obrolan dengan mas operator yang masih tersisa ataupun penyewa baru bangunan tersebut, saya dapat informasi bahwa bisnis studio musik mereka kurang ramai. Saya berkesimpulan, bisnis studio musik sedang lesu.

Hal itu sangat aneh untuk saya, yang bertahun-tahun sudah menyambangi berbagai studio musik di Jakarta maupun Depok. Kira-kira 5 tahun lalu, studio musik sangat mudah dicari keberadaannya. Mungkin di setiap kompleks perumahan ataupun ruko, minimal ada satu studio musik. Tapi kini, beberapa studio yang saya hubungi itu sudah tutup, berganti menjadi rumah makan bebek goreng atau minimarket tempat nongkrong para ABG. Lalu studio yang masih ada dan tersisa, kini sudah terkesan tidak terawat lagi. Ya, mungkin karena kelesuan bisnis itu sendiri.

Bisnis studio musik itu sendiri memiliki karakteristik yang unik. Banyak faktor yang menentukan sustainable bisnis ini. Lokasi memang penting, namun bukan utama. Selanjutnya kualitas peralatan, kenyamanan ruangan studio, keramahan operator, ketersediaan alat cadangan (misalnya senar gitar, snare drum, dll) dan tentu saja harga menjadi faktor yang membuat sekelompok orang memilih tempat latihan band favoritnya.

Tidak sekadar sehubungan dengan musik, ada lagi faktor-faktor sosial. Persoalan kebisingan studio dan citra negatif yang beredar di masyarakat tentang sekumpulan anak yang hobi ngeband. Para pengelola memang harus lebih kreatif lagi jika ingin bisnisnya berkembang, mengalahkan kemunculan karaoke ataupun keberadaan game simulator.

Tidak cukup hanya mengandalkan pendapatan hasil sewa studio. Para pemilik bisa mempertimbangkan untuk menyewakan alat-alatnya untuk dipakai pada suatu event. Atau mereka bisa juga mempromosikan studio mereka sebagai tempat audisi pergelaran musik. Dengan kata lain mereka tidak sekadar dituntut untuk mengerti musik, namun juga mengerti bisnis.

Kelesuan bisnis ini juga ada hubungannya dengan hal lain diluar bisnis itu sendiri, mungkin erat kaitannya dengan gaya hidup generasi muda kita. Bagaimanapun, pasar dari studio musik adalah kebanyakan anak-anak muda usia sekolah hingga kuliah. Kami yang sudah bekerja mungkin hanya sesekali menyewa studio band untuk latihan. Ini bisa berarti bahwa anak-anak sekolah maupun anak-anak kuliah jaman sekarang kurang meminati kegiatan ngeband.

Entah apa yang menjadi trend di kalangan anak muda sekarang. Mungkin mereka lebih senang bermain game online, atau mereka lebih senang nongkrong di minimarket dan ngobrol ngalor ngidul, atau mungkin mereka merasa percuma untuk mengejar cita-cita menjadi musisi.

Ada juga yang berpendapat bahwa kelesuan ini hanya terjadi di ibukota, tempat dimana pilihan hiburan lebih banyak. Tempat dimana anak-anak sekolahnya lebih senang menghabiskan uang jajannya untuk membeli pulsa ketimbang patungan bersama teman untuk menyewa studio.

Lagipula, buat apa menjadi musisi dengan kemampuan dan jam terbang tinggi, jika yang ditampilkan di televisi maupun radio hanyalah sekelompok anak-anak yang hanya bernyanyi lipsync dengan modal bisa joget dan rajin pergi ke salon. Mudah-mudahan saya salah.

Atau mungkin erat kaitannya dengan trend musik masa kini yang kebanyakan mengusung tema akustik minimalis atau tema party dengan arahan DJ. Di acara-acara semacam itu, kita memang tidak mungkin melihat para gitaris jagoan atau drummer handal. Acara-acara semacam itu akan membuat seorang Slash, Tommy Lee, Joe Satriani, Jon Bon Jovi ataupun James Hetfield jadi seperti artefak patung yang sama sekali tidak diminati.

Yang jelas, dengan berkurangnya ketersediaan studio band, apalagi yang dengan harga terjangkau, tentu akan menghambat kemunculan musisi-musisi potensial. Lalu jika semakin sedikit musisi yang muncul dan semakin sedikit musisi yang berkualitas, lagu macam apa yang akan anak kita dengar 20 hingga 30 tahun lagi?

Saya punya kenalan seorang drummer. Dia juga mengeluh bahwa acara musik sekarang tidak terlalu sering menggunakan drum, alhasil dia terpaksa memainkan cajon. "Gue kangen mukul drum!" tegasnya, seolah juga mewakili kegelisahan saya. Apakah perangkat drum akan menjadi tontonan di museum dan gitar akan menjadi barang vintage layaknya piringan hitam di jaman sekarang? Semoga tidak!