Jumat, 12 Maret 2021

Kelas Tiga Dua

Udah tahun 2021 masih ngeblog? Di Blogspot?

Mungkin akan terlihat sangat outdated, saat kebanyakan orang berdiskusi dengan riuh rendah di ruang virtual iOS 13 ke atas (baca: Clubhouse), atau menulis di penyedia layanan blog yang lebih baru dan segar macam Medium atau Wattpad. Tapi berhubung di Clubhouse sedang tidak ada hal menarik dan saya juga malas untuk membuat akun Medium ataupun Wattpad, ya sudahlah di sini saja.

Menulis pun sudah bukan lagi kegiatan yang sering saya lakukan. Alasan kesibukan, adanya writer's block, atau lebih suka menuangkannya dalam media lain menjadikan blog ini berdebu tebal, bahkan saya sampai sulit mengenali tulisan saya sendiri.

Sekarang sudah tahun 2021. Setahun sudah pandemi berlalu. Ketika melihat postingan para pengguna media sosial yang semakin absurd, mengada-ada, sok keras, tidak boleh bertanya umur, agama, hingga jenis kelamin bayinya yang baru lahir, saya pun merasa rindu untuk menulis lagi daripada ikut larut dalam sirkus yang sebetulnya bukan urusan saya itu.

Sebetulnya saya sedang tidak ada ide menulis, tetapi tiba-tiba salah seorang kawan lama sejak jaman SMP, yang sebut aja namanya Cumi, menelpon saya. Ngobrol singkat sekitar 10 menit dengan bapak tiga anak ini, pikiran saya melayang ke sekelompok teman-teman sekelas pada saat saya masih SMP, yaitu kelas 3-2.

Boleh jadi, kelas ini adalah favorit saya selama mengenyam bangku pendidikan formal. Saya memiliki memori yang masih cukup segar ketika diajak membahas kejadian-kejadian 25 tahun silam, dan seingat saya, di kelas inilah saya merasa segalanya masih menyenangkan.

SMP adalah masa-masa di mana kita mencoba berbagai hal baru. Beda banget dengan masa SMA yang sudah mulai dihantui pikiran macam-macam seperti mau kuliah di mana setelah lulus, atau apa yang harus saya ucapkan ketika berpapasan dengan sosok yang dikagumi. 

Di SMP, khususnya di kelas 3-2 ini, kami pun mengalami cerita lucu. Ada di antara kami yang melakukan eksperimen dengan bahan kimia seperti spirtus untuk bisa membuat api seperti pesulap. Ada yang memenangkan hadiah judi jackpot di terminal bus demi membeli sebatang cokelat untuk gebetan, bahkan ada dua orang kawan yang sampai tercebur ke selokan besar hingga basah kuyup hanya karena berebut petasan cabe rawit. Kalau peristiwa ini terjadi sekarang, mungkin mereka sudah mendapatkan jutaan view untuk kategori konten Kowe Tak Sayang-Sayang.  

Kami tidak akan lupa, ketika salah satu dari kami menyeletuk omongan bapak guru Bahasa Indonesia yang sedang mengajarkan peribahasa, atau ketika menguping kunci jawaban ulangan IPS di kelas sebelah, atau ketika kami mematahkan mata bor guru pelajaran tambahan Teknik Elektro akibat mengukir nama-nama panggilan kami di bangku dan meja kelas. 

Kami juga tidak pernah lupa ketika salah satu dari kami celananya robek ketika melakukan pemanasan di pelajaran olahraga. Oh iya, di pelajaran olahraga ini juga kepala kami pernah digebok pakai bola basket gara-gara ketahuan memotong jalan saat disuruh pemanasan mengelilingi sekolah. Tapi, kejadian ini tidak membuat kami semua mengadu ke orang tua. Selain itu, tidak akan ada cerita orang tua kami gantian melabrak atau melaporkan guru ke polisi gara-gara mereka memarahi atau menghukum kami.

Andaikan dulu sudah ada smartphone dan media sosial, mungkin kelas kami akan viral, baik karena keisengan atau kelucuan. Bedanya, dahulu tidak ada istilah "demi konten". Segala kenakalan itu memang apa adanya dan tanpa rekayasa. Tanpa didorong keinginan untuk eksis.

Saya pun mengingat satu persatu wajah kawan-kawan lama yang memorinya masih menyangkut di kepala saya. Beberapa di antara mereka sudah menikmati hidup dengan cara mereka sendiri dan sudah melangkah jauh dari masa lalu itu. Keisengan, kenakalan, atau kekonyolan sudah nyaris tidak ada lagi. 

Di usia yang sudah menjelang 40, kami mungkin telah menjadi bapak-bapak yang jokes-nya tidak lagi lucu, atau sudah menjadi mas-mas di kantor yang hobi menasihati anak-anak baru dengan kisah pelajaran hidup, atau menjadi mbak-mbak yang suka dengerin lagu lawas semodel Britney Spears, Avril Lavigne atau Sixpence None The Richer, yang kemudian heran ketika ada anak-anak kelahiran 90an akhir yang tidak tahu lagu-lagu sepopuler ini. 

Mungkin juga di antara kami sudah ada yang halaman rumahnya dipenuhi koleksi tanaman hias atau kolam ikan hias. Rasanya dengan begitu, sudah pasti sosok konyol, iseng, dan nakal waktu itu sudah berlalu dan berubah menjadi sosok yang penuh pertimbangan (baca: tua).

Melihat dan membayangkan itu semua, saya pun tersadar bahwa kini sudah waktunya kembali bekerja. Perjalanan memang masih panjang. Masih setengah jalan. Sebagian dari kami telah merintisnya sejak lama, sebagian lagi ada yang baru memulai, sebagian lagi baru berpikir untuk memulai. Tidak ada menang atau kalah dalam hal ini, karena semua orang punya linimasa dan pergumulan hidupnya masing-masing. Kecuali, mungkin bagi yang punya privilege.

Ketika hidup penuh dengan jejalan quotes jukstaposisi menyeramkan berupa "Don't waste your time or time will waste you" yang menggambarkan betapa kerasnya hidup, ketika semua email bertuliskan "urgent", ketika percakapan whatsapp penuh dengan pengingat tenggat waktu pekerjaan yang tiada akhir, dan ketika grup whatsapp penuh dengan pusaran informasi yang tidak semua tervalidasi, maka memori kelas 3-2 menyadarkan untuk sejenak berhenti memikirkan itu semua, sembari membayangkan betapa enaknya menjadi anak sekolah pada masa-masa itu. Kalau kata Padi Reborn, "Bukankah hidup ada perhentian, tak harus kencang terus berlari.."

Ingatlah bahwa kita pernah ada di suatu era di mana kita masih bisa melakukan kesalahan tanpa khawatir berlebihan pada konsekuensinya. Pada era itu pula, kita hanya perlu sedikit khawatir memikirkan jalan pulang agar tidak ketemu tukang palak yang suka nongkrong di pos ronda perumahan. Yang suka melakukan bullying beramai-ramai kepada kita yang berjalan sendiri-sendiri.