Kamis, 16 November 2017

Padi Reborn dan Musik Zaman Now

Apa saja yang memiliki embel-embel "zaman now", sebuah frasa yang begitu sering digunakan tahun 2017 ini, memang seperti disikapi dengan sinis. Tidak terkecuali musik zaman now. Musik kekinian disebut banyak orang tidak dibalut dengan kualitas tinggi sebagaimana musik-musik zaman sebelum ini. 

Bahkan jika dibandingkan musik-musik yang muncul tahun 2000an awal, musik zaman now terdengar begitu jauh kualitasnya. Sang pembawa acara konser Padi Reborn, konser yang menampilkan band yang begitu besar namanya tahun 90an akhir dan 2000an awal yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta, mengucapkan kalimat penutup acara yang begitu lugas. "Terima kasih, Padi. Dengan begini, kids zaman now jadi tahu seperti apa musik yang berkualitas." Well..

Begitu banyaknya band-band lawas yang melakukan reuni juga diimbangi makin maraknya acara-acara yang mengusung tema flashback, secara khusus adalah tema-tema 90an. Adanya gerakan-gerakan yang cukup marak namun sebetulnya tidak terstruktur ini, menunjukkan keprihatinan para pelaku seni terhadap semakin menurunnya kualitas lagu-lagu zaman sekarang. 

Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang mengubah haluan dari fisik menjadi digital, kini orang-orang cenderung tidak lagi menakar lagu atau musik dari kualitas aransemen yang ciamik dan lirik yang bermakna dalam. Digitalisasi penjualan karya dari musisi ini mengubah cara musisi berekspresi. Mereka kini hanya mengeluarkan lagu dalam bentuk single atau mini-album. Bukan lagi album secara utuh, yang mana dalam satu-dua lagu tercermin identitas dan idealisme seorang musisi (atau sebuah grup band). Contohnya, pada album Pandawa Lima milik band Dewa 19, ada lagu Sebelum Kau Terlelap yang cukup melenceng dari yang biasa mereka bawakan, atau banyak contoh lain di album-album milik Slank atau Gigi. Pendek kata, format album memberi ruang bagi para musisi untuk bernegosiasi dengan produser untuk memasukkan sekian menit idealisme mereka dalam album yang sudah penuh kompromi sana-sini. 

Gaya hidup orang zaman sekarang (khususnya orang-orang perkotaan yang menjadi penikmat karya seni musik) yang cenderung serba instan, terburu-buru, sibuk dan serba ingin cepat memang cenderung mengubah cara dalam menikmati lagu. Lagu-lagu pop ringan yang mudah dicerna, lebih bagus lagi ditambahi bumbu-bumbu kontroversi akan cepat sekali diterima. Atau melihat fenomena baper-baperan yang juga ala kids zaman now, lagu-lagu patah hati yang menunjukkan glorifikasi atas kesedihan menjadi komoditi yang begitu laris bak kacang goreng. Lagu-lagu itupun, karena memang dibuat dengan ringan dan instan, memiliki kisah edar yang mirip: diputar secara masif hingga orang muak mendengarnya, namun kemudian dengan cepat dilupakan dalam hitungan bulan saja dan tergulung lagu-lagu lain yang sejenis.

Maka ketika akhir pekan lalu saya disuguhi konser musik band Padi, yang akhirnya melakukan reuni dengan formasi lengkap, ada rasa haru yang tak terperi (tak terkatakan), juga rasa dahaga yang terpuaskan akan tontonan musik berkualitas.  

Sebelum eranya Payung Teduh, yang lewat lagu Akad-nya berhasil membuat jutaan pria terinspirasi untuk berani melamar kekasihnya, Padi lebih dulu membius anak-anak angkatan zaman saya. Lagu "Begitu Indah", "Sesuatu yang indah" atau "Ketakjuban" menceritakan betapa magisnya saat-saat kasmaran, lagu "Semua Tak Sama", "Seperti Kekasihku", "Kasih Tak Sampai" atau "Patah" mencerminkan susahnya move on, yang boleh jadi disebabkan permasalahan beda kepercayaan seperti yang terangkum dalam lagu "Sudahlah" yang kemudian membuatnya "Terbakar Cemburu" ketika ia menemukan bahwa kekasihnya direbut oleh "Sobat"-nya sendiri.

Berbicara lirik-lirik lagu Padi, mereka seperti sudah merasakan manis, pahit, getirnya dunia percintaan, yang ironisnya mereka sendiri rasakan, bayangan buruk tentang hidup yang tidak selamanya indah dan perjalanan yang tidak selamanya mudah malah menjadi kenyataan yang harus diterima band ini. Lagu "Bayangkanlah" akhirnya menjadi kenyataan hidup, dan Piyu sebagai leader dari band asal Surabaya ini pun mengakuinya, ketika ia sedikit meluangkan waktu untuk melakukan speech singkat sebelum memainkan lagu "Harmony". 

Piyu, seperti seorang yang baru sembuh dari sakitnya, juga seperti musisi yang kembali menemukan instrumen enam senar favoritnya, dengan lugas namun mengharukan menyampaikan tentang permasalahan pribadi yang sempat lama menghinggapinya dan kerikil-kerikil tajam lain yang sempat membuat hiatusnya band Padi, sebelum kemudian memutuskan untuk "turun gunung" dan kembali ke band yang membesarkan namanya.

Untuk Piyu, Fadly, Yoyok, Rindra dan Ari, semoga kalian tidak sekadar reuni.