Selasa, 15 Agustus 2017

Kenapa Saya Tetap Gunakan Twitter

Saya udah sering ketemu teman dari sesama Gen-Y yang udah gak main media sosial Twitter. Kebanyakan dari mereka sekarang ini lebih sering berekspresi di Path, Instagram, atau malah balik lagi ke Facebook. Saya gak nanya alasannya kenapa sih, tapi kalo yang Saya duga, kebutuhan berekspresinya aja yang udah berubah.

Di Path, walaupun sekarang udah ada iklannya, kita bisa memposting aktivitas kita bahkan ke hal-hal paling remeh seperti tidur jam berapa, juga mempercantik status dengan #pathdaily. Jumlah teman yang dibatasi membuat Path terasa lebih personal, lalu konten-konten yang ada di dalamnya lebih ringan, dan sepertinya inilah yang menjadi nilai lebih yang dicari-cari.

Instagram, yang kini hanya kalah jumlah penggunanya dari Facebook dan Youtube sebagai platform social networking, juga menawarkan hal lain kepada para Gen-Y. Berjamurnya akun-akun produk begitu memanjakan para Gen-Y yang sedang tinggi hasrat berbelanjanya.

Lalu bagaimana dengan Twitter? Siapa yang bisa tergelak dan tergerak dengan barisan kata-kata yang hanya terdiri dari 140 karakter? Hanya berbentuk tulisan pula, tidak pakai meme lucu. Mengunggah gambar dan video juga dirasa kurang asik di Twitter, karena ya Twitter itu terlalu massal. Kecuali jika kita gembok akun Twitter supaya hanya di-follow oleh orang-orang yang kita mau, follower di akun kita itu bermacam-macam orang, dan saya rasa sih follower Anda gak akan tertarik juga melihat foto selfie yang sedang makan bakso kuah saat hujan turun. Alasan kita mem-follow seseorang atau sebuah admin di Twitter, menurut saya lebih karena kebutuhan akan informasi, bukan kepengen tahu kisah personal.

Dilihat dari tampilan, Twitter juga sangat old fashioned. Fungsi Twitter yang paling hebat paling dibuatkan chirpstory, tentu membatasi tendensi para netizen budiman yang senang berkomentar atas segala sesuatu, walaupun yang bukan pada bidang keahliannya.

Tentang banyaknya yang kembali ke Facebook, Saya sih melihat alasannya karena di platform ini, para netizen Gen-Y bisa dengan leluasa membagikan apa saja di wall teman-temannya, terutama pandangan politiknya. Dengan mantra “Feel free to unfriend/unfollow kalo gak nyaman”, dan dengan motto “pilihan saya paling benar dan yang lain salah”, para netizen garis keras yang juga membela suatu golongan dengan militan ini merasa enak-enak saja untuk mem-posting konten yang mengamini pemikiran mereka.

Tapi buat saya sih, Twitter tetap paling nyaman. Selain karena kesederhanaan dan kemudahan menggunakannya tadi, tetap saja berita-berita yang berseliweran ini lebih cepat saya dapatkan dari Twitter. Selain itu, karena memang sudah lama menggunakannya, saya juga sudah follow akun-akun yang memang asik, juga beberapa “teman Twitter” yang asik diajak ngobrol. Well, di Twitter juga banyak yang snob dan sok tau sih, tapi untungnya ada fitur “Mute”, dan untuk beberapa orang yang emang bener-bener bikin males, saya bakal unfollow. Dan alasan terakhir, di Twitter ini saya gak di-follow sama saudara atau teman kantor! Itu penting banget demi kebebasan nge-twit. Hahaha.