34 tahun silam, hidup David Scott Mustaine alias Dave
Mustaine seperti neraka. Ia dipecat dari band Metallica ketika sedang hendak melakukan
rekaman di New York. Lars Ulrich, pentolan Metallica mengirimnya pulang ke ujung barat Los
Angeles berbekal sebuah tiket bus. Sesampainya di rumah orang tuanya, Dave pun tidak memiliki pekerjaan dan tidak memiliki teman. Namun semalam (7/5) di
panggung Sonic dalam festival Hammersonic yang berlangsung di Ancol, Jakarta,
Dave Mustaine bersama band Megadeth yang salah satu lagunya berjudul Dystopia
yang baru saja memenangkan Grammy Awards untuk kategori Best Metal Performance,
menyuguhkan performa yang betul-betul berkelas dunia, dan hidupnya telah melangkah begitu jauh meninggalkan keterpurukan itu.
Mungkin sudah banyak yang mengetahui bahwa Dave Mustaine
merupakan salah satu manusia yang melahirkan genre Trash Metal. Ketika masih
memperkuat band Metallica, Mustaine-lah yang menciptakan riff bagi band yang kemudian memecatnya itu. Dari permainannya
itulah Metallica mendapatkan pola lagu, hingga waktu kemudian makin
mendewasakan dan mengembangkan musikalitas mereka hingga menjadi band metal legendaris dengan kesuksesan komersial terbesar. Bahkan ketika Metallica
mengeluarkan album perdana Kill ‘Em All, ada empat lagu bikinan Mustaine yang
dimasukkan, yaitu The Four Horseman (awalnya berjudul Mechanix), Phantom Lord,
Jump in the Fire dan Metal Militia. Tanpa campur tangan Mustaine di awal
pembentukan, mustahil nama Metallica bisa sebesar sekarang.
Oke, kita sudahi saja haru biru rivalitas Mustaine dan Megadeth
dengan Metallica, karena setelah kedua band ini pada akhirnya berhasil dengan
caranya masing-masing, mereka telah mengubur segala permusuhan seperti layaknya
pria-pria paruh baya yang menertawakan kebodohan masa muda saat mereka
bertindak tanpa berpikir, atau mengambil keputusan tanpa memikirkan
konsekuensi. Ya, seperti kita-kita ini yang masih gak malu ribut-ribut di grup whatsapp padahal ketemu aja jarang.
Konser Hammersonic merupakan konser metal di Indonesia yang
memiliki konsep multi-band seperti konsep multi-band yang sudah terbiasa
diselenggarakan di negara lain, seperti Loudpark di Jepang. Saya pun baru kali
ini menghadiri Hammersonic hanya karena ingin menonton Megadeth. Jujur saja,
saya tidak begitu familiar dengan band lain.
Megadeth menurut saya terus saja menelurkan album-album yang
kualitasnya cukup stabil. Album Dystopia yang dirilis tahun 2016 memiliki materi yang
amat mantap. Lagu-lagu seperti Fatal Illusion, The Threat is Real, Conquer or
Die hingga Dystopia memiliki kualitas yang amat prima, namun dengan sound yang
segar dan tetap gahar khas Megadeth. “Ketika ingin membentuk band ini, saya
memang menginginkan band yang keras, cepat dan brutal,” ujar Mustaine.
Pada konser kemarin, Megadeth menampilkan permainan yang sudah menjadi seperti rutinitas saja bagi standar mereka sendiri. Tidak ada unsur kejutan,
interaksi yang aktif dengan penonton, tidak ada lagu-lagu tidak biasa, juga
tidak ada aksi panggung pengalih perhatian seperti memanfaatkan sarana multi
media, koreografi dan sebagainya. Tidak seperti band-band lain yang jika boleh
saya berkata sedikit sinis di sini, memanfaatkan teknologi atau aksi panggung atraktif untuk menutupi musikalitas yang ala kadarnya.
Paling-paling hanya kemunculan Vic Rattlehead, maskot mereka
saja yang sedikit memberikan kejutan. Sisanya, Dave Mustaine hanya meminta band
untuk ‘meminum empat botol air dari empat botol yang disediakan’.
Namun memang begitulah konser metal. Dave seakan tidak
terlalu ambil pusing dengan penonton yang sepertinya kurang berisik. “This is a
heavy metal concert, you’re just need to be silent and be a nice crown,”
ujarnya sarkastis sebelum menggeber intro lagu Tornado of Souls—yang mana ia
jarinya sedikit ‘terpeleset’. Mungkin ia sendiri mengerti karena Megadeth baru
tampil jam 11 malam, dan di antara penonton itu pastinya banyak yang sudah
datang dari pagi atau siang hari. Atau mungkin Mustaine memang tidak peduli. Ia
mencoba tidak terpengaruh dengan situasi penonton atau apa pun. Ia hanya
menggeber konser sesuai dengan kebiasaan dan kesepakatan dengan pihak pemilik
acara. Seperti seorang profesional yang melakukan tugasnya dengan lengkap dan
proporsional.
Akan tetapi bukan berarti konser yang sudah ‘tipikal’ ini
tidak ada seru-serunya. Mustaine terlihat biasa-biasa saja meski baru menang
Grammy Awards, dan ia pun tidak serta merta mendominasi set list lagunya dengan
lagu-lagu yang ada di album Dystopia. Ia malah banyak mengeluarkan lagu-lagu
hit lawas yang tentu saja disukai para penonton yang rata-rata sudah berumur
30-40 tahunan, yang tidak henti-hentinya menengok ke jam tangan atau ponsel,
khawatir istri dan anak mereka menunggui di rumah, atau teringat beberapa jam lagi sudah hari Senin di mana mereka harus menghadiri pertemuan atau melanjutkan pekerjaan di kantor, dan hanya bisa mendengarkan musik metal lewat perangkat headphone agar yang tidak mengerti suka musik metal tidak terganggu.
Dave Mustaine memang ambisius, dan karena itu ia amat
perfeksionis dan profesional. Ia tidak segan mendepak anggota band yang di matanya
sudah tidak lagi kompeten dan kehilangan fokus. “Karena tujuan saya adalah menyamai level permainan
Metallica dan bahkan melebihi mereka, maka saya membutuhkan musisi-musisi yang
bukan hanya jago, tetapi juga ambisius dan memiliki gaya yang sesuai dengan
band,” ungkap Mustaine pada awal pembentukan Megadeth. Hal yang kemudian diamini oleh salah seorang teman
konser yang sepertinya baru kali pertama menyaksikan sebuah konser metal. “Gila.
Gitarnya ngeri,” ujarnya jujur mengomentari suguhan dua dewa gitar, Mustaine
dan Kiko Loureiro yang memang menjadi nyawa dari lagu-lagu Megadeth yang
tingkat kesulitannya menggabungkan skill tinggi jazz, petikan-petikan
menghanyutkan gitar klasik, dan energi tak ada habisnya dari musisi punk.
Sepanjang konser, hal-hal yang sudah direncanakan itu terlihat jelas. Segalanya seperti
sudah diatur, misalnya fase cooling down di lagu A Tout Le Monde atau perkenalan
personel pada lagu Holy Wars.. The Punishment Due. Bagi saya, konser pun
menjadi mudah ditebak alurnya, dengan susunan lagu yang kurang lebih sama dengan yang mereka mainkan di Singapura dan Malaysia, beberapa hari sebelumnya.
Tetapi, bukan berarti konser ini tidak
menyenangkan. Sebaliknya, konser ini merupakan konser terbaik yang pernah saya
saksikan secara kualitas teknik maupun sound, dengan intensitas yang seperti tidak ada turun-turunnya sama sekali karena lagu yang dibawakan juga amat kencang,
bagaikan menaiki roller coaster yang
hanya memberikan sedikit saja masa tenang. Tingkat kesalahan pun amat minim,
dan kalaupun terjadi lebih karena faktor umur Dave saja yang sudah di atas 50 tahun. Belum pernah
saya merasa begitu puasnya ketika konser selesai, hingga kemudian saya merasa
tidak ingin pergi menonton konser band lain lagi.
Jika kemudian saya insaf dan tidak lagi mendengarkan musik—apalagi
musik metal—karena alasan-alasan non-duniawi atau apalah itu, saya toh sudah tidak
lagi merasa ada ruang hampa, karena konser tadi malam memang telah
mencukupkannya.