Senin, 08 Mei 2017

Konser ‘Rutin’ Megadeth Yang Mencukupkan Saya

34 tahun silam, hidup David Scott Mustaine alias Dave Mustaine seperti neraka. Ia dipecat dari band Metallica ketika sedang hendak melakukan rekaman di New York. Lars Ulrich, pentolan Metallica mengirimnya pulang ke ujung barat Los Angeles berbekal sebuah tiket bus. Sesampainya di rumah orang tuanya, Dave pun tidak memiliki pekerjaan dan tidak memiliki teman. Namun semalam (7/5) di panggung Sonic dalam festival Hammersonic yang berlangsung di Ancol, Jakarta, Dave Mustaine bersama band Megadeth yang salah satu lagunya berjudul Dystopia yang baru saja memenangkan Grammy Awards untuk kategori Best Metal Performance, menyuguhkan performa yang betul-betul berkelas dunia, dan hidupnya telah melangkah begitu jauh meninggalkan keterpurukan itu.

Mungkin sudah banyak yang mengetahui bahwa Dave Mustaine merupakan salah satu manusia yang melahirkan genre Trash Metal. Ketika masih memperkuat band Metallica, Mustaine-lah yang menciptakan riff bagi band yang kemudian memecatnya itu. Dari permainannya itulah Metallica mendapatkan pola lagu, hingga waktu kemudian makin mendewasakan dan mengembangkan musikalitas mereka hingga menjadi band metal legendaris dengan kesuksesan komersial terbesar. Bahkan ketika Metallica mengeluarkan album perdana Kill ‘Em All, ada empat lagu bikinan Mustaine yang dimasukkan, yaitu The Four Horseman (awalnya berjudul Mechanix), Phantom Lord, Jump in the Fire dan Metal Militia. Tanpa campur tangan Mustaine di awal pembentukan, mustahil nama Metallica bisa sebesar sekarang.

Oke, kita sudahi saja haru biru rivalitas Mustaine dan Megadeth dengan Metallica, karena setelah kedua band ini pada akhirnya berhasil dengan caranya masing-masing, mereka telah mengubur segala permusuhan seperti layaknya pria-pria paruh baya yang menertawakan kebodohan masa muda saat mereka bertindak tanpa berpikir, atau mengambil keputusan tanpa memikirkan konsekuensi. Ya, seperti kita-kita ini yang masih gak malu ribut-ribut di grup whatsapp padahal ketemu aja jarang.

Konser Hammersonic merupakan konser metal di Indonesia yang memiliki konsep multi-band seperti konsep multi-band yang sudah terbiasa diselenggarakan di negara lain, seperti Loudpark di Jepang. Saya pun baru kali ini menghadiri Hammersonic hanya karena ingin menonton Megadeth. Jujur saja, saya tidak begitu familiar dengan band lain.
Megadeth menurut saya terus saja menelurkan album-album yang kualitasnya cukup stabil. Album Dystopia yang dirilis tahun 2016 memiliki materi yang amat mantap. Lagu-lagu seperti Fatal Illusion, The Threat is Real, Conquer or Die hingga Dystopia memiliki kualitas yang amat prima, namun dengan sound yang segar dan tetap gahar khas Megadeth. “Ketika ingin membentuk band ini, saya memang menginginkan band yang keras, cepat dan brutal,” ujar Mustaine.

Pada konser kemarin, Megadeth menampilkan permainan yang sudah menjadi seperti rutinitas saja bagi standar mereka sendiri. Tidak ada unsur kejutan, interaksi yang aktif dengan penonton, tidak ada lagu-lagu tidak biasa, juga tidak ada aksi panggung pengalih perhatian seperti memanfaatkan sarana multi media, koreografi dan sebagainya. Tidak seperti band-band lain yang jika boleh saya berkata sedikit sinis di sini, memanfaatkan teknologi atau aksi panggung atraktif untuk menutupi musikalitas yang ala kadarnya. 

Paling-paling hanya kemunculan Vic Rattlehead, maskot mereka saja yang sedikit memberikan kejutan. Sisanya, Dave Mustaine hanya meminta band untuk ‘meminum empat botol air dari empat botol yang disediakan’.

Namun memang begitulah konser metal. Dave seakan tidak terlalu ambil pusing dengan penonton yang sepertinya kurang berisik. “This is a heavy metal concert, you’re just need to be silent and be a nice crown,” ujarnya sarkastis sebelum menggeber intro lagu Tornado of Souls—yang mana ia jarinya sedikit ‘terpeleset’. Mungkin ia sendiri mengerti karena Megadeth baru tampil jam 11 malam, dan di antara penonton itu pastinya banyak yang sudah datang dari pagi atau siang hari. Atau mungkin Mustaine memang tidak peduli. Ia mencoba tidak terpengaruh dengan situasi penonton atau apa pun. Ia hanya menggeber konser sesuai dengan kebiasaan dan kesepakatan dengan pihak pemilik acara. Seperti seorang profesional yang melakukan tugasnya dengan lengkap dan proporsional.

Akan tetapi bukan berarti konser yang sudah ‘tipikal’ ini tidak ada seru-serunya. Mustaine terlihat biasa-biasa saja meski baru menang Grammy Awards, dan ia pun tidak serta merta mendominasi set list lagunya dengan lagu-lagu yang ada di album Dystopia. Ia malah banyak mengeluarkan lagu-lagu hit lawas yang tentu saja disukai para penonton yang rata-rata sudah berumur 30-40 tahunan, yang tidak henti-hentinya menengok ke jam tangan atau ponsel, khawatir istri dan anak mereka menunggui di rumah, atau teringat beberapa jam lagi sudah hari Senin di mana mereka harus menghadiri pertemuan atau melanjutkan pekerjaan di kantor, dan hanya bisa mendengarkan musik metal lewat perangkat headphone agar yang tidak mengerti suka musik metal tidak terganggu.

Dave Mustaine memang ambisius, dan karena itu ia amat perfeksionis dan profesional. Ia tidak segan mendepak anggota band yang di matanya sudah tidak lagi kompeten dan kehilangan fokus. “Karena tujuan saya adalah menyamai level permainan Metallica dan bahkan melebihi mereka, maka saya membutuhkan musisi-musisi yang bukan hanya jago, tetapi juga ambisius dan memiliki gaya yang sesuai dengan band,” ungkap Mustaine pada awal pembentukan Megadeth. Hal yang kemudian diamini oleh salah seorang teman konser yang sepertinya baru kali pertama menyaksikan sebuah konser metal. “Gila. Gitarnya ngeri,” ujarnya jujur mengomentari suguhan dua dewa gitar, Mustaine dan Kiko Loureiro yang memang menjadi nyawa dari lagu-lagu Megadeth yang tingkat kesulitannya menggabungkan skill tinggi jazz, petikan-petikan menghanyutkan gitar klasik, dan energi tak ada habisnya dari musisi punk.

Sepanjang konser, hal-hal yang sudah direncanakan itu terlihat jelas. Segalanya seperti sudah diatur, misalnya fase cooling down di lagu A Tout Le Monde atau perkenalan personel pada lagu Holy Wars.. The Punishment Due. Bagi saya, konser pun menjadi mudah ditebak alurnya, dengan susunan lagu yang kurang lebih sama dengan yang mereka mainkan di Singapura dan Malaysia, beberapa hari sebelumnya. 

Tetapi, bukan berarti konser ini tidak menyenangkan. Sebaliknya, konser ini merupakan konser terbaik yang pernah saya saksikan secara kualitas teknik maupun sound, dengan intensitas yang seperti tidak ada turun-turunnya sama sekali karena lagu yang dibawakan juga amat kencang, bagaikan menaiki roller coaster yang hanya memberikan sedikit saja masa tenang. Tingkat kesalahan pun amat minim, dan kalaupun terjadi lebih karena faktor umur Dave saja yang sudah di atas 50 tahun. Belum pernah saya merasa begitu puasnya ketika konser selesai, hingga kemudian saya merasa tidak ingin pergi menonton konser band lain lagi.

Jika kemudian saya insaf dan tidak lagi mendengarkan musik—apalagi musik metal—karena alasan-alasan non-duniawi atau apalah itu, saya toh sudah tidak lagi merasa ada ruang hampa, karena konser tadi malam memang telah mencukupkannya.