Minggu, 12 Maret 2017

Aku Mengikuti Gabriel Batistuta

"Aku tidak pernah menyukai sepak bola. Itu hanyalah pekerjaanku."

Itu adalah ucapan dari seorang bekas pesepak bola papan atas, bekas penyerang yang kemampuannya salah satu yang terhebat pada era 90an. Namanya Gabriel Omar Batistuta.

Lho, bagaimana mungkin seorang pemain hebat yang terlihat begitu total ketika bermain, tiba-tiba mengaku tidak menyukai sepak bola?

Ya, begitulah Batigol, julukan yang diberikan penonton kepadanya. Setiap orang, ternyata memiliki sisi lain dalam hidupnya, sisi yang tak pernah ia tunjukkan dalam keseharian.

Aku pun begitu.

Aku bekerja dari hari Senin hingga Jumat. Berangkat pagi hari, pulangnya kadang sampai larut malam. Dibayar cukup, karir pun tidak jelek. Dari pekerjaan ini aku bersyukur bisa menyambung hidup.

Tapi, aku menganggap ini hanya pekerjaan. Itu saja.

Aku juga kadang tidak nyaman dengan banyak hal seputaran pekerjaan ini. Aku benci politik kantor, aku juga tidak nyaman jika disuruh berdebat, padahal di pekerjaan ini, berdebat kadang diperlukan. Lebih lagi, aku juga tidak nyaman berkompetisi. Aku hanya melakukan pekerjaanku, membayar kepercayaan atasan-atasan, juga tidak mengecewakan mereka. Itu saja, cukup.

Aku paham betul dunia korporasi. Kita menjadi sekrup kecil di mesin besar, yang setiap saat bisa disingkirkan dan digantikan yang baru. Menjadi sekrup kecil seperti ini juga berarti bekerja sesuai fungsi. Ahli di bidang sesuai pekerjaan, tapi kadang berarti mengabaikan pengetahuan lain. Contohnya, pengetahuanku akan ibukota negara atau sejarah sepak bola tidak akan berguna di sini.

Tapi, aku senang mendengar cerita seperti Batistuta tadi. Tentang seseorang yang tidak mencintai pekerjaannya, namun tetap melakukannya dengan penuh totalitas dan menghasilkan pekerjaan yang berkualitas. Bagi para idealis, Batistuta boleh saja dicap oportunis. Tapi bagi saya, cerita hidup Batistuta yang tidak suka sepak bola namun mengakhiri karir sebagai pesepak bola sukses, sangat menginspirasi.

Batistuta menunjukkan kedewasaan. Ia mengalah dengan realita, demi kebaikan keluarganya. Bukankah seorang kepala keluarga harus memiliki jiwa seperti itu? Karena kebutuhan sandang pangan papan tidak dapat digantikan oleh kepuasan berkarya. Batistuta telah berbuat logis. Ia sadar, tidak semua orang bisa beruntung melakukan pekerjaan yang dicintai, sekaligus meraih kesuksesan materi. Kebanyakan orang, seperti halnya Batistuta, hanya bisa mendapatkan salah satunya saja.

Untuk saat ini, aku rasa meniru seorang Gabriel Omar Batistuta tidaklah buruk.