Kemarin, semestinya saya gugup. Kenapa?
Karena saya harus manggung untuk mengisi acara kantor. Bukan sembarang acara
kantor, karena kalau dalam ukuran saya sih, acaranya cukup megah. Seluruh duta
dari produk, yang tentu saja para artis, diundang untuk menghadiri acara. Lalu
apa hubungannya dengan acara manggung saya? Ternyata, mereka menjadi juri yang
akan menilai penampilan kami di panggung.
Beberapa jam sebelum tampil,
ternyata saya tidak merasakan kegugupan yang keterlaluan. Saya seperti sudah
biasa saja, mungkin pengaruh umur. Masak sih sudah di usia ini masih demam panggung seperti anak SMA yang baru kali pertama manggung di pentas seni?
Tapi, ternyata rasa gugup itu
muncul ketika nama grup kami dipanggil ke atas panggung. Ketika kaki melangkah
ke bibir panggung dan melihat ke arah penonton, tiba-tiba panggung besar ini seperti berubah menjadi atap gedung yang tinggi. Penonton yang mungkin jumlahnya hanya ratusan, tapi kelihatannya ribuan. Apalagi, tiga orang aktris ibukota kemudian memandangi kami satu persatu seperti juri di acara kontes bakat televisi nasional.
Saya juga tidak memegang
instrumen yang menjadi kebisaan saya yaitu drum. Lagi-lagi dalam grup, saya mengalah dan memegang gitar. Padahal, jari-jari
tangan sudah kaku, selain itu, saya juga tidak pernah jago bermain gitar.
The show must go on. Saya pun
memasang perangkat gitar dan efeknya, lalu menghubungkannya ke peralatan
amplifier besar. Terdengar suara nyaring perangkat enam senar yang saya
genjreng halus, dan spontan membuat penonton menengok ke arah saya.
Ternyata pertunjukan berjalan lancar,
kecuali suara senar satu saya yang ternyata fals. Saya kepedean sampai lupa
menyetemnya. Ah untung saja suaranya tertutup kerasnya gebukan drum. Tanpa terasa,
kami pun selesai, lalu turun menuju backstage.
Kami pun saling bersalaman, lalu kemudian para bos datang ke backstage, juga untuk memberi selamat.
Tanpa saya sadar, keringat
bercucuran. Kaos saya basah keringat, dan mulut saya luar biasa keringnya. Air
mineral pun langsung saya tenggak sebotol penuh untuk mengganti cairan yang
terus terbuang. Tidak lama, para duta produk inipun masuk ke backstage. Mereka kegerahan di luar, dan
mencari pendingin ruangan yang dipasang di backstage.
Kami pun berfoto bersama, dan mereka tidak keberatan menanggapi banyak
pertanyaan dari teman-teman saya.
Tidak lama, salah satu duta
produk pun melangkah santai ke panggung, berbicara dengan lantang dan lancar
tanpa sedikitpun ada nada kegugupan. Mereka tersenyum dan tertawa tanpa
terlihat terpaksa. Memang sudah pekerjaan mereka untuk menaklukkan panggung
demi panggung, seperti halnya saya yang sehari-hari berkutat dengan kertas
kerja berisi angka-angka njlimet.
Diam-diam, saya kagum dengan
mereka yang begitu mudahnya menaklukkan panggung. Terlepas dari fakta bahwa
itulah pekerjaan mereka sehari-hari. Tapi bagi saya, para penakluk panggung ini
tidak hanya mengandalkan tampang yang memang sudah rupawan sejak lahir, tapi
juga mampu menyampaikan pesan dan mengarahkan massa seberapapun sulitnya
situasi. Di belakang panggung mereka memang seperti orang biasa. Mereka bercanda,
merokok, tidak lepas dari gadget. Wajah mereka pun lelah dan terlihat bosan
seperti menunggu kapan hari ini akan berakhir. Tapi pada saat mereka berada di
panggung, seluruh kelelahan dan kebosanan itu sirna, berganti dengan antusiasme
dan senyum yang terlihat tulus.
Memang dunia ini adalah panggung,
bukan? Walaupun jaman sekarang kita bisa mencari panggung di dunia maya. Di twitter,
begitu banyak orang yang sebegitunya cari panggung. Ada yang marah-marah,
goblok-goblokin orang, ngeyel, sampai ngehina-hina karya orang. Ah, coba aja
lakukan itu semua di atas panggung nyata yang ditonton oleh
follower-followernya. Ada pula mereka yang cuma berani ngomong di belakang,
tapi ketika disuruh tampil di panggung? Alasannya sebanyak spesies nyamuk di
dunia ini.
Saya iri pada kalian, para
penakluk panggung.