“Bubur ayam!” Begitulah jawaban
saya ketika ditanyakan pilihan menu sarapan pagi, apapun tandingannya. Misalnya
ketika diminta memilih “mau sarapan telor dadar, nasi uduk, lontong sayur, nasi
goreng atau bubur ayam?”
Untuk persoalan ini, otak saya
telah meringankan pekerjaannya dengan secara otomatis memilih bubur ayam.
Buat saya, bubur ayam juga bisa
dinikmati pada malam hari saat perut masih lapar-lapar nanggung. Untuk
mengenyangkan perut, saya biasa mampir ke kios bubur ayam dekat rumah sebelum
pulang.
Bubur ayam amat jarang menjadi
teman bersantap siang, karena memang jarang yang menjual bubur ayam siang hari.
Bubur ayam juga jarang saya konsumsi ketika bepergian bersama keluarga di akhir
pekan, karena biasanya kami mencari makanan nasi atau mie. Karena itulah tempat
makan bubur ayam favorit saya tidak jauh dari sekitaran tempat tinggal, yaitu
di daerah Depok.
Sepanjang yang saya pernah lihat,
kebanyakan bubur ayam di Depok berasal dari Cirebon. Bubur ayam Cirebon ini memiliki
ciri kaldu yang bersantan plus kecap asin sebagai pelengkapnya. Lalu untuk topping, dicampurlah bawang goreng, daun
seledri, kacang kedelai dan suwiran ayam yang banyak/sedikitnya tergantung
kemurahan hati si Abang. Tidak lupa kecap manis, sambal, kerupuk dan emping sesuai
selera. Secara tampilan, bubur ayam ini begitu sembrono, berantakan dan
merakyat. Apalagi dalam meracik semangkuk bubur ayam, si abang tidak
menggunakan apapun untuk menutupi tangannya, jadi yah kalo abangnya habis
ngupil ya berarti rejeki buat yang beli.
Ada tiga tempat bubur ayam khas
Cirebon di Depok yang saya suka datangi, yang pertama tentu saja yang di dekat
komplek perumahan Kavling Kujang. Di sini, si Abang bubur menjual semangkuk
bubur ayam seharga 7 ribu rupiah saja. Kalau kesiangan dikit, antriannya minta
ampun. Dia datang jam 7 di depan komplek perumahan, dan biasanya jam 10
dagangannya sudah ludes.
Yang kedua adalah bubur ayam
Cirebon yang ada di dekat kantor PLN Jl Nusantara, Depok. Namanya sesuai dengan
lokasi, yaitu bubur ayam PLN. Untuk yang ini, kebersihan cukup diperhatikan
oleh penjual. Meracik buburnya dengan penutup tangan yang terbuat dari plastik,
estetika penataan bubur pun diperhatikan karena karena kacang, daun seledri dan
suwiran ayamnya tidak ditabur jadi satu, melainkan ditata bersebelahan. Mungkin
si penjual mencoba mengikuti keinginan mereka yang biasa makan bubur ayam
dengan tidak diaduk. Yang saya suka di bubur ayam PLN ini adalah tambahan
ati-ampla yang begitu enak dan berbumbu. Harganya masih lebih mahal, yaitu 10
ribu, karena di samping tempat mangkalnya di jalan yang lebih besar, pegawainya
juga lebih banyak, walaupun kalau saya tebak sih mereka masih bersaudara.
Yang ketiga adalah bubur ayam
khas Cirebon yang berjualan di dekat perumahan Depok Indah I. Namanya bubur
ayam Aroma. Penyajiannya tidak serapi bubur ayam PLN, tapi soal rasa boleh deh
diadu. Harganya kalau tidak salah 8 ribu. Yang enak dari bubur ini adalah sate
usunya yang begitu berbumbu. Kalau di luar Depok, bubur ayam Cirebon yang enak
tuh ada di Jl. Sabang yang dekat Dunkin Donuts. Eh iya, sama satu lagi yang
biasa berjualan di depan Menara Batavia.
Selain bubur ayam ala Cirebon,
saya juga suka banget sama bubur ayam Sinar Garut yang berjualan di jalan Margonda
Raya. Dari namanya saja sudah ketahuan kan asalnya. Bubur ayam ini biasanya
bermitra dengan aneka es serut bernama sama. Sehabis makan bubur, memang enak
banget minum es serut pakai alpukat dan susu kental manis coklat. Bubur ayam
Sinar Garut ini sedikit berbeda dengan Cirebon. Selain tanpa kecap manis, bubur
ini juga disiram air kaldu sehingga sangat gurih. Topping-nya berupa cakwe, sementara ayamnya tidak disuwir,
melainkan diiris-iris hingga halus. Ayamnya juga digoreng dengan garing, sehingga
ketika dimakan, masih ada sedikit rasa kriuk. Oh iya, bubur ini juga tidak
pakai krupuk atau emping, tapi memakai cheese stick (cistik). Dibandingkan
bubur ayam Cirebon, bubur ayam Sinar Garut berharga lebih mahal.
Bubur ayam Cirebon sudah, Garut
sudah, hmm saya juga masih suka makan bubur ayam Tasik yang berjualan di Jl
Arif Rahman Hakim. Rumah makan ini sudah ada sejak saya pindah ke Depok (tahun
90an awal). Meskipun terlihat tidak terlalu ramai pengunjung, tapi penggemarnya
ada saja, dan menurut saya inilah yang membuatnya awet.
Yang istimewa dari bubur ini
adalah ia selalu dimasak pada saat kita memesan. Tidak ada tuh panci berukuran
besar yang dipakai untuk menaruh bubur nasi. Jadi ketika disajikan, bubur masih
dalam keadaan panas dan sangat nikmat untuk disantap. Kalau soal tekstur, bubur
Tasik ini sepertinya lebih berair ketimbang bubur Cirebon dan Garut. Malah
lebih mirip sama bubur ayam ala restoran China.
Di luar bubur-bubur ayam di atas,
ada lagi yang enak, yaitu bubur ayam yang ada di Cimahi, Bandung. Saya lupa
persisnya di mana, tapi seingat saya dekat dengan Rumah Sakit Dustira dan
stasiun Cimahi. Bubur ini berkuah santan, dan begitu ‘berat’ rasanya.
Porsinya juga besar, jadi dijamin bikin perut kenyang. Satu lagi kesan, yaitu si ibu penjual yang selalu mengajak berbicara bahasa Sunda, sekalipun Anda merespon dengan bahasa Indonesia.
Ya begitulah saya dan bubur ayam.