Belakangan ini, sering banget saya lihat postingan, baik
berbentuk tulisan pendek, meme atau foto-foto berupa klaim tentang masa kecil
anak 90an yang amat menyenangkan. Dari mulai bermain gambar tempel, kelereng, nonton
Doraemon dan Power Ranger setiap minggu pagi, makan agar-agar dan lidi asin
yang dijual abang-abang depan sekolah, hingga menyalahgunakan kaca rautan untuk
mengintip rok anak perempuan.
Katanya, semua itu menyenangakan, tak tergantikan dan tak terlupakan, hingga
meski sekarang semuanya sudah hilang, banyak di antara kita yang mencari-cari
barang-barang 90an atau menonton pertunjukan musik 90an. Mungkin cuma kosakata slapstick 90an macam ‘au ah gelap’, ‘bokis’,
‘bokin’ ‘egelugu sigiagapaga’ dan model rambut belah tengah aja yang sudah
ditinggalkan.
Dalam banyak hal, saya setuju tentang betapa menyenangkannya
era 90an. 90an adalah masa di mana teknologi berkembang amat pesat. Telepon,
komputer, dunia pertunjukan (showbiz)
dan banyak teknologi lain yang muncul ke permukaan (khususnya di Indonesia)
pada tahun 90an. Dan seperti ‘anak bayi’, penggunaan teknologi ini jadi
pengalaman pertama yang bikin penasaran. Ketika telepon baru dipasang, kita
sering terlalu lama menelpon teman atau layanan 0809 hingga orang tua
mencak-mencak ketika tagihan telepon membengkak. Telepon dikunci, kita akali dengan
memencet nomor pakai sendok. Jika sudah tidak mungkin lagi diakali, kita rela
menyisihkan uang jajan untuk menelpon di wartel atau mengantre di telepon umum
koin dengan risiko dipalak anak preman yang nongkrong di situ.
Revolusi dari teknologi dan maraknya dunia pertunjukan ini
kemudian melahirkan dinamika dalam masa tumbuh anak-anak 90an. Tapi di
tengah perubahan drastis ini, anak-anak 90an pun masih diajarkan oleh generasi
sebelumnya (yaitu orang tua kita) untuk menyeimbangkan cara hidup. Jangan sampai
teknologi dan gemerlapnya dunia pertunjukan ini membuat anak-anak 90an asik
sendiri. Anak-anak 90an masih sering main petak umpet, benteng, galasin atau
lompat karet di luar rumah, meski sesekali terlihat main dingdong di terminal dan
Nintendo atau Sega di rumah.
Lalu timbul komparasi dengan masa kecil anak-anak sekarang, dan betapa berbedanya perilaku kesopanan
anak 90an jika dibandingkan dengan anak-anak sekarang.
Yang seperti apa?
Tau sendiri lah. Yang masih SD sudah punya handphone, yang sedari belajar ngomong
sudah dijejali gadget, yang umur 2
tahun sudah sekolah. Belum lagi menyoal pelajaran sekolah yang teramat berat,
ikutan bimbel sana-sini yang menghabiskan masa kanak-kanak, lalu tuntutan untuk
lulus ujian.
Ouch, untuk
membahas soal ini satu persatu rasanya butuh postingan sendiri-sendiri.
Tapi intinya, hidup anak-anak sekarang yang sudah berat ini
juga kemudian diperparah dengan kualitas acara tv yang semakin terdegradasi dan
tentu saja tuntutan untuk bersaing dengan miliaran anak lain di seluruh dunia
di tengah pasar bebas. Beberapa ahli mengatakan, bahwa akibat tuntutan ini, perilaku
anak-anak sekarang memang cenderung makin individualis, agresif dan pemarah, kurang hormat
dengan yang lebih tua, sedikit-sedikit ngadu gara-gara diomeli guru, manja,
malas, kebanyakan makan, bahkan sampai ugal-ugalan naik motor dan pacar-pacaran
yang semakin liar.
Saya tidak ingin menggurui. Tapi saya berpendapat bahwa
klaim sepihak tentang masa menyenangkan anak 90an ini tidak akan berarti
apa-apa untuk memperbaiki mental anak-anak sekarang. Pernahkah kita berpikir
bahwa generasi keren 90an ini juga turut berandil bagi pembentukan mental
anak-anak sekarang?
Kita mengeluhkan mengapa anak-anak sekarang malas gerak
(mager). Tapi jika kita dulu bisa dengan leluasanya bermain di tanah lapang,
apakah sekarang tanah lapang itu masih banyak tersedia untuk tempat main
anak-anak kita? Tidak. Sekarang sudah berwujud mall, perumahan, tempat makan, dan lahan parkir.
Kita juga mengeluhkan anak-anak sekarang yang terlalu cepat
dewasa. Lagunya sudah cinta-cintaan, bahasanya juga tua. Alay, lebay, labil. Padahal, ada andil tayangan
di televisi dan tidak terbatasnya informasi dari internet. Lalu sudahkah kita
menyediakan waktu untuk mengawasi tontonan televisi dan penggunaan smartphone mereka? Tidak, kita lebih
sibuk bekerja dan menitipkan anak kepada si mbak.
Lalu anak-anak sekarang itu narsis dan suka selfie. Lha, bukannya ortunya juga begitu? Hehehe.
Lalu anak-anak sekarang itu narsis dan suka selfie. Lha, bukannya ortunya juga begitu? Hehehe.
Lalu kita mengeluhkan tindakan no respect dari anak-anak sekarang. Tapi seberapa banyak kita
meluangkan waktu untuk mengajari anak-anak dan keponakan kita jika kita sendiri
terbuai dengan dunia konsumtif yang membuat kita semakin sibuk sehingga lupa
mengajari mereka?
Anak-anak sekarang lebih egois dan tidak mau mengalah. Ya,
gimana mau mengalah dan berempati jika semua keinginan anak selalu kita turuti.
Semua dibelikan masing-masing, tidak kita ajarkan berbagi.
Oke, mungkin ini terlalu generalisir dan bias. Masih banyak
di antara kita yang sadar pentingnya pendidikan kepada anak berkat buku-buku parenting dan artikel-artikel inspiratif
yang sudah kita lahap. Tapi, tetap saja sebagian dari kita juga lalai, terlalu
cuek dan terlalu sibuk, bukan?
Lagipula, bukan berarti tidak ada hal positif dari masa kecil anak-anak sekarang. Lihat aja betapa cepat pintarnya mereka (dilihat dari raport yang diposting orang tuanya di media sosial), membanjirnya pujian-pujian untuk mereka dari teman-teman ortu mereka, betapa jagonya bahasa Inggris mereka karena sudah kita biasakan mencampur bahasa Indonesia-Inggris di rumah, dan banyak sekali anak yang kecil-kecil udah bisa sholat tanpa disuruh.
Man, generasi 90an emang keren, menyenangkan, dengan teramat
banyak value positif di dalamnya. No doubt about it. Tapi mengapa semua
itu seperti terlalu cepat hilang, tentu ada andil dari kita juga.
Buat apa klaim-klaim generasi keren ini-itu kalau value-nya tidak kita tularkan.