Rabu, 11 November 2015

Tentang Masa Kecil Siapa Yang Lebih Bahagia

Belakangan ini, sering banget saya lihat postingan, baik berbentuk tulisan pendek, meme atau foto-foto berupa klaim tentang masa kecil anak 90an yang amat menyenangkan. Dari mulai bermain gambar tempel, kelereng, nonton Doraemon dan Power Ranger setiap minggu pagi, makan agar-agar dan lidi asin yang dijual abang-abang depan sekolah, hingga menyalahgunakan kaca rautan untuk mengintip rok anak perempuan.

Katanya, semua itu menyenangakan, tak tergantikan dan tak terlupakan, hingga meski sekarang semuanya sudah hilang, banyak di antara kita yang mencari-cari barang-barang 90an atau menonton pertunjukan musik 90an. Mungkin cuma kosakata slapstick 90an macam ‘au ah gelap’, ‘bokis’, ‘bokin’ ‘egelugu sigiagapaga’ dan model rambut belah tengah aja yang sudah ditinggalkan.

Dalam banyak hal, saya setuju tentang betapa menyenangkannya era 90an. 90an adalah masa di mana teknologi berkembang amat pesat. Telepon, komputer, dunia pertunjukan (showbiz) dan banyak teknologi lain yang muncul ke permukaan (khususnya di Indonesia) pada tahun 90an. Dan seperti ‘anak bayi’, penggunaan teknologi ini jadi pengalaman pertama yang bikin penasaran. Ketika telepon baru dipasang, kita sering terlalu lama menelpon teman atau layanan 0809 hingga orang tua mencak-mencak ketika tagihan telepon membengkak. Telepon dikunci, kita akali dengan memencet nomor pakai sendok. Jika sudah tidak mungkin lagi diakali, kita rela menyisihkan uang jajan untuk menelpon di wartel atau mengantre di telepon umum koin dengan risiko dipalak anak preman yang nongkrong di situ.

Revolusi dari teknologi dan maraknya dunia pertunjukan ini kemudian melahirkan dinamika dalam masa tumbuh anak-anak 90an. Tapi di tengah perubahan drastis ini, anak-anak 90an pun masih diajarkan oleh generasi sebelumnya (yaitu orang tua kita) untuk menyeimbangkan cara hidup. Jangan sampai teknologi dan gemerlapnya dunia pertunjukan ini membuat anak-anak 90an asik sendiri. Anak-anak 90an masih sering main petak umpet, benteng, galasin atau lompat karet di luar rumah, meski sesekali terlihat main dingdong di terminal dan Nintendo atau Sega di rumah.

Lalu timbul komparasi dengan masa kecil anak-anak sekarang, dan betapa berbedanya perilaku kesopanan anak 90an jika dibandingkan dengan anak-anak sekarang.

Yang seperti apa?

Tau sendiri lah. Yang masih SD sudah punya handphone, yang sedari belajar ngomong sudah dijejali gadget, yang umur 2 tahun sudah sekolah. Belum lagi menyoal pelajaran sekolah yang teramat berat, ikutan bimbel sana-sini yang menghabiskan masa kanak-kanak, lalu tuntutan untuk lulus ujian.

Ouch, untuk membahas soal ini satu persatu rasanya butuh postingan sendiri-sendiri.

Tapi intinya, hidup anak-anak sekarang yang sudah berat ini juga kemudian diperparah dengan kualitas acara tv yang semakin terdegradasi dan tentu saja tuntutan untuk bersaing dengan miliaran anak lain di seluruh dunia di tengah pasar bebas. Beberapa ahli mengatakan, bahwa akibat tuntutan ini, perilaku anak-anak sekarang memang cenderung makin individualis, agresif dan pemarah, kurang hormat dengan yang lebih tua, sedikit-sedikit ngadu gara-gara diomeli guru, manja, malas, kebanyakan makan, bahkan sampai ugal-ugalan naik motor dan pacar-pacaran yang semakin liar.

Saya tidak ingin menggurui. Tapi saya berpendapat bahwa klaim sepihak tentang masa menyenangkan anak 90an ini tidak akan berarti apa-apa untuk memperbaiki mental anak-anak sekarang. Pernahkah kita berpikir bahwa generasi keren 90an ini juga turut berandil bagi pembentukan mental anak-anak sekarang?

Kita mengeluhkan mengapa anak-anak sekarang malas gerak (mager). Tapi jika kita dulu bisa dengan leluasanya bermain di tanah lapang, apakah sekarang tanah lapang itu masih banyak tersedia untuk tempat main anak-anak kita? Tidak. Sekarang sudah berwujud mall, perumahan, tempat makan, dan lahan parkir.

Kita juga mengeluhkan anak-anak sekarang yang terlalu cepat dewasa. Lagunya sudah cinta-cintaan, bahasanya juga tua. Alay, lebay, labil. Padahal, ada andil tayangan di televisi dan tidak terbatasnya informasi dari internet. Lalu sudahkah kita menyediakan waktu untuk mengawasi tontonan televisi dan penggunaan smartphone mereka? Tidak, kita lebih sibuk bekerja dan menitipkan anak kepada si mbak.

Lalu anak-anak sekarang itu narsis dan suka selfie. Lha, bukannya ortunya juga begitu? Hehehe.

Lalu kita mengeluhkan tindakan no respect dari anak-anak sekarang. Tapi seberapa banyak kita meluangkan waktu untuk mengajari anak-anak dan keponakan kita jika kita sendiri terbuai dengan dunia konsumtif yang membuat kita semakin sibuk sehingga lupa mengajari mereka?

Anak-anak sekarang lebih egois dan tidak mau mengalah. Ya, gimana mau mengalah dan berempati jika semua keinginan anak selalu kita turuti. Semua dibelikan masing-masing, tidak kita ajarkan berbagi.

Oke, mungkin ini terlalu generalisir dan bias. Masih banyak di antara kita yang sadar pentingnya pendidikan kepada anak berkat buku-buku parenting dan artikel-artikel inspiratif yang sudah kita lahap. Tapi, tetap saja sebagian dari kita juga lalai, terlalu cuek dan terlalu sibuk, bukan?

Lagipula, bukan berarti tidak ada hal positif dari masa kecil anak-anak sekarang. Lihat aja betapa cepat pintarnya mereka (dilihat dari raport yang diposting orang tuanya di media sosial), membanjirnya pujian-pujian untuk mereka dari teman-teman ortu mereka, betapa jagonya bahasa Inggris mereka karena sudah kita biasakan mencampur bahasa Indonesia-Inggris di rumah, dan banyak sekali anak yang kecil-kecil udah bisa sholat tanpa disuruh.  

Man, generasi 90an emang keren, menyenangkan, dengan teramat banyak value positif di dalamnya. No doubt about it. Tapi mengapa semua itu seperti terlalu cepat hilang, tentu ada andil dari kita juga.

Buat apa klaim-klaim generasi keren ini-itu kalau value-nya tidak kita tularkan.