Membanding-bandingkan
adalah salah satu pekerjaan favorit manusia. Apple dengan Samsung (terlepas
dengan adanya istilah apple to apple),
Maradona dengan Pele (terlepas dari mereka berdua berbeda generasi), Jupe
dengan DePe (terlepas dari.. ah sudahlah) dan lainnya. Alasan pun dicari-cari. Perselisihan
sepele pun diangkat habis-habisan seolah kedua subjek memang seperti air dengan
minyak yang tidak pernah bisa bersatu. Makin ribut, makin asik.
Namun di antara
pembandingan-pembandingan yang ada, saya lebih suka melihat bagaimana
orang-orang membandingkan dua band metal ternama, Metallica dan Megadeth (yang
bukan penikmat musik mereka feel free to
navigate away) yang seakan gak ada habisnya. Kebetulan, dua band ini hidup
di era yang sama, juga menghasilkan karya-karya dengan produktivitas dan kadar
kesuksesan finansial yang kurang lebih sama pula terlepas dari pasang surut
yang mereka alami.
Saya tidak
ingin menjadi orang ke-1233556789876543 yang turut membandingkan mereka. Menurut
saya karena faktor seorang Dave Mustaine-lah kedua band ini terus
dibanding-bandingkan. Seperti kita tahu, Mustaine yang notabene pendiri
Megadeth adalah mantan gitaris Metallica yang pemecatannya diwarnai kontroversi.
Kini Megadeth (Mustaine) dan Metallica nampak sudah akur, atau mungkin saja merasa
sudah terlalu tua untuk terus berantem
dan ngambek-ngambekan.
Dua band ini
adalah alasan mengapa saya bisa mengapresiasi musik metal yang bising, berisik,
brutal dan (kalau kata seorang teman) biadab. Cerita perkenalan saya dengan
genre inipun cukup unik. Saya yang hingga berusia 15 tahun tidak pernah
dengerin musik metal tiba-tiba merasakan adanya sensasi aneh saat pertama kali
mendengarkan nomor ballad Metallica
semacam The Unforgiven dan lagu-lagu metal nge-rock yang terdapat di album
metal sejuta umat, Black Album. Dari sinilah lalu berlanjut ke pencarian pada
Megadeth di mana saya kemudian menemukan lagu Trust pada album Crypticwritings.
Dua lagu
tadi menjadi gerbang perkenalan saya dengan album-album mereka yang lain,
meskipun hingga kini saya masih tidak hapal sebagian besar lagu-lagu mereka.
Yah, mungkin saya hanya hapal 30-50% lagu-lagu mereka, itupun yang memang sering
dibawakan saat mereka konser. Saya bukanlah penggemar sejati musik metal jika
mengacu pada kuantitas menyimak album dari dua band ini, terlebih saya tidak
mendengarkan band metal lain selain mereka.
Anyway, Metallica
dan Megadeth mungkin benar bising, berisik, brutal dan mungkin saja biadab. Tapi
saya telah mencapai tahap untuk bisa menilai bahwa kedua band ini memainkan
musik yang berkelas, susah ditiru, dan tentu saja susah untuk diminati oleh
para penggila musik easy listening. “Mainin
lagu yang santai aja-lah, jangan yang bikin sakit kuping,” demikian kutipan
yang saya ingat dari seorang vokalis band pop dalam wawancaranya di sebuah
majalah remaja seolah menganggap musik metal adalah musik yang tidak enak
didengar.
Musik metal
juga kerap digenerelisasi sebagai pembawa pengaruh buruk. Mereka dikatakan
mengajarkan kekerasan, satanis dan anti ketuhanan. Lirik-liriknya juga kerap
bertema ajakan bunuh diri maupun pemujaan terhadap hal-hal yang dianggap tidak
pantas. Musik yang enggak banget.
Namun tidak
sedikit pula pembelaan yang pernah saya dengar.
“Musik metal
buat sebagian orang mungkin hanya musik yang berisik, tapi buat saya musik
metal adalah musik yang paling pol dalam penyaluran ekspresi,” ujar salah satu
gitaris cewek metal yang saya lupa namanya.
“Untuk
mengerti musik metal memang diperlukan intelegensi. Kecepatan dan kerumitan memang
gak semua orang bisa ngikutin,” tutur
salah seorang random person yang saya
temui pada konser Megadeth di Jakarta tahun 2007 lalu.
Metallica
dan Megadeth adalah band cadas dengan intelegensi tinggi. Tidak sekadar
memainkan musik cepat dan teriak-teriak gak jelas, sebaliknya mereka mengusung
standar tinggi dalam penggarapan album maupun konser. Tidak ada lip-sync performance seperti artis-artis
acara musik pagi dengan penjoget cuci-jemur, tidak ada chord dan rhythm section sederhana
dan ketukan konstan menjemukan.
Bagaimana dengan
sisi melodi? Well, dua band ini adalah band cadas yang mungkin paling melodik, soulful dan memiliki ciri khas. Notasi
yang diambil Metallica mungkin banyak didominasi kord E mayor dengan variasi di
sekitarnya, ataupun A minor. Nuansa gelap, getir dan artikulasi yang jelas dan berat
menjadi ciri khas James Hetfield, sang frontman
Metallica. Sementara Dave Mustaine yang menjadi leader sekaligus songwriter
Megadeth memiliki warna vokal yang lebih crunchy dengan artikulasi yang kadang
sulit diinterpretasi. Lagu-lagu yang dihasilkan juga sebetulnya berbeda,
meskipun banyak yang bilang mirip.
Untuk urusan
harmonisasi, Megadeth menurut saya masih lebih unggul. Marty Friedman, Dave
Ellefson dan Nick Menza (Friedman dan Menza bersama dua Dave adalah anggota
dari Classic Megadeth) adalah
pemegang instrumen yang Anda inginkan dalam sebuah band. Presisi, kecepatan,
dan harmoni yang mereka hasilkan membuat musik Megadeth terdengar serumit musik
jazz namun dibungkus kebrutalan musik metal. Ini pula yang menyimpulkan bahwa
secara line-up personel, Megadeth
memang masih unggul.
Namun musik
bukanlah sekadar skill. Seberapapun seringnya Hammett ‘terpeleset’ memainkan
solo gitar pada nomor-nomor ballad (sehingga
terdengar amat kentara) dan seberapapun Lars Ulrich yang memainkan drum dengan
ketukan semaunya, tidaklah menjadikan Metallica kalah kualitas dari Megadeth.
Karakter vokal
Hetfield masih sulit ditandingi vokalis band manapun. Metallica juga menelurkan
Black Album, album yang bukan hanya super sukses secara komersial, tapi juga
membantu memperkenalkan genre Metal kepada penggemar musik genre lain di
seluruh dunia. Banyak penggemar metal (termasuk saya) yang kemudian turut
mendengarkan Megadeth dan band metal lain setelah mendengarkan Black Album.
Inilah yang
menjadikan Metallica seakan lebih terdengar berkarakter dan berpengaruh,
terlepas dari nyaris sempurnanya Megadeth dalam bermusik. Vokal Hetfield,
notasi-notasi yang mereka mainkan dan keberanian mereka untuk memodifikasi
musik (walaupun banyak berkompromi dan menanggalkan akar), namun membawa mereka
pada level kesuksesan komersial yang berada sedikit di atas Megadeth.
So, who wins? I still don’t know.