Semalam,
saya yang sudah cukup mengantuk menyempatkan diri untuk menonton sebuah
talkshow di sebuah stasiun tv. Kebetulan, para bintang tamu yang hadir yaitu
para vokalis band dari era 90an, menarik perhatian saya untuk menonton.
Pembicaraan
antara host dengan narasumber awalnya berlangsung agak text book. Tapi lama kelamaan, para narasumber dengan
pengetahuannya yang mumpuni di bidang musik memberi saya pengetahuan baru yang
cukup menggelitik. Menggelitik untuk pertanyaan sesuai dengan judul entri
tulisan ini.
Sebelum
era sekarang, dunia musik seolah terbagi menjadi dua periode besar.Periode
pertama adalah periode pertunjukan di mana gedung pertunjukan musik kerap
dipenuhi penonton yang ingin menyaksikan sebuah konser musik. Pada masa itu,
konser musik sudah berpadu dengan dunia pertunjukan sehingga hal-hal teknis
semacam lighting, backing vocal, koreo dan sejenisnya juga
sudah digarap –layaknya sebuah pertunjukan spektakuler.
Namun
pertunjukan itu menampilkan seorang artis yang memainkan lagu orang lain, bukan
lagunya sendiri. Elvis Presley yang notabene menjadi artis paling terkenal saat
itu tidaklah memainkan lagunya sendiri, melainkan lagu yang orang lain tulis
untuknya. Elvis, bagaimanapun tetaplah
seorang musisi besar.Ia bernyanyi dan bermain gitar sama bagusnya, dan tentunya
tampil di panggung dengan penuh kharisma. Ia adalah ikon saat itu. Elvis
menandai sebuah era.
Setelah
era Elvis berlalu, muncullah sekelompok pemuda dari Liverpool, Inggris yang
kemudian membentuk sebuah band bernama The Beatles. Bedanya dengan Elvis, mereka
menuliskan lagunya sendiri. Lirik, melodi, harmoni, ekspresi, hingga pembagian
vokal juga mereka garap.Alih-alih meminta bantuan sekelompok penyanyi untuk
menjadi backing vocal, mereka
–seperti telah disinggung- membagi-bagi part vokal dalam lagu-lagu
mereka. Jadilah sebuah band yang menampilkan lagu mereka sendiri, lalu
menggabungkannya dengan unsur pertunjukan.
Apa
yang dilakukan oleh The Beatles saat itu ternyata disukai oleh publik. Hal ini
lantas menjadi sebuah revolusi di industri musik. The Beatles kemudian seperti
kita ketahui memberi pengaruh kepada nyaris seluruh musisi pop setelahnya. Nada,
notasi dan pola dari lagu-lagu pop maupun rock yang kita dengar sekarang bisa
dibilang terinsipirasi dari Paul McCartney dkk.
Kemudian,
band-band maupun penyanyi-penyanyi setelah Beatles yang mengembangkan apa yang dimulai.
Pada era 70an, para musisi dengan bakat-bakat luar biasa kemudian menciptakan tehnik-tehnik
baru sesuai dengan instrumen yang mereka kuasai, lalu menciptakan standar bahwa
seperti inilah musik harus digarap. Lagu demi lagu diproduksi dengan amat
serius, penuh cita rasa dan ekspresi yang maksimal.
Tehnik
bernyanyi, mencipta lagu, kostum dan lainnya kemudian semakin dieksplorasi.Skill dan taste dari para musisi menjadikan lagu-lagu semakin variatif. Musik
kemudian berkembang di bawah naungan industri kapitalis yang makin menyebarkan
pengaruh ini ke seluruh dunia. Dari sekadar kegiatan bernyanyi di kamar mandi
hingga menjadi industri yang amat masif. Musik pun bukan hanya sekadar trend,
pertunjukan atau ekspresi semata, melainkan sudah menjadi gaya hidup dan
budaya.
Kini
adalah masa di mana penikmat musik (dan musisi?) seperti lelah untuk menggarap
musik dengan level keseriusan dan kesempurnaan seperti generasi 70an atau 80an.
Industri musik pun seperti turut mengamini bahwa pasar telah jenuh dengan
musik-musik yang ‘berat’. Musik-musik yang lebih sederhana tidak masalah selama
lirik yang dinyanyikan mudah diingat dan dipahami, juga para artisnya
berpenampilan menarik.
Seakan
sejalan dengan budaya instan dan serba cepat, kebanyakan orang juga tidak ambil
pusing dengan kualitas lagu. (Mungkin) mereka kini mendengarkan lagu di tengah
aktivitas yang mereka lakukan, jadi ya asalkan lagu-lagu tersebut membangkitkan
mood untuk bekerja, ya tidak jadi soal. Lagu-lagu maupun musisi-musisi tersebut
begitu mudahnya timbul semudah mereka tenggelam.