Perumahan atau
tempat tinggal adalah kebutuhan pokok, yang sayangnya makin hari makin mahal. Rasanya
usaha kita sudah keras, kerja lembur sudah dilakukan, penghasilan juga terus
meningkat. Namun, peningkatan harga rumah seperti tidak terkendali belakangan
ini, sehingga seberapapun tingginya penghasilan kita, laju kenaikan harga properti
sulit dikejar.
Saya pernah
membaca di sebuah artikel. Sepasang suami istri, dua-duanya bekerja, memiliki
penghasilan gabungan 7 juta rupiah per bulan. Mereka sudah 10 tahun menikah,
dan belum bisa memiliki rumah sendiri. Dengan asumsi pengeluaran rumah tangga 3
juta per bulan, gaya hidup tidak hedon, tidak pernah eat for fun dan lain-lain, rumah masih belum bisa terbeli.
“Harga rumah untuk kelas menengah hingga
menengah kebawah berkisar 200 hingga 700 juta. Uang muka minimal 50 juta plus
administrasi dan lain-lain 20 juta. Saat ini, mencapai 70 juta saja sulit.” Begitu ucap mereka, juga terkait
kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan kewajiban DP rumah menjadi minimal 30%
khusus untuk rumah diatas tipe 70m persegi.
Terlalu picik
dan kurang sensitif rasanya jika kita menghakimi orang itu dengan mengatakan “Salah sendiri kenapa gajinya cuma bisa
segitu?” Padahal sebuah negara memang punya kewajiban untuk menyediakan
perumahan yang layak bagi rakyatnya, ketimbang terus membela kepentingan pihak tertentu
dalam hal ini.
Properti Untuk Investasi, atau Spekulasi
Dari dulu,
investasi dalam bentuk properti selalu jadi primadona. Harga tanah dan bangunan
yang selalu naik dan tidak pernah turun menjadi alasan banyak orang untuk
berinvestasi disini, meski properti bukanlah liquid asset yang mudah dijual. Kisah orang tua yang membelikan
rumah bagi anaknya yang masih kecil sudah banyak kita dengar, hal itu mereka
lakukan untuk berjaga-jaga jika harga properti melangit dan anak mereka tidak
mampu membelinya. Pendeknya, mereka melakukan hedging pada properti yang mereka beli sekarang.
Kini, investasi
orang-orang makin beragam seiring banyaknya proyek pembangunan
apartemen-apartemen di pusat kota. Apartemen-apartemen itu dibeli untuk kemudian
dijual lagi, atau disewakan. Tidak untuk ditinggali. Para developer jelas
senang dengan fenomena ini karena proyek mereka pasti untung besar, seperti
diberitakan disini.
Para investor
baik kelas berat maupun kelas teri ini jelas mengharapkan keuntungan, dan bukan
tidak mungkin pembeli rumah mereka berikutnya akan membeli rumah itu dengan
tujuan yang sama, yaitu dijual kembali. Harga yang meningkat juga tidak mereka
pikirkan, akibatnya investasi berubah menjadi spekulasi. Aktivitas seperti
inilah yang juga menjadi salah satu penyebab harga rumah yang kian melambung
dan cenderung tidak realistis.
Dalam hal ini,
developer tentu tidak ada beban karena meskipun terjadi kredit macet yang
berakibat penyitaan, para developer ini telah lebih dulu mendapat dana dari
bank saat membangun proyek. Akan terjadi krisis ekonomi jika bank tidak mampu
menjual properti yang mereka sita karena harganya sudah terlalu tinggi dan
tidak ada yang mampu membelinya karena jauh diatas harga sebenarnya.
Bubble Property
di Indonesia?
Pada fenomena bubble property, terjadi kenaikan harga
yang tak terkendali sehingga properti tidak mampu dibeli oleh masyarakat. Akibatnya,
akan banyak kredit macet. Setelah itu, kemudian harga properti mengalami crash alias jatuh tiba-tiba yang
mengakibatkan pihak-pihak seperti pengembang dan kreditor (bank) ikut terpukul.
Dengan kata lain, perekonomian akan ikut hancur.
Bank dunia
beberapa waktu lalu pernah mengemukakan kekhawatiran terkait ancaman bubble
property di Indonesia. Mereka melihat pada dua faktor, yaitu pertama
adalah kenaikan harga apartemen yang mencapai 45% per Desember 2012, yang juga
diikuti oleh sektor perkantoran dan industri. Kedua, tingkat pertumbuhan kredit
apartemen yang juga meningkat, sehingga mendorong kenaikan harga properti.
Saya bukanlah
seorang ekonom, namun banyak pihak yang meyakini bahwa kekhawatiran Bank Dunia
tidak beralasan. Mereka tidak melihat faktor solidnya ekonomi makro di
Indonesia, juga rasio kredit properti dan kredit nasional yang masih
dalam batas normal.
Peningkatan
jumlah kelas menengah yang merupakan konsumen properti juga berpengaruh untuk
mencegah terjadinya bubble property. Kelas
menengah dengan kemampuan konsumsi dan investasi yang tinggi akan selalu
menjamin stabilitas demand-supply sektor
perumahan. Artinya selama properti masih banyak pembeli, keadaan masih aman.
Benarkah
demikian?
Ironi dan paradoks
akhirnya melanda hidup banyak orang. Banyak apartemen atau rumah kosong dimana
pemiliknya berharap untuk mendapat untung dari penjualan atau persewaan,
sementara di lain sisi banyak orang yang sulit memiliki rumah meski sudah
bertahun-tahun mengumpulkan uang. Keadaan sekarang memang seperti mendukung
yang kaya makin kaya, yang miskin makin susah.
Meski banyak
pihak yang mengatakan bahwa membicarakan bubble
property adalah sesuatu yang berlebihan, namun potensi kesana jelas ada. Boleh
saja harga properti di Indonesia jauh lebih rendah dibanding Singapura maupun Hong
Kong misalnya, namun perbandingan tadi menjadi sia-sia mengingat disparitas
pendapatan perkapita Indonesia dengan kedua negara tersebut masih menganga.
Catat,
pendapatan perkapita Indonesia 3 ribuan dollar AS, sementara Singapura 50
ribuan, alias nyaris 20 kali lipat dari Indonesia. Hal ini jelas berarti bahwa
daya beli orang Indonesia masih jauh dibawah Singapura. Jangan sekadar melihat
pada fenomena pertumbuhan kelas menengah semata, namun lihat pula banyak orang sudah
termasuk dalam kategori kelas menengah yang masih kesulitan memiliki rumah,
apalagi kelas bawah.
Akan makin sulit
memperoleh rumah ketika para pengembang lebih memilih untuk mengerjakan proyek
anjangsana alias proyek apartemen mewah berharga miliaran per unit, ketimbang
menyediakan hunian murah seperti rumah susun untuk menjamin ketersediaan tempat
tinggal bagi kalangan yang lebih membutuhkan.
Melihat fenomena
ini, kekhawatiran Bank Dunia bukanlah omong kosong. Sesuatu harus dilakukan untuk
mengendalikan harga properti dan merumuskan kebijakan disintensif pada praktek spekulasi
di bidang properti.