Senin, 09 Januari 2017

Tidak Semua Public Enemy Patut Dibenci

Di mana saja kita berkecimpung dengan sesama makhluk hidup bernama manusia, hampir pasti kita akan menemukan sosok yang tidak disukai orang-orang, atau biasa kita sebut dengan istilah si public enemy. Sebabnya pun macam-macam, dari yang objektif dan prinsipil hingga ke hal-hal kecil yang biasanya sangat subjektif. 

Lalu, apakah kita lantas harus ikut-ikutan membenci dia?

Biasanya, si public enemy ini memiliki kelakuan yang berbeda dari yang lain, dan cenderung negatif. Bisa jadi, ia suka berbohong, suka mencuri, suka menghina orang lain, suka minjem duit (tapi gak suka bayar), suka marah-marahin orang di tempat umum, suka pamer, narsis akut, kasar, cabul, pelit, rakus dan berbagai perilaku sejenis yang bersinggungan dengan perilaku seorang kriminal atau pengidap gangguan kejiwaan berskala rendah hingga menengah. Kalau memang seseorang dibenci karena hal-hal seperti itu, ya wajar saja jika kita ikut berhati-hati. 

Tapi di lingkungan sekitar yang kerap saya temukan, tidak jarang sosok public enemy ini hadir hanya karena opini subjektif dari beberapa orang yang kemudian diikuti secara berjamaah. Hanya karena dia beda, maka dia tidak disukai. Opini ini kemudian mengalami eskalasi ke tahap bully hingga kemudian terdoktrinlah hal-hal jelek tentang si public enemy ini di kepala orang-orang lalu kemudian kita akan berperilaku tidak adil kepadanya. Imbasnya, makhluk malang ini akan dikucilkan. Tidak ada yang mau mengajaknya makan siang, minum kopi bersama atau pergi ke acara-acara sosial lain.

Sayangnya, tidak semua opini subjektif tentang si public enemy ini benar adanya. Terjadilah fenomena knee-jerk  reaction. Orang-orang kemudian latah ikut-ikutan membenci padahal ia kenal baik dengan orang ini, atau tidak melihatnya dari sisi yang berbeda.

Mungkin memang sudah sifat dasar manusia untuk melepas kacamata objektifnya ketika sudah terlanjur dipengaruhi opini orang lain. Katakanlah seseorang menjadi public enemy gara-gara ia terkenal pelit, maka kemungkinan besar, si pemberi opini itu akan mulai mengamati kebiasaan-kebiasaan lain dari si public enemy untuk memberi bahan bakar bully. Contoh lain, misalnya ada seseorang yang tidak disukai di dunia kerja karena hasil kerjanya memang kurang bagus. Yang biasanya terjadi, si korban bakal dikomentari hal-hal tidak ada hubungannya dengan kinerja profesionalnya sebagai pekerja. Seolah-olah, sosok yang dibenci ini harus memiliki atribut lengkap untuk semakin dibenci dan dikucilkan, dan seolah-olah si pemberi opini ini adalah sosok panutan nan sempurna tiada banding.

Dari pengalaman saya sih, kenyataannya tidak semua public enemy itu betul-betul patut dibenci dan dijauhi. Mengapa kita tidak mencoba menilai orang secara menyeluruh, bukan hanya dari satu-dua tindak-tanduk yang diperlihatkannya. Apa yang ditunjukkan orang dalam keseharian di tempatnya bekerja atau bersekolah, biasanya tidaklah mencerminkan kehidupan seseorang yang sebetulnya. Setiap orang punya rahasia dan cerita hidup masing-masing yang tidak semua orang tahu, dan siapa tahu cerita itulah yang kemudian membentuk perilakunya sekarang. 

Manusia memang sosok yang kompleks, dan sayangnya tidak semua orang mau menyelami kompleksitas itu. Kebanyakan dari kita memilih menjadi pribadi yang malas melakukan verifikasi dan malas meneliti. Kita memilih cari aman dan mengikuti suara mayoritas, mengikuti kata si anu atau si itu, yang belum tentu kredibel. 

Siapalah kita ini yang merasa berhak membenci orang lain, padahal kita tidak terlalu kenal dengannya dan tidak tahu cerita hidupnya. Siapalah kita yang penuh dosa ini untuk menghakimi orang lain tanpa dasar, padahal siapa tahu di kemudian hari orang yang kita benci itu tahu-tahu menjadi penolong kita di saat kita butuh pertolongan.