Seperti halnya gerhana, aku lebih
banyak meredup. Sikapku tertutup dan aku kurang suka bergaul, berkumpul,
berolahraga, bernyanyi, tampil di depan umum, apalagi bergunjing. Aku jarang berbicara hal yang tidak penting, dan
kebanyakan aku hanya mau membicarakan topik yang aku kuasai.
Hal yang paling kusuka adalah
komputer. Di depan monitor tabung, aku bisa tahan untuk duduk berjam-jam. Orang
tuaku sering menyuruh berhenti sih, sekadar mencari udara segar, kata mereka,
tapi seringkali tak kuhiraukan, dan lama kelamaan mereka bosan.
Selepas lulus SMA dengan tanpa
kesan berarti, aku melanjutkan kuliah ke jurusan teknik informatika. Ini adalah
jurusan impianku sedari kecil. Bagaimana tidak, komputer sudah seperti hidupku saja.
Di depan layar tabung yang kini berubah menjadi layar datar sentuh, aku seperti
bisa melakukan apa saja. Aku seperti bisa melihat dunia.
Menjadi seorang ahli informatika
memang menyenangkan. Kamu bisa memilih jalur apapun. Jika ingin tahu bagaimana
cara kerja sebuah sistem yang sudah rapi, kamu bisa belajar di perusahaan besar. Kamu juga
bisa menjadi konsultan, pembuat program atau teknisi. Aku pernah mencoba
bekerja di sebuah perusahaan besar, tapi baru dua bulan aku sudah tidak tahan.
Aku tidak cocok bekerja dalam tim, juga hal birokratis dan sistematis yang
berlaku dalam perusahaan.
Keluar dari pekerjaan ini adalah
pilihanku. Aku kemudian kembali ke kampus untuk mengajar. Sayangnya, kampusku
hanya membolehkan dosen bergelar minimal S2 untuk bisa mengajar mahasiswa S1.
Aku pun hanya bisa menjadi asisten dosen. Ya sudahlah kuterima saja.
Menjadi seorang asisten dosen
(asdos), aku punya waktu luang lebih banyak. Eits, bukan berarti asdos itu
gak ada kerjaannya ya, tapi bukannya mau nyombong nih, seluruh pekerjaan
perintilan administrasi selalu bisa kuselesaikan dengan cepat. Sang dosen tetap
pun sering memberikan pujian, meski mereka tidak bisa melakukan apapun untuk
mengubah nasibku.
Tidak mengapa, pikirku. Aku bukanlah pecinta uang. Sejak kecil, hidupku
memang tidak macam-macam. Aku tidak pernah menikmati kemewahan, maklum saja
ayahku hanya karyawan biasa, dan ibuku tidak bekerja. Tapi hebatnya, mereka
tidak memintaku untuk jadi orang kaya. Mereka hanya ingin aku hidup jujur, tidak bermewah-mewahan,
tidak pelit, tidak mencela, tidak mencerca dan selalu berusaha berbuat hal yang berguna bagi orang lain. Dalam bekerja, ayahku selalu memintaku melakukan apa yang kusenangi, tapi tentunya yang aku ahli mengerjakannya.
“Kalau sudah senang, pekerjaan sudah seperti hobi saja, bukan lagi rutinitas. Tapi kamu harus kompeten!” ujar ayah.
Aku terbiasa memakan nasi kemarin,
telur dadar yang dibagi-bagi sekeluarga, makan lauk tempe yang dimakan berbarengan
dengan tempe (misal, tempe orek dengan tempe goreng atau tempe oseng) dan
sejenisnya. Ayah dan ibu tidak pernah mengajariku kecintaan pada kue ulang
tahun, mainan, pusat perbelanjaan atau pusat permainan anak-anak. “This whole
world is your playground, my son!” begitu kata ayahku setiap saat.
Oh iya, dalam riset kecil-kecilan
yang kulakukan selama senggang mengajar, aku mulai mempelajari
aplikasi-aplikasi mini. Itu lho, aplikasi yang sering kita gunakan untuk
memesan makanan, mengetahui letak restoran terdekat, atau mengetahui orang
sedang makan apa atau jalan ke mana. Aku melihat peluang, dan akhirnya
memberanikan diri untuk membuat aplikasi berdasarkan pesanan. Tapi, aku tidak
mau menghargainya mahal-mahal. Memang sih membuatnya itu sulit dan amat menyita
waktu, belum lagi berapa bungkus rokok dan kopi yang kuhabiskan dalam membuat
satu aplikasi. Tapi karena aplikasi yang dibuat memang tujuannya untuk
mempermudah hidup orang, buat apa aku mengambil keuntungan terlalu besar? Ah,
lagi-lagi prinsip lamaku.
Dalam bekerja, aku sering
sendirian. Aku butuh ruangan sepi yang jauh dari orang-orang. Jauh dari suara
orang-orang yang hobi mengobrol dan bergosip pada jam kerja. Jika mentok, aku bisa bertanya kepada komunitas pencinta teknologi
informasi, atau membaca buku, atau mencari sendiri via internet. Di zaman
seperti ini, kamu seperti bisa melakukan semua sendiri. Ehm, tidak semuanya
sih.
Jadi, beginilah hidupku sekarang.
Membuat aplikasi-aplikasi sederhana, dari aplikasi billing kasir hingga efek
gitar. Dari kuesioner evaluasi dosen sampai games teka teki silang. Lumayan uangnya
bisa kutabung, sebagian kuberikan kepada orang tua. Buatku, jumlahnya sudah
sangat besar mengingat konsumsiku yang sehari-hari tidak banyak.
Hobiku makan di warteg, paling
keren di warung sate kambing. Ngopi? Ah ngapain ke kafe sejuk yang mahal jika lebih
enak nyeduh kopi instan di kamar yang kacanya dibiarkan terbuka. Travelling? Aku
tidak terlalu suka.
Saat iseng, aku membuka
salah satu akun media sosial. Beberapa teman yang kukenal mengunggah foto-foto
mereka. Di tempat kerja, di rumah, di tempat berlibur, di pusat perbelanjaan,
di restoran, di mana saja. Bersama siapa saja, melakukan apa saja. Ada pula yang terus menerus membagi artikel parenting. Kuabaikan
saja karena tidak ada yang menarik.
Lalu perhatianku terpusat pada postingan salah seorang teman lama. Ia berdiri di samping sebuah mobil SUV besar, yang kurasa sih miliknya. Lalu ketika melihat koleksi fotonya yang lain, terpampanglah begitu banyak pose selfie dari dalam mobil itu. Sambil menyetir, memakai kacamata rayben, memasang wajah (sok) cool… Ah aku tidak tahan untuk keluar dari profilnya.
Lalu perhatianku terpusat pada postingan salah seorang teman lama. Ia berdiri di samping sebuah mobil SUV besar, yang kurasa sih miliknya. Lalu ketika melihat koleksi fotonya yang lain, terpampanglah begitu banyak pose selfie dari dalam mobil itu. Sambil menyetir, memakai kacamata rayben, memasang wajah (sok) cool… Ah aku tidak tahan untuk keluar dari profilnya.
Aku melihat temanku yang lain. Ia
memasang foto rumahnya, juga anak-anaknya, juga seluruh tempat berliburnya. Sepertinya ia ingin semua orang tahu seluruh aspek kehidupannya. Lalu ada yang berdebat soal politik, padahal perkataan mereka tidak
ada isinya sama sekali. Lalu ada yang gemar menasihati dan memberi motivasi. Mengapa mereka sebegitu butuh perhatian sih? Aku hanya memandangnya dengan datar, lalu kembali menutup aplikasi media sosial
berciri khas warna biru ini.
Media sosial berlambang burung
yang kemudian kubuka. Ternyata isinya sebagian besar hanyalah keluhan-keluhan
dari beberapa teman yang kukenal. Tentang bagaimana tempat kerjanya yang tidak
enak meski gajinya besar, tentang mahalnya biaya bensin untuk menyokong pergaulan mereka. Ah, orang-orang ini.
Apakah mereka tidak pernah bersyukur atas apa yang mereka dapatkan? Yang kulihat, hidup mereka sudah sukses dan mapan, istri/suami mereka rupawan, anak-anak mereka lucu.. Tapi mengapa curhatan mereka seperti orang yang hidupnya penuh penderitaan?
Kemudian aku membuka akun media
sosial yang lain, kali ini yang berciri khas warna merah. Ah tidak.. ternyata semakin tidak keruan saja. Foto roti bakar aja kok dipajang. Lalu semua orang dengan drama
kehidupannya yang aku sendiri tidak mau tahu. Ah sudahlah, percuma aku membuka
tiga akun tadi. Aku pun membatalkan niat untuk membuka akun penyimpan foto-foto.
Hingga aku merenung, mencoba
membandingkan hidupku yang tenang dan terlalu sederhana ini dengan hidup mereka yang serba wah dan sehari-hari dijalani dengan drama. Memang, tidak ada
yang bisa dibandingkan, karena apa yang kuhadapi dan mereka hadapi jelas berbeda.
Tapi setidaknya aku bersyukur bahwa aku hidup tidak merasa perlu untuk meneyenangkan orang lain dan tidak perlu memamerkan pencapaianku untuk memuaskan diri. Aku juga tidak pernah membandingkan kehidupanku dengan kehidupan orang lain. Dan bagiku, uang bukanlah hal yang memperbudakku dalam melangkah.
Aku tidak punya banyak harta, tapi tidak punya hutang. Aku memang belum punya anak dan pasangan, tapi hei, jalanku masih panjang.... Semua ada gilirannya, semua ada periode naik dan turunnya masing-masing. Ada yang sukses di usia muda, ada pula yang baru sukses di usia senja. Bukan berarti hidupmu lebih baik dariku, dan juga sebaliknya. Kita semua menunggu giliran, hanya saja kita harus bersiap dan memantaskan diri untuk siap saat nomor kita dipanggil."
Tapi setidaknya aku bersyukur bahwa aku hidup tidak merasa perlu untuk meneyenangkan orang lain dan tidak perlu memamerkan pencapaianku untuk memuaskan diri. Aku juga tidak pernah membandingkan kehidupanku dengan kehidupan orang lain. Dan bagiku, uang bukanlah hal yang memperbudakku dalam melangkah.
Aku tidak punya banyak harta, tapi tidak punya hutang. Aku memang belum punya anak dan pasangan, tapi hei, jalanku masih panjang.... Semua ada gilirannya, semua ada periode naik dan turunnya masing-masing. Ada yang sukses di usia muda, ada pula yang baru sukses di usia senja. Bukan berarti hidupmu lebih baik dariku, dan juga sebaliknya. Kita semua menunggu giliran, hanya saja kita harus bersiap dan memantaskan diri untuk siap saat nomor kita dipanggil."
(Terbangun)
Aduh, mimpi ini lagi.