Senin, 11 April 2016

Semua Ada Gilirannya

"Namaku Gerhana. Ya, Gerhana. Aku lahir tepat pada peristiwa gerhana matahari total tahun 1983 ketika tetangga-tetanggaku bersembunyi di rumah karena himbauan pemerintah. Aku menolak bersembunyi kala itu, dan memilih muncul ke alam fana bernama dunia. Himbauan melalui bapak Menteri Penerangan tidak aku gubris, walaupun informasi yang diberikannya adalah atas petunjuk Bapak Presiden.


Seperti halnya gerhana, aku lebih banyak meredup. Sikapku tertutup dan aku kurang suka bergaul, berkumpul, berolahraga, bernyanyi, tampil di depan umum, apalagi bergunjing. Aku jarang berbicara hal yang tidak penting, dan kebanyakan aku hanya mau membicarakan topik yang aku kuasai.


Hal yang paling kusuka adalah komputer. Di depan monitor tabung, aku bisa tahan untuk duduk berjam-jam. Orang tuaku sering menyuruh berhenti sih, sekadar mencari udara segar, kata mereka, tapi seringkali tak kuhiraukan, dan lama kelamaan mereka bosan. 


Selepas lulus SMA dengan tanpa kesan berarti, aku melanjutkan kuliah ke jurusan teknik informatika. Ini adalah jurusan impianku sedari kecil. Bagaimana tidak, komputer sudah seperti hidupku saja. Di depan layar tabung yang kini berubah menjadi layar datar sentuh, aku seperti bisa melakukan apa saja. Aku seperti bisa melihat dunia.


Menjadi seorang ahli informatika memang menyenangkan. Kamu bisa memilih jalur apapun. Jika ingin tahu bagaimana cara kerja sebuah sistem yang sudah rapi, kamu bisa belajar di perusahaan besar. Kamu juga bisa menjadi konsultan, pembuat program atau teknisi. Aku pernah mencoba bekerja di sebuah perusahaan besar, tapi baru dua bulan aku sudah tidak tahan. Aku tidak cocok bekerja dalam tim, juga hal birokratis dan sistematis yang berlaku dalam perusahaan. 


Keluar dari pekerjaan ini adalah pilihanku. Aku kemudian kembali ke kampus untuk mengajar. Sayangnya, kampusku hanya membolehkan dosen bergelar minimal S2 untuk bisa mengajar mahasiswa S1. Aku pun hanya bisa menjadi asisten dosen. Ya sudahlah kuterima saja.


Menjadi seorang asisten dosen (asdos), aku punya waktu luang lebih banyak. Eits, bukan berarti asdos itu gak ada kerjaannya ya, tapi bukannya mau nyombong nih, seluruh pekerjaan perintilan administrasi selalu bisa kuselesaikan dengan cepat. Sang dosen tetap pun sering memberikan pujian, meski mereka tidak bisa melakukan apapun untuk mengubah nasibku.


Tidak mengapa, pikirku. Aku bukanlah pecinta uang. Sejak kecil, hidupku memang tidak macam-macam. Aku tidak pernah menikmati kemewahan, maklum saja ayahku hanya karyawan biasa, dan ibuku tidak bekerja. Tapi hebatnya, mereka tidak memintaku untuk jadi orang kaya. Mereka hanya ingin aku hidup jujur, tidak bermewah-mewahan, tidak pelit, tidak mencela, tidak mencerca dan selalu berusaha berbuat hal yang berguna bagi orang lain. Dalam bekerja, ayahku selalu memintaku melakukan apa yang kusenangi, tapi tentunya yang aku ahli mengerjakannya.


“Kalau sudah senang, pekerjaan sudah seperti hobi saja, bukan lagi rutinitas. Tapi kamu harus kompeten!” ujar ayah.


Aku terbiasa memakan nasi kemarin, telur dadar yang dibagi-bagi sekeluarga, makan lauk tempe yang dimakan berbarengan dengan tempe (misal, tempe orek dengan tempe goreng atau tempe oseng) dan sejenisnya. Ayah dan ibu tidak pernah mengajariku kecintaan pada kue ulang tahun, mainan, pusat perbelanjaan atau pusat permainan anak-anak. “This whole world is your playground, my son!” begitu kata ayahku setiap saat.


Oh iya, dalam riset kecil-kecilan yang kulakukan selama senggang mengajar, aku mulai mempelajari aplikasi-aplikasi mini. Itu lho, aplikasi yang sering kita gunakan untuk memesan makanan, mengetahui letak restoran terdekat, atau mengetahui orang sedang makan apa atau jalan ke mana. Aku melihat peluang, dan akhirnya memberanikan diri untuk membuat aplikasi berdasarkan pesanan. Tapi, aku tidak mau menghargainya mahal-mahal. Memang sih membuatnya itu sulit dan amat menyita waktu, belum lagi berapa bungkus rokok dan kopi yang kuhabiskan dalam membuat satu aplikasi. Tapi karena aplikasi yang dibuat memang tujuannya untuk mempermudah hidup orang, buat apa aku mengambil keuntungan terlalu besar? Ah, lagi-lagi prinsip lamaku.


Dalam bekerja, aku sering sendirian. Aku butuh ruangan sepi yang jauh dari orang-orang. Jauh dari suara orang-orang yang hobi mengobrol dan bergosip pada jam kerja. Jika mentok, aku bisa bertanya kepada komunitas pencinta teknologi informasi, atau membaca buku, atau mencari sendiri via internet. Di zaman seperti ini, kamu seperti bisa melakukan semua sendiri. Ehm, tidak semuanya sih.


Jadi, beginilah hidupku sekarang. Membuat aplikasi-aplikasi sederhana, dari aplikasi billing kasir hingga efek gitar. Dari kuesioner evaluasi dosen sampai games teka teki silang. Lumayan uangnya bisa kutabung, sebagian kuberikan kepada orang tua. Buatku, jumlahnya sudah sangat besar mengingat konsumsiku yang sehari-hari tidak banyak. 


Hobiku makan di warteg, paling keren di warung sate kambing. Ngopi? Ah ngapain ke kafe sejuk yang mahal jika lebih enak nyeduh kopi instan di kamar yang kacanya dibiarkan terbuka. Travelling? Aku tidak terlalu suka.


Saat iseng, aku membuka salah satu akun media sosial. Beberapa teman yang kukenal mengunggah foto-foto mereka. Di tempat kerja, di rumah, di tempat berlibur, di pusat perbelanjaan, di restoran, di mana saja. Bersama siapa saja, melakukan apa saja. Ada pula yang terus menerus membagi artikel parenting. Kuabaikan saja karena tidak ada yang menarik. 

Lalu perhatianku terpusat pada postingan salah seorang teman lama. Ia berdiri di samping sebuah mobil SUV besar, yang kurasa sih miliknya. Lalu ketika melihat koleksi fotonya yang lain, terpampanglah begitu banyak pose selfie dari dalam mobil itu. Sambil menyetir, memakai kacamata rayben, memasang wajah (sok) cool… Ah aku tidak tahan untuk keluar dari profilnya.


Aku melihat temanku yang lain. Ia memasang foto rumahnya, juga anak-anaknya, juga seluruh tempat berliburnya. Sepertinya ia ingin semua orang tahu seluruh aspek kehidupannya. Lalu ada yang berdebat soal politik, padahal perkataan mereka tidak ada isinya sama sekali. Lalu ada yang gemar menasihati dan memberi motivasi. Mengapa mereka sebegitu butuh perhatian sih? Aku hanya memandangnya dengan datar, lalu kembali menutup aplikasi media sosial berciri khas warna biru ini.


Media sosial berlambang burung yang kemudian kubuka. Ternyata isinya sebagian besar hanyalah keluhan-keluhan dari beberapa teman yang kukenal. Tentang bagaimana tempat kerjanya yang tidak enak meski gajinya besar, tentang mahalnya biaya bensin untuk menyokong pergaulan mereka. Ah, orang-orang ini. Apakah mereka tidak pernah bersyukur atas apa yang mereka dapatkan? Yang kulihat, hidup mereka sudah sukses dan mapan, istri/suami mereka rupawan, anak-anak mereka lucu.. Tapi mengapa curhatan mereka seperti orang yang hidupnya penuh penderitaan?


Kemudian aku membuka akun media sosial yang lain, kali ini yang berciri khas warna merah. Ah tidak.. ternyata semakin tidak keruan saja. Foto roti bakar aja kok dipajang. Lalu semua orang dengan drama kehidupannya yang aku sendiri tidak mau tahu. Ah sudahlah, percuma aku membuka tiga akun tadi. Aku pun membatalkan niat untuk membuka akun penyimpan foto-foto.


Hingga aku merenung, mencoba membandingkan hidupku yang tenang dan terlalu sederhana ini dengan hidup mereka yang serba wah dan sehari-hari dijalani dengan drama. Memang, tidak ada yang bisa dibandingkan, karena apa yang kuhadapi dan mereka hadapi jelas berbeda. 

Tapi setidaknya aku bersyukur bahwa aku hidup tidak merasa perlu untuk meneyenangkan orang lain dan tidak perlu memamerkan pencapaianku untuk memuaskan diri. Aku juga tidak pernah membandingkan kehidupanku dengan kehidupan orang lain. Dan bagiku, uang bukanlah hal yang memperbudakku dalam melangkah. 

Aku tidak punya banyak harta, tapi tidak punya hutang. Aku memang belum punya anak dan pasangan, tapi hei, jalanku masih panjang.... Semua ada gilirannya, semua ada periode naik dan turunnya masing-masing. Ada yang sukses di usia muda, ada pula yang baru sukses di usia senja. Bukan berarti hidupmu lebih baik dariku, dan juga sebaliknya. Kita semua menunggu giliran, hanya saja kita harus bersiap dan memantaskan diri untuk siap saat nomor kita dipanggil."

(Terbangun)
Aduh, mimpi ini lagi.