Ada magis dalam film Ada Apa
Dengan Cinta edisi pertama tahun 2002 (menyebutnya demikian untuk membedakan
dengan short movie tahun 2014 dan sekuel tahun 2016). Ketika itu, saya baru menjalani
tahun pertama kuliah. Diputarnya film AADC serentak nyaris di seluruh bioskop
Jakarta menyedot animo banyak penonton. Orang kantoran, mahasiswa, anak sekolah
menontonnya. Bioskop pun penuh sesak walaupun pengelola sudah menyediakan empat studio untuk
memutar film yang dibintangi Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ini.
Sebagai mahasiswa yang kampusnya
berada di Depok, saya dan teman-teman tidak mau tertinggal euforia. Sayangnya
saat itu belum ada tuh Margo City dan Depok Town Square (Detos), yang ada
bioskopnya. Di Depok, baru ada Studio 21 Plaza Depok, yang film-filmnya sangat out of date. Tapi, kami pantang
menyerah. Demi melihat Dian yang gorgeous
itu, kami rela bolos pada sebuah jam pelajaran kuliah untuk nonton bareng di
sebuah bioskop di Jakarta Selatan. Sebegitunya!
Ketika itu, kami pergi
beramai-ramai. Mungkin berenam atau bertujuh, saya lupa jumlah pastinya. Tapi
yang pasti: cowok semua. Kasihan ya. Ah tidak mengapa, daripada ngajak teman
cewek tapi nantinya kami cuekin karena perhatian kami terfokus pada Geng Cinta, yang punya prinsip ala pendukung parpol "Musuh salah satu di antara kita adalah musuh kita semua"
Sebenarnya, cerita di film AADC
14 tahun silam hanya seputaran drama remaja saja. Kisah percintaan antara Rangga, cowok cool dan misterius tapi puitis dan pujangga dengan
Cinta, cewek yang cantik dan populer. Ada pergolakan, pertentangan, friksi yang
timbul. Semua masih mudah dicerna dan biasa-biasa saja. Tapi banyak detil-detil
di film yang harus diakui, begitu berkesan. Dialog, puisi, lagu-lagu, juga
adegan-adegan lucunya.
“Salah gue? Salah temen-temen
gue?!” Punchline!
“Basi! Madingnya udah mau
terbit!” Unforgettable!
“Pergi sekolah sama-sama, nonton konser sama-sama. Kamu kaya orang gak punya
pendirian aja!” Judes tapi
keren!
Atau puisi-puisi seperti “Ku lari
ke hutan, lalu piknik ke pantai sambil foto kaki di pasir.. Eh maksudnya belok ke pantai. Bosan aku dengan penat, dan enyah saja kau pekat.
Seperti berjelaga jika ku sendiri..” karya Rangga yang memenangkan lomba puisi di sekolah. Atau puisi di bagian akhir film “…. Lalu
sekali ini aku melihat karya surga dari mata seorang Hawa. Ada apa dengannya?
Meninggalkan hati untuk dicaci. Tapi aku akan kembali ketika bulan purnama muncul di New York, untuk
mempertanyakan kembali cintanya…”
Lalu soundtrack yang dibawakan dengan apik oleh Melly Goeslaw, hingga
kelucuan Mamet, penggemar berat Cinta yang jago bikin lagu, tapi grogi berat ketika mobilnya akan dipinjam sampai
kunci mobilnya ketuker dengan kunci rumah, lalu dia ketinggalan di bandara.
Juga berantemnya Rangga melawan geng boyband
Borne, walaupun buntutnya Borne disiram ice lemon tea di food court Plaza Senayan. Itu
semua masih melekat dalam ingatan. Sesuatu yang begitu menggebrak perfilman
Indonesia saat itu, dalam pengamatan amatir saya.
14 tahun berlalu, dan kini muncul
sekuel AADC 2 yang serentak dimainkan tidak hanya di Jakarta dan seluruh
Indonesia, tetapi juga di Malaysia dan Brunei Darussalam! Popularitas yang nyata adanya karena hasil kerja 14 tahun silam. Ya, begitu banyak tokoh di film AADC seri pertama yang kemudian angkat nama lantaran meledaknya film itu. Sekuel yang tidak pernah diniatkan untuk dibuat, dan mungkin sedikit membuat kita semua mengrenyitkan alis sambil berkomentar "Kok hari gini baru dibuat sekuel. Ceritanya mau kaya gimana lagi? Tokoh-tokohnya udah ketuaan, udah lebih pantes gendong anak."
Saya belum menonton AADC 2 hingga
hari ini, dan baru berencana akan menontonnya akhir pekan. Itu pun kalau
antriannya tidak gila-gilaan, tapi untungnya alay tidak akan ikut-ikutan karena
mereka masih gigit empeng saat Rangga sudah main puisi-puisian dengan Cinta. Mereka gak akan tertarik untuk mengikuti euforia anak-anak 90an ini. Saya
sudah mengantisipasi rombongan mamah-mamah muda dan papa-papa buncit seumuran
saya yang akan mengantre untuk menonton Dian Sastro dan Geng Cinta -meski tanpa
Alya- yang pantas menobatkan diri sebagai geng mamah muda 30an yang paling memukau
seantero Indonesia.
Saya, dan juga mungkin saja
rombongan mamah-mamah muda dan papa-papa buncit penggemar junk food, berita politik dan barang
diskonan ini, sepertinya tidak terlalu berharap bahwa jalan cerita AADC 2 akan
sebegitu bagusnya. Hanya saja kami merasa wajib mengulangi euforia AADC 2002 yang
teramat berkesan, walaupun harus menitipkan anak-anak yang fotonya sering kami
upload di media sosial kepada orang tua atau mertua. Seperti memecahkan gelas
biar ramai dan mengaduh sampai gaduh, seakan berkata bahwa film ini adalah representasi generation Y kelahiran 80-90. Lalu beberapa hari ke depan, kami akan menertawakan
meme-meme yang akan menjamur di grup whatsapp
kami, yang beranggotakan teman-teman lama yang sudah susah diajak kumpul karena
berbagai alasan yang kurang prinsipil.