Beberapa tahun silam, saya pernah
menulis tentang hubungan antara kebijakan BEPS (Base Erosion Profit Shifting) dengan dunia sepak bola. BEPS, yang
diinisiasi sejak tahun 2013 adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh OECD, badan
kerjasama ekonomi dunia beranggotakan negara-negara maju yang dalam sejarahnya
dibentuk sebagai manifestasi Marshall Plan. Pengalihan keuntungan (profit shifting) dari yurisdiksi pajak
tinggi ke rendah yang dianggap mengikis pendapatan pajak banyak negara menjadi
fokus perhatian OECD dalam beberapa dekade terakhir.
Secara garis besar, BEPS mencoba
membuat standarisasi tentang ketentuan yang mengatur transaksi-transaksi
keuangan, terutama transaksi yang melibatkan perusahaan-perusahaan
multinasional yang berada dalam satu grup dengan indikasi pengalihan keuntungan
(transfer pricing). Dalam hubungannya
dengan dunia sepak bola, aturan pajak dapat memengaruhi keputusan pemain untuk
memilih bergabung di klub dari negara tertentu.
Tapi, apa benar begitu?
Kebijakan BEPS berupaya mencegah peralihan
keuntungan perusahaan-perusahaan multinasional dari negara satu ke negara lain
dengan tarif pajak yang rendah (Tax Haven
countries) melalui perencanaan-perencanaan pajak (tax planning) yang mengarah kepada penghindaran pajak (tax avoidance) dan pelarian pajak (tax evasion).
Kewenangan BEPS (dan juga OECD) memang
tidak sampai mengatur besarnya tarif pajak penghasilan dari suatu negara.
Bagaimanapun, negara yang berdaulat memiliki hak penuh untuk memajaki warga
negaranya dengan tarif pajak yang sesuai dengan kondisi perekonomian. OECD
melalui BEPS hanya memberikan arahan dan petunjuk, yang tentunya menjadi
standar kewajaran dan transparansi atas sebuah transaksi. Namun harus diakui
bahwa pengaruh OECD, yang notabene representasi dari negara-negara maju, amat
besar bagi penentuan kerangka dasar peraturan pajak bagi negara-negara di
dunia. Belum lagi mempertimbangkan pengaruh politisnya.
Dalam mewujudkan standarisasi
ini, BEPS memiliki serangkaian action plan, di mana dalam setiap action plan ini
mengatur jenis-jenis persoalan yang berbeda, dan rasanya action plan ini sudah
mencakup seluruh jenis transaksi yang memang lazim dilakukan oleh perusahaan
multi nasional. Contoh pengaturan yang dimuat dalam action plan ini antara lain ekonomi digital, Controlled Foreign Corporation (CFC), Transfer Pricing Documentation,
pencegahan treaty abuse, mutual agreement procedure, dan
sebagainya.
Kebijakan ala BEPS ini memang
menunjukkan niat mereka untuk memerangi fenomena tax haven. Keberadaan tax
haven jurisdiction dianggap menggerus pendapatan banyak negara dari sektor
pajak, yang mana hal ini juga berpengaruh pada distribusi pendapatan pada
masyarakat dalam bentuk pelayanan masyarakat, pembangunan infrastruktur dan
juga pengentasan kemiskinan.
Tax haven, dalam wajahnya yang terburuk, adalah tempat aman untuk
menyimpan uang dari orang-orang kaya yang memang sengaja menjauhkannya dari
pemotongan pajak oleh negara, yang ujung-ujungnya menjauhkan kekayaan dari para
kaum marjinal. Dengan tarif pajak yang rendah, bahkan banyak yang nihil, tax
haven menarik begitu banyak investor-investor seperti ini.
Di dunia sepak bola, bintang
sekelas Lionel Messi pun pernah terjerat kasus semacam ini. Sebagai pesepak
bola terbaik dunia, pendapatan Messi memang tidak didapat dari gaji saja,
melainkan dari sektor image rights.
Penghasilan dari image rights inilah
yang diduga ‘dilarikan’ oleh para financial
planner sang superstar ke negara
Belize dan Uruguay, dua negara kecil di benua Amerika yang berstatus sebagai tax haven country.
Selain Messi, cerita tentang
penghindaran pajak yang dilakukan para pesepak bola ataupun pelatih juga tidak
sedikit. Dengan pengetahuan pengelolaan keuangan yang sudah lebih baik (atau
setidaknya kesadaran menunjuk financial
advisor), penghasilan para insan sepak bola yang begitu besar ini memang
dapat dikelola sedemikian rupa agar tidak perlu membayar pajak yang terlalu
besar. Hal ini memang sejalan dengan kodrat manusia yang tidak akan rela
disuruh membayar pajak.
Namun demikian, benarkah praktik
tax haven sama sekali salah? Tidak bolehkah perusahaan-perusahaan besar,
aktris-aktris first string ataupun
atlit-atlit ternama melakukan perencanaan keuangan demi melindungi kekayaan
mereka dengan menggunakan kendaraan ini? Pertanyaan seperti ini memang rawan
membagi blok ideologi, tetapi jika kita mau memandangnya dari perspektif yang
berbeda, tentu sah-sah saja, bukan?
Praktik tax haven adalah manifestasi dari sebuah gagasan lain, yaitu tax competition. Dalam konsep tax competition, setiap yurisdiksi
(negara) berlomba untuk menurunkan tarif pajak mereka (race to the bottom) demi mencegah aliran modal dan tenaga kerja ke
yurisdiksi pajak dengan tarif yang lebih rendah. Rendahnya tarif pajak dianggap
akan mendorong kompetisi. Kompetisi akan menciptakan efisiensi, meningkatkan
produktifitas dan pertumbuhan, yang pada ujungnya akan menciptakan kepatuhan
sukarela untuk membayar pajak. Mengapa financial planner Messi menyarankan skema pengalihan penghasilan ke Belize dan Uruguay? Salah satu alasannya jelas karena tarif pajak penghasilan badan Spanyol yang tinggi.
Dalam contoh yang sederhana, saya
ingin menggambarkan situasi lain. Misalnya anda bekerja di sebuah gedung
perkantoran. Di gedung ini terdapat satu-satunya kios penjual aneka makanan dan
minuman. Harganya lebih mahal dari pasaran, ibu-ibu penjaganya galak dan rasa
dari kue basahnya tidak terlalu enak. Tapi karyawan di perkantoran ini tidak
memiliki pilihan lain selain membeli di kios ibu galak ini, sekalipun si ibu
galak memperlakukan para pembelinya dengan semena-mena.
Bandingkan jika di perkantoran
ini terdapat satu atau dua lagi penjual makanan sejenis, tentu saja para
karyawan kantor akan mempunyai pilihan lain dan akan lebih mudah berpaling dari
kios ibu galak. Menurut pakar perpajakan internasional, Dan Mitchell, seperti
inilah tax competition bekerja.
Negara tidak bisa bersikap seperti si ibu galak agar para investor tidak
berpaling ke tempat lain.
Lebih jauh, Mitchell berpendapat
bahwa apa yang dilakukan oleh OECD melalui BEPS semakin menunjukkan arah kartel
perpajakan global. Semua negara mengikuti aturan standar yang akan memperkuat
posisi OECD sebagai badan tidak resmi dari perpajakan internasional. Pertanyaan
selanjutnya, jika nantinya pengaruh OECD akan sedemikian besar, dapatkah mereka
menempatkan kaki mereka tidak hanya di sisi negara maju?
Akankah dunia perpajakan hanya
akan menjadi sistem oligopoli baru, di mana OECD dengan segala kekuasannya yang
besar --meski hanya mewakili kelompok yang kecil—memiliki keleluasaan untuk
mengatur kalangan yang lebih luas?