Ini adalah cerita fiksi tentang seorang pemuda pekerja
kantoran, sebut saja dia Si Gondrong. Rambutnya memang tidak gondrong lagi,
karena kantor jelas tidak mengizinkannya. Tapi karena ia memanjangkan rambutnya
semasa kuliah, nama ‘Gondrong’ pun sudah melekat, sekalipun ia tidak lagi
gondrong.
Dengan cukuran rapi dan klimis, Gondrong kini menikmati “meja
mie ayam” miliknya. Disebut meja mie ayam, karena memang tidak ada sekat
seperti kubikal layaknya pekerja lain. Sebagai auditor, ia lebih banyak bekerja
di kantor klien dan amat jarang di kantor sendiri. Untuk itulah, kantor hanya
menyediakan meja besar dengan banyak kursi untuk para junior auditor seperti
dirinya. Tidak ada tempat duduk dan nomor ekstension yang tetap, karena siapa
yang datang duluan, dialah yang berhak menduduki tempatnya.
Gondrong memiliki senior-senior yang dapat dikategorikan galak
dan demanding. Mbak Martina misalnya,
dengan pengalamannya yang sudah lima tahun, ia jelas sudah tahu seluk beluk
pembuatan laporan untuk klien-kliennya. Ketika berurusan dengan anak buahnya,
ia bisa bersikap bengis seperti seorang sosiopat yang tidak memiliki empati. Tidak
peduli anak buahnya sedang sakit, ada urusan keluarga, tidak peduli siang atau
malam, awal pekan atau akhir pekan, mereka harus siap sedia jika dibutuhkan.
Gondrong tidak pernah sampai membawa segala tindakan senior-seniornya
ke hati. Ya, mungkin karena dia cowok juga. Dia sadar bahwa senior-senior itu
menjadi sedemikian demanding karena mereka pun dituntut hal yang sama oleh para
Manager-nya. Dan para manager juga dituntut hal yang sama pula oleh para Partner.
Dan seterusnya. Sebagai penghuni terbawah dalam ‘rantai makanan’, Gondrong pun
merasa tidak ada gunanya jika ia melawan.
Kita semua hanya memainkan peran, begitu pikirnya. Di balik
tampang-tampang lelah dan tertekan semua yang bekerja di gedung ini, mungkin
saja mereka sama sepertinya yang juga senang bermain. Senang menghabiskan akhir
pekan sambil nongkrong bersama teman-teman seperti yang kadang dilakukannya,
senang berfoto selfie dan ingin dipuji seperti kakak perempuannya, senang
mengoleksi batu akik seperti pamannya, dan lain-lain. Pastilah ada aspek
manusia yang sebenarnya tersembunyi di balik topeng-topeng itu.
Walaupun begitu, Gondrong tetaplah ingin melakukan sesuatu
yang berbeda. Ketika ia dipromosi menjadi senior, ia bertekad untuk menjadi
sosok senior yang lebih berempati, lebih bersahabat. Pokoknya lebih baik
ketimbang senior-senior yang selama ini memperlakukannya.
Promosi
Waktu promosi pun tiba. Gondrong telah menjadi seorang
auditor senior, posisi yang menuntutnya untuk bertanggung jawab atas segala
kegiatan fieldwork yang dilakukan timnya. Mewawancarai klien, meminta dan
mengumpulkan data, hingga membuat draft
report. Posisi yang juga membuatnya memiliki anak buah.
Gondrong membuktikan janjinya. Ia adalah sosok senior
kesayangan para junior. Sosok senior yang baik, berperasaan, berempati dan
malah tidak segan untuk melakukan porsi pekerjaan junior jika diperlukan. Para junior
pun berebut untuk menjadi anggota timnya. Ia juga tidak pelit dan tidak
hitungan soal uang. Traktir-mentraktir, mengantar dan menjemput anak buahnya
bukanlah hal luar biasa baginya.
Saya berhasil, begitu pikirnya. Pekerjaan beres, anggota tim
menyukainya walaupun ia jauh lebih capek karena harus sering meng-cover
pekerjaan anak-anak buahnya. Karir Gondrong pun terbilang cepat. Dalam waktu
dua tahun saja, ia sudah dipromosi ke level Assistant Manager, atau satu level
lagi di bawah Manager, posisi middle
ladder yang tentu saja menjadi impian banyak orang.
Gondrong merasa terlalu lelah
bekerja sebagai auditor. Hanya beberapa bulan sebelum promosi, ia mengundurkan
diri untuk bergabung dengan perusahaan lain di luar industri auditor. Ia merasa
sudah cukup, dan anak-anak buahnya juga telah ia persiapkan dengan baik. Begitu
pikirnya.
Tapi ternyata ia tidak sepenuhnya
benar. Beberapa bulan setelah kepindahannya, terjadi sedikit kekacauan dalam
pengerjaan laporan klien-klien yang ia pegang dulu. Anak-anak buah yang
dipikirnya sudah mampu bekerja secara mandiri, ternyata tidak mampu
menyelesaikan laporan sesuai tenggat waktu yang disepakati. Pak Joko, atasannya
dulu, menghubunginya.
“Ndrong, saya cuma mau kasih tau
ke kamu kalo pekerjaan salah satu klien kamu yang dulu itu, kini bermasalah. Tim
kami tidak mampu menyelesaikan laporan dengan tepat waktu.”
“Waduh, saya turut sedih nih,
Pak. Kira-kira, kenapa ya bisa begitu? Padahal sebelumnya tidak ada masalah.”
“Kamu tahu? Di situlah sebetulnya
masalahnya. Kamu terbiasa mengerjakannya sendiri dan terlalu melonggarkan
anak-anak buah kamu. Isu-isu yang besar juga kamu tangani dan pecahkan sendiri
tanpa melibatkan tim. Mereka memang senang bekerja dengan atasan seperti kamu,
tapi ternyata setelah kamu pergi, mereka malah kesulitan karena ternyata tidak
mendapat bekal yang cukup dari kamu.”
Gondrong pun terkejut sekaligus
terpana mendengar perkataan itu. Ia diam saja, tidak tahu bagaimana harus
menanggapi. Segala ilmu yang telah ia pelajari dan pengalaman yang ia dapat ternyata masih belum apa-apa. Baru kali ini ia merasa telah melakukan kesalahan perhitungan. Miscalculation perihal anak buah yang ternyata berdampak sama besarnya dengan miscalculation dalam hal angka.
“Eh tapi jangan salah sangka,
Ndong. Saya bukannya mau menyalahkan kamu. Gaya kepemimpinan kan memang
macam-macam. Ada yang otoriter, ada juga yang seperti kamu. Saya tidak mempermasalahkan
kesulitan ini, toh ini bisa terjadi pada siapa saja. Seiring waktu, mantan
anak-anak buahmu akan belajar dari pengalaman mereka.”
“Toh dari situ kamu bisa belajar,
dong. Besi yang ditempa dengan keras akan menghasilkan pedang yang bagus dan
tajam, tapi jika menempanya kurang keras, ya gak akan jadi apa-apa. Kamu bisa
sebagus ini karena dulu kamu diajari oleh senior-senior yang galak, mungkin ini
yang kamu belum sadari. Nah sekarang kan kamu sudah bekerja di tempat yang baru
dan punya anak buah, maka tempalah anak-anak buah kamu dengan tepat, dan sesuaikan
dengan ekspektasi kamu terhadap mereka. Kamu sudah nonton film Whiplash? Kira-kira
begitulah dunia yang kita hadapi. Seorang Terence Flecher pun memiliki
keyakinan bahwa the next Charlie Parker
won’t get discouraged. Untuk membentuk karakter yang hebat, tentu
dibutuhkan tempaan yang juga kuat, walaupun boleh jadi tidak semua orang bisa
memahaminya.”
Gondrong terdiam cukup lama, lalu
ia kemudian merespon “Benar juga sih kalau dipikir-pikir, Pak. Mereka yang dulunya menjadi anak buah saya sampai sekarang masih suka bercerita kepada saya. Mereka menceritakan betapa enaknya bekerja di bawah tim yang saya pimpin, berbeda dengan yang sekarang. Tadinya saya pikir, itu adalah sebuah tanda keberhasilan, tapi ternyata saya salah ya.. Tapi, Pak, saya punya satu pertanyaan lagi.. Bagaimana jika anak-anak buah saya malah berbalik membenci
saya akibat sikap dan tuntutan yang saya berikan. Dan bukannya malah pekerjaan saya selesai, malahan jadi berantakan karena
mereka tidak mau mengerjakan?”
“Memang tidak ada jalan yang
mudah. Jika kamu ingin men-develop
orang lain, hanya itu yang bisa dilakukan. Kecuali jika kamu hanya ingin
memelihara para deadwood dan rela mendengarkan keluh kesah mereka terhadap
segala sesuatu yang bahkan tidak perlu dikeluhkan. Dan bukannya saya memintamu untuk berhenti jadi orang baik, tapi
kamu juga perlu memikirkan bahwa segala kelonggaran dan pemakluman yang telah
kamu berikan kepada anak-anak buah kamu, akan berimbas pula pada atasan-atasan
mereka yang menggantikan kamu. Mereka akan terus membanding-bandingkannya
dengan kamu. Tentu saja hal ini akan membebani mereka. Saya bukannya menyarankan kamu untuk berubah dengan drastis, karena itu pasti sulit. Kamu hanya perlu untuk sesekali menjadi lebih keras, dan tentunya pada tempatnya. Tidak perlu memaki, misalnya. Cukup meninggikan sedikit nada suara dan memasang mimik wajah yang lebih serius dari biasanya, pasti mereka akan mengerti. Karena pada dasarnya, bawahan itu akan menuruti atasan, kok.”
“Tapi pak.. Benar-benar pertanyaan terakhir nih.. Kan memang
tidak semua orang bisa di-develop. Dan
tidak semua orang juga yang mau di-develop,
bukan?”
“Ya, kamu benar. Tidak semua
orang memiliki ambisi, sebagian hanya ingin ikut arus dan selamat. Itu juga tidak
sepenuhnya salah. Hidup memang tidak sekadar di kantor, bukan?”
“Saya mengerti, Pak. Terima kasih
atas waktunya. Terima kasih atas percakapan telepon ini.”