Sebagian dari
anda mungkin pernah, sebagian tidak. Dalam sejarah peradaban dunia, penguasa
memang seperti memiliki hak preogratif untuk mengubah sejarah, meski itu
termasuk memutarbalikkan fakta.
Bangsa kita
sudah terlalu lelap dan nyaman di-ninabobo-kan penguasa. Jika anda besar di era
80-90an, anda pasti tahu apa yang saya maksud. Sebagai contoh, setiap tahunnya
kita selalu diputarkan film Penghianatan G30S/PKI yang memperlihatkan kekejaman
anggota partai berlambang palu dan arit itu dalam menyiksa para Jenderal (dan 1
Letnan). PKI akhirnya ditumpas, dibunuh tanpa diadili, dinobatkan sebagai
organisasi terlarang, bahkan keturunan mereka dijadikan warga kelas tiga karena
hak-haknya dibatasi oleh negara.
Setelah keruntuhan
orde baru, barulah kita dibelalakkan oleh fakta-fakta baru yang justru bertolak
belakang. Tentang keterlibatan CIA, konspirasi tingkat tinggi penggulingan Bung
Karno, dan lain-lain yang tinggal anda googling saja. Atau jika tidak ada akses
internet, tinggal cari saja bukunya di toko buku mainstream sekalipun. Sekarang,
membeli buku “kiri” akan membuat anda terlihat keren, sementara membeli buku pasar
modal hanya akan ditertawai oleh penggemar Joseph Stiglitz.
Kembali lagi ke
persoalan. Rupanya, cengkraman orba masih sebegitu kuatnya sehingga orang-orang
sebegitunya masih percaya pada pelajaran-pelajaran sejarah yang mereka pelajari
sejak duduk di bangku sekolah. Setiap penguasa pasti penuh pencitraan, dan
untuk penguasa yang sudah berkuasa selama 30 tahun lebih tentu dampaknya sangat
besar bagi rakyatnya. Contohnya adalah tanggapan banyak orang tentang sebuah
artikel RA Kartini di sebuah media online mainstream.
Melihat pada kolom komentar, sangat menyedihkan. Betapa orang-orang yang nampak berpendidikan sekalipun masih sulit untuk menerima fakta baru, masih terbuai dengan dongeng-dongeng sejarah yang telah puluhan tahun diceritakan pada mereka. Mereka dengan dangkal malah menilai tulisan orang lain tidak bermutu, padahal mereka sendiri hanya bisa berkomentar, tidak bisa menulis sedikitpun.
Melihat pada kolom komentar, sangat menyedihkan. Betapa orang-orang yang nampak berpendidikan sekalipun masih sulit untuk menerima fakta baru, masih terbuai dengan dongeng-dongeng sejarah yang telah puluhan tahun diceritakan pada mereka. Mereka dengan dangkal malah menilai tulisan orang lain tidak bermutu, padahal mereka sendiri hanya bisa berkomentar, tidak bisa menulis sedikitpun.
Indoktrinasi ini sudah menembus relung hati terdalam sebagian dari kita, sehingga kita sulit untuk menerima fakta baru. Di negara yang memang baru lepas dari kekuasaan absolut seperti Indonesia, memang sebuah pemahaman yang dipupuk sudah lintas generasi. Bahkan generasi muda sekarang masih banyak yang menganggap ideologi selain kapitalis adalah ideologi sesat dan terlarang.
Indoktrinasi ini
telah menjadi budaya.
Tidak, saya
tidak hendak menghakimi benar atau salahnya sebuah ideologi. Lagipula, ideologi
berasal dari pemikiran, dimana pemikiran adalah sesuatu yang tidak bisa
dipersalahkan begitu saja. Kita hanya bisa melihat seperti apakah sebuah
peradaban yang terbentuk dengan pemikiran tersebut untuk menilai bagaimana
pengaruh sebuah pemikiran pada orang banyak.
Untuk itulah kita perlu lebih banyak mencari. Sekarang banyak bacaan sejarah alternatif yang mudah diperoleh, banyak penerbit-penerbit yang menjual buku sejarah yang memuat fakta baru, dan ternyata diakui pula oleh dunia internasional. Bahkan, buku-buku itu banyak pula ditulis oleh sejarawan asing.
Jadi memang
sudah saatnya bagi kita untuk lebih pro-aktif lagi dalam mencari literatur
sejarah, mengikuti diskusi-diskusi tentang sejarah, atau mencari tahu jurnal
sejarah. Buku sejarah terbitan orde baru sudah tidak bisa lagi dijadikan
referensi.
Di era sekarang,
kita harus berpikiran terbuka untuk menerima ide-ide baru seraya tidak
membiarkan pikiran kita tertutup dengan ide-ide lama yang telah ditanamkan oleh
penguasa lama lewat buku-buku paket pelajarannya maupun corong-corong informasi
andalan mereka.
Hal ini sangat penting agar kita bisa lepas dari pembohongan masif yang selama ini kita telan bulat-bulat tanpa disaring. Sebuah bangsa tentu harus mengetahui dengan pasti sejarah bangsanya, dan tidak boleh melupakan sejarah. Lagi-lagi slogan jas merah (jangan sesekali melupakan sejarah) dapat kita aplikasikan.
Tapi sebelum itu
semua, marilah kita membuka diri akan pengetahuan-pengetahuan baru, juga
fakta-fakta baru yang mungkin kita akan temui. Perkaya literasi dengan banyak
membaca agar kita bisa lebih cerdas dalam menangkap apa yang disampaikan,
sekaligus kita bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Bukannya terus terperangkap
pada penelaahan aksesoris dari sebuah tulisan yang malah hanya akan membawa
kita jalan ditempat.
Apapun yang akan
kita temui, boleh jadi sesuai harapan namun bisa juga jauh dari harapan, bahkan
mengecewakan kita. Untuk itu dibutuhkan ketulusan dan keikhlasan dalam menerima
kenyataan, ketimbang terus hidup dalam kebanggaan semu yang ternyata hanya
dongeng belaka.