Kini, di dunia yang sudah berjalan dengan era digital,
anda akan dianggap aneh (jika bukan tidak waras) jika masih saja menulis surat
cinta kepada wanita pujaan. Semua serba digital dengan kata-kata yang bisa
dicontek dari hasil rajin meng-googling, template background gratisan dengan
free trial sebulan, hingga emoticon-emoticon alay yang dimaksudkan untuk
memberi kesan hidup pada tulisan.
Namun, jika kita hidup sebagai kaum pekerja, tidak ada
yang bisa menolak “surat cinta” dari sang pemilik modal.
Selembar kertas berlogo dan berkepala surat itu berisi rangkaian kata-kata manis, seperti layaknya surat cinta. “Terima kasih atas kerja keras dan kontribusi anda pada perusahaan selama ini.. bla bla bla…” Lalu ditulis berapakah kenaikan upah anda, atau berapakah rating anda, lalu tidak lupa ditambah kata-kata template yang sangat normatif. “Semoga anda bisa menikmati hasil pekerjaan anda dengan orang-orang tersayang.”
Sebagai kaum pekerja di kota besar, sangat jarang kita bisa mencapai kepuasan akan kenaikan upah dari perusahaan. Sifat dasar manusia kita sudah dari sononya tidak pernah puas, dan memandang “rumput tetangga selalu lebih hijau”.
Selembar kertas itu seolah seperti menjadi rapor kita saat
kita sekolah dulu. Di kebanyakan perusahaan, juga diberlakukan sistem ranking,
kurva distribusi normal dan apapun medium pengukuran yang tujuannya adalah
untuk mengendalikan biaya gaji. Meski semua bekerja dengan baik, tetap harus
ada yang mendapat nilai jelek.
Kadang sungguh ironis karena nasib kebanyakan dari kita ditentukan oleh sekelompok orang yang berada ribuan kilometer dari tempat kita berdiri. Dengan kuasanya, mereka bisa memainkan angka-angka tersebut semau mereka, menyesuaikan berapa yang mereka bisa ambil sebelum membagikannya kepada orang-orang yang sudah bekerja keras demi memajukan perusahaan mereka.
Mereka bisa mengendalikan perusahaan di negeri jauh yang
mungkin bahkan mereka belum pernah kunjungi, menentukan penghasilan karyawan
yang mereka bahkan tidak tahu namanya. Mereka menunggu setoran setiap bulan,
menunggu presentasi dari laporan penjualan secara berkala, lalu memikirkan
bagaimana cara mempertebal kekayaan mereka.
Sementara para slave ini hanya bisa tertegun, atau puas,
atau pura-pura senang padahal beberapa waktu kemudian rajin membeli koran yang
berisi iklan lowongan pekerjaan. Yang bijak akan selalu bilang “bersyukur aja”
tapi yang dongkol akan mengupdate status di media chat dan social media secara
emosional dan tak terkendali.
Semua itu cukup disebabkan oleh selembar kertas benama “surat
cinta”. Layaknya surat cinta beneran, anda bisa dibuat terbuai, kecewa atau
gila sekalian. Sementara para pengendali nun jauh disana yang telah menyetujui
hal ini sedang memilih untuk menghisap cerutu Kuba atau mengganti velg mobil
mewah mereka. Oh, atau memasangkan dompet LV mereka dengan sepatu Louboutin.