Senin, 31 Desember 2012

Secuplik rasa syukur di 2012


Posting akhir tahun ini saya buka dengan salah satu scene dalam film dokumenter Being Liverpool. Iya, Liverpool yang itu. Disana ada perkataan singkat dari Brendan Rodgers, bos baru mereka.

“If you wanna be success, you have to be confident. And if you wanna be confident, you have to be happy.”

Sebaris kalimat Rodgers tadi, sayangnya banyak yang diputar-putar oleh banyak orang, sehingga artinya berbeda jauh. Lihatlah contoh ini:

“If you wanna be happy, you have to be confident. And if you wanna be confident, you have to be success.”

Pola sama, kata-kata sama, namun peletakannya dibalik-balik. Artinya sangat berbeda.

Saya mungkin bisa murtad menjadi fans Liverpool jika saat melihat tayangan dan perkataan-perkataan inspiratif itu dari sang bos yang musim lalu melatih Swansea City itu. Buat saya, itu adalah kalimat tahun ini. Kalimat paling inspiratif yang pernah saya dengar.

Saya mungkin sudah sering membaca buku-buku mengenai passion, juga acara-acara talkshow yang menghadirkan Mario Teguh, namun tidak ada satupun kata-kata yang seampuh ucapan Rodgers tadi. Ucapan itu benar-benar bermakna dalam, merangkum dan mencakup segala hal, dan tentunya memiliki punchline yang sangat ampuh.

Apa yang dikatakan Rodgers tadi adalah salah satu kunci dari hidup ini, yaitu kebahagiaan yang akan mendorong kita kepada kesuksesan, bukan sebaliknya. Jika kita berbahagia dalam mengerjakan sesuatu, sukses yang erat kaitannya dengan materi adalah bonus. Namun kepuasan batin sudah pasti didapat.

Orang yang gak suka pada pekerjaannya sih bisa saja dia sukses, dan meraih materi. Tapi apakah hatinya bahagia? Belum tentu. Lagipula, apakah orang itu sudah pasti sukses? Belum tentu juga kan. Udah sukses materi gak didapat, sukses batin juga gak dapat. What a waste!

Kalo kata Frank Sinatra:

“For what is a man, what has he got? If not himself then he has naught.”

Seorang laki-laki adalah yang hidup dengan prinsipnya. Jika tidak, maka ia tersia-sia.

***

Dan di tahun 2012, saya bisa dengan tegas katakan bahwa saya bahagia. Saya bisa mencapai banyak hal, baik hal-hal yang orang yakin saya mampu mencapainya maupun hal-hal yang orang tidak yakin saya mampu mencapainya. Banyak sekali milestone dan pencapaian tahun ini.

Jika melihat pada definisi, milestone memiliki makna yang baik, yaitu terkait dengan pencapaian. Seorang bayi tidak akan bisa langsung berjalan, melainkan harus belajar duduk, berdiri dan merangkak terlebih dahulu. Duduk, berdiri dan merangkaknya si bayi itulah milestone dalam hidupnya, dan berjalan adalah puncak pencapaiannya sebelum diperkenalkan lagi kepada hal-hal lain.

Milestone kecil saya ada beberapa tahun ini.

Nonton konser GNR, tur sepak bola, punya website sepak bola, jadi penulis tetap sebuah media sepak bola, ikut proyek pembuatan buku sepak bola, bertemu orang-orang yang memiliki passion sama, mengisi podcast sepak bola, manggung di acara akhir tahun yang penuh kenangan, juga memainkan lagu enter sandman setelah sekian tahun hanya memainkan lagu-lagu pop cheesy.

Buat orang lain, itu mungkin gak ada apa-apanya, tapi buat saya itu sangat luar biasa. Hadiah dari Tuhan. Tuhan yang terlalu baik kepada saya.

Selain penuh milestone, tahun 2012 ini menjadi tahun penuh sejarah yang tidak terlupakan. Jika kelak saya bercerita kepada turunan-turunan saya, mungkin tahun 2012 ini adalah salah satu fase terpanjang yang banyak sekali akan saya ceritakan.

Di tahun ini, saya diberikan kepercayaan oleh Tuhan untuk merawat seorang manusia. Itu sudah menjadi milestone dan achievement tersendiri.

Dan entah bagaimana, di tahun 2012 ini kaki saya serasa lebih ringan dalam melangkah, tangan lebih ringan dalam mengetik kata demi kata, mulut lebih lancar dalam berbicara, mata lebih terlatih untuk membaca dan telinga lebih terlatih untuk mendengar.

Diatas itu semua, otak lebih terlatih untuk mendengarkan hati. Berjalan menemukan passion, menemukan apa yang diinginkan.

***

Mungkin kunci itu adalah keikhlasan. Itulah kunci kedua dalam hidup, yang saya percayai.
2012 adalah contoh sempurna betapa hal-hal yang dilakukan dengan kesenangan dan keikhlasan akan lebih indah. Bentuk keikhlasan juga bermacam-macam, dan saya yakin anda pasti sudah berikhlas dalam banyak hal, dari ikhlas mengantre launching gadget terbaru hingga mengantre bayar belanjaan anda di sebuah midnight sale. Apapun bentuk keikhlasan itu, anda bahagia bukan?

Setiap pintu rumah punya kunci masing-masing, begitu pula mobil dan sepeda motor, mereka juga punya sebuah kunci yang dibuat khusus untuk mereka. Seperti halnya kunci kebahagiaan dalam hidup, menurut saya adalah melakukan sesuatu yang disukai dan juga ikhlas menerima apapun yang ada.

“Kalo cuma bisa punya Lotto ya gak usah terganggu liat orang pakai Nike atau Adidas.”

“Kalo cuma punya gaji sekian dan temen lo dua kali dari yang lo dapet, ya apa terus lo bakal mati?”

“Kalo lo ngerasa udah kerja mati-matian tapi temen lo yang kerjanya lebih ringan daripada elo tapi dia ikut dapet pujian dari bos, ya terus ini bakal bikin lo ngedown?”

Mungkin orang-orang itu bekerja dengan terpaksa, sehingga yang menjadi ukuran kebahagiaan buat dia adalah materi semata.

“Gue udah gak happy, masa materi juga gue gak dapet?” Apakah begitu?

Alhamdulillah saya udah dikasih petunjuk bahwa hidup tidak harus begitu. Gak perlu memperhatikan pencapaian orang lain, gak perlu ngeliatin merk sepatu orang lain. Yang penting adalah bagaimana lo hidup dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan, sehingga ukuran kebahagiaan bukan lagi materi.

***

Ya begitulah 2012. Sekarang bagaimana dengan 2013?

Well, apapun yang terjadi di 2013 nanti saya ikhlas. Yang jelas di 2012 ini saya udah dikasih kunci untuk menghadapi apapun. Saya tinggal melanjutkan apa yang sudah saya perjuangkan di 2012. 

2012 ini ibarat ketemunya passion, 2013 dan seterusnya tinggal lanjutin terus.

2013 saya bakal tetep nulis artikel sepak bola, tetep jadi orang kantoran yang baik-baik aja, tetep belajar sejarah dan lebih banyak baca, tetep nonton film-film action, tetep nonton konser-konser rock, tetep nonton bola, dan gak lupa jalanin semuanya dengan senang dan ikhlas.

Udahlah, gak perlu nyinyirin tahun baru. Gak perlu nyinyir karena ini budaya barat, budaya paganism atau apapun. Nyatanya, seluruh dunia memang menutup kegiatannya dan membuka lembaran baru di pergantian tahun masehi ini. Kalau anda memang berharap tahun baru versi anda sendiri, silahkan menangkan dulu pertempuran, sehingga anda bahkan bisa mengubah kalender dunia.

Alhamdulillah!

Senin, 24 Desember 2012

Attack on Leningrad



Jika boleh memilih sekian banyak hal-hal yang underrated di dunia ini, biarkanlah gue memilih salah satunya yaitu film Attack on Leningrad.

Tidak, gue tidak akan mengomentari aspek sinematografi, acting, casting, juga istilah-istilah teknis dunia perfilman lainnya yang gue gak kuasai. Tapi gue tertarik karena film ini lekat dengan sejarah Perang Dunia 2.

Film yang disutradarai oleh Alexandr Buravsky ini memiliki 3 bahasa yaitu Rusia, Jerman dan Inggris dengan bahasa Rusia yang paling dominan digunakan dalam film. Ya iyalah judulnya aja menonjolkan kota Leningard yang sekarang bernama St. Petersburg.

Jika elo berharap melihat orang pacaran di taman, berantem lalu ketemu lagi di akhir film layaknya tipikal film Hollywood, elo gak akan temukan di film ini. Yang elo lihat adalah kota tidak berdaya yang di bombardir pesawat tempur,  penduduk yang kelaparan, juga pemandangan suram kota tempat meletusnya Revolusi Bolshevik ini.

Film yang berlatar waktu musim dingin tahun 1941 ini punya mengangkat dua tema besar, pertama tentang cerita seorang jurnalis Inggris bernama Kate Davis (diperankan Mira Sorvino), kedua tentang penyerangan 900 hari kepada Leningrad itu sendiri. Kate, jurnalis yang berbasis di Moskow ini ditugaskan untuk meliput situasi di Leningrad. Kota ini tengah mengalami krisis akibat serbuan tentara Nazi Jerman, serbuan yang menjadi rangakaian invasi terbesar di dunia dan paling ambisius dari Adolf Hitler yang dikenal dengan operasi Barbarossa.

Malang menimpa Kate. Saat peliputan, bis yang ditumpanginya dibom oleh pesawat Jerman mengakibatkan banyak jatuh korban dari pihak jurnalis. Kate selamat, namun ia tidak ditemukan saat pencarian sehingga pemerintah Uni Soviet menyatakan bahwa ia tewas.

Kate mencoba bertahan hidup, dan ia beruntung bertemu seorang polisi wanita tangguh dan idealis, Nina Tsvetkova. Kate kehilangasn surat-suratnya karena pengeboman, sehingga Nina membuatkan Kate identitas palsu dengan nama Ekaterina Gonzalez. Nina menjadikan Kate seorang Spanyol karena memang pada masa itu banyak warga Spanyol yang melarikan diri ke Rusia akibat kekejaman pemerintahan diktator Jenderal Franco.

Nina lalu mengizinkan Kate tinggal dirumahnya bersama kakaknya dan dua keponakannya. Kate sangat baik pada Sima dan Yura, dua keponakan Nina. Yura digambarkan mengalami kelumpuhan akibat kurang gizi, namun berotak cerdas. Kate sangat menyayanginya.

Kate Davis
Situasi Leningrad sangat parah. Saat musim dingin yang ganas tiba, bencana kelaparan justru datang karena tentara Nazi memang tidak langsung menyerbu dan membumihanguskan kota, namun mereka memotong jalur distribusi makanan. Pemerintah setempat akhirnya memberlakukan sistem penukaran kupon untuk sebuah roti.

Jatah makanan yang lama kelamaan berkurang akhirnya menjadikan pemandangan menyedihkan timbul di mana-mana. Kuda yang diambil dagingnya bahkan ketika masih hidup, penduduk yang memakan lem dan tanah karena lem mengandung sagu dan tanah mengandung gula, hingga kanibalisme menjadi potret sejarah gelap bagi kota ini yang coba disampaikan oleh sang pembuat film.

Cerita berkembang dramatis ketika diketahui ternyata Kate adalah seorang anak dari bekas Jenderal Rusia yang mengabdi pada Tsar, pihak yang digulingkan oleh pemerintah komunis lewat revolusi Bolshevik. Ayah Kate kabur ke Inggris lalu menikahi seorang wanita Inggris yang akhirnya menjadi ibu Kate. Untuk menghindari bahaya, Kate memakai nama keluarga ibunya, Davis. Fakta ini membuat intelejen Soviet mencoba mengamankannya, namun usaha-usaha itu tidak pernah berhasil.

Gue menemukan satu hal menarik lagi dalam film ini yaitu keberadaan Danau Ladoga. Danau yang beku setiap musim dingin ini adalah satu-satunya jalan keluar dari kota Leningrad yang sudah dikepung ketika jalur darat rentan serangan. Danau Ladoga ini kemudian dikenal sebagai The Road of Life yang akhirnya dijadikan PBB sebagai World Heritage karena menjadi “jalan kehidupan” untuk mengungsi maupun pendistribusian makanan bagi penduduk kota Leningrad semasa invasi.

Setelah berhasil menyebrangi Danau Ladoga dengan selamat, Kate justru memutuskan untuk tinggal di kota dan meninggalkan Phil (diperankan Gabriel Byrne), kekasihnya yang telah menunggu di ujung lain danau. Phil sebenarnya memiliki keinginan untuk membawa Kate kembali ke Moskow, untuk kemudian pulang ke London. Namun Kate tidak memungkiri asal usulnya tadi dan ia memilih untuk tinggal di Leningrad. 

Sayangnya memang tidak dipaparkan dengan jelas bagaimana pergumulan hati Kate mengenai asal usulnya ini, dan tiba-tiba kita diperlihatkan keputusan mengejutkan perempuan ini untuk menetap dan kemudian mati di Leningrad. Plot yang kurang kuat.

Tidak ada hal menarik lain selain muatan sejarah yang kental di film ini. Cerita-cerita yang diinspirasi dari sejarah memang selalu menarik hingga gue abai terhadap efek film yang umumnya menjadi jualan dari film-film Hollywood, juga aksen British yang kaku dari Sorvino, yang notabene seorang Amerika. Setelah gue telusuri, film yang rilis di tahun 2009 ini ternyata hanya dibuat versi DVD saja, tidak tayang di bioskop. Panggung terbesarnya adalah Festifal film di Pusan, Korea Selatan.

Ya memang hanya sedikit dari kita yang tertarik pada sejarah. 

Selasa, 18 Desember 2012

Masih tetap si Bedil dan Kembang

The Legend Axl Rose (Saya foto dari big screen)


Saya bukanlah tipe orang yang suka pada keramaian, kerumunan, klub atau perkumpulan. Saya tidak akan bergabung di kerumunan orang-orang yang menyaksikan shooting sinetron di mall, juga tidak akan bergabung dengan kerumunan orang-orang yang menyaksikan bencana kebakaran. Jarang sekali saya bisa ditemukan diantara itu. Namun jika anda melihat sekumpulan pria berbaju hitam, setengah gondrong, berusia 20an akhir keatas, dan menuju ke sebuah konser rock, anda mungkin dapat menemukan saya.

Dan weekend kemarin, saya bersyukur berada diantara 10 ribuan orang yang menyaksikan konser band rock legendaris, Guns ‘n Roses (GNR).

Sebagai band favorit nomor 5, tentu pantang bagi saya untuk tidak menyaksikan mereka secara langsung. Apalagi saya sudah kehilangan kesempatan menonton band favorit nomor 6, Dream Theater di awal tahun, juga ketiadaan multi-event Java Rockingland tahun ini.

Saya pergi sendirian karena banyak alasan. Saya mungkin hidup dan lahir di generasi yang salah karena tidak satupun teman saya dari teman SD hingga teman kantor yang mau saya ajak nonton konser ini. Alasan mereka bermacam-macam, dari alasan logis hingga mengada-ada. Tidak semua orang suka musik rock. Jadi walaupun harus pergi sendiri, tidak masalah. Pergi konser memang pada intinya untuk menonton, bukan untuk mengobrol. Sendiri atau bareng-bareng sama saja.

Anyway, konser The most dangerous band in the world ini sebetulnya sempat ditunda secara kontroversial. Jadwal asli 15 Desember di Lapangan D Senayan mendadak diubah menjadi keesokan harinya di MEIS Ancol siang hari. Itupun TMCPoldaMetro yang mengumumkan lewat twitternya, bukan si penyelenggara konser. Terjadi kekhawatiran bahwa konser akan dibatalkan secara sepihak oleh Axl, seperti yang kadang dilakukannya. Untungnya hal itu urung terjadi di Jakarta.

Konser yang sempat tertunda nyaris dua dekade ini seolah mengobati rasa kangen penggemar lawas mereka. Ketika itu kehadiran mereka dibatalkan karena beberapa waktu sebelumnya konser band papan atas lainnya yaitu Metallica yang datang lebih dulu berakhir rusuh. GNR yang dianggap memiliki massa yang saat itu lebih banyak dari Metallica pada akhirnya batal datang. Banyak penonton konser yang hanyut dalam nostalgia era sekolah mereka dimana mereka besar dengan mendengarkan musik ini, tidak seperti anak-anak sekarang yang besar dengan mendengarkan musik … ah sudahlah.

GNR sekarang bukanlah band sama yang beranggotakan Slash, Izzy Stradlin, Duff McKagan dan Steven Adler yang menghuni Rock and Roll Hall of Fame. Axl telah memecat mereka semua lalu mengibarkan bendera baru GNR dengan personel-personel pilihannya yang berjumlah 7 orang. (Itu band rock apa boyband pelanggan salon?).

Axl nampaknya harus menggunakan 3 orang gitaris (Richard Fortus, DJ Ashba dan Ron Bumblefoot Thal) untuk mengisi dua pos legendaris yang biasa ditempati Slash dan Izzy Stradlin. Sepanjang pengamatan saya, Axl memang menginstruksikan ketiga gitaris yang memiliki kemampuan setara sebagai lead guitarist itu untuk secara bergantian memainkan solo di setiap lagu. Saya ambil contoh di lagu ballad fenomenal November Rain, ketiga gitaris itu bergantian mengambil porsi solo di bagian tengah dan akhir lagu.

Sepertinya Axl memang menjaga supaya tidak ada yang terlalu menonjol diantara ketiganya, tidak seperti era Slash dulu dimana popularitas dan pengaruh sang lead guitarist berkharisma kuat mengimbangi sang vokalis. Terdapatnya dua kepala dalam satu band tersebut terbukti bukanlah hal yang baik.

Performa kelas atas layaknya world class band mereka bawakan selama lebih dari dua jam dan dengan komposisi dua puluhan lagu, meskipun konser rock ini menjadi seperti acara nonton bioskop karena tersedianya kursi empuk dan hembusan udara dingin yang berasal dari AC. Konser rock rasa pertunjukan drama musikal. Tek teretektektek dung dung tek jess! 

Konser ini dibuka dengan lagu Chinese Democracy. Axl memang tidak banyak berinteraksi dengan penonton, namun Ron Bumblefoot sempat membuat saya tersenyum ketika mengajak penonton menyanyikan Indonesia Raya. Ya, dia memetik gitarnya dengan nada lagu kebangsaan kita sebelum masuk kepada intro lagu ballad Don't Cry. Nice one. Penonton lalu mulai berjingkrak dan sing along ketika lagu-lagu hits lawas mereka seperti Sweet Child ‘o Mine, November Rain, Patience, Knocking on heaven’s door, You Could be Mine dan ditutup dengan Paradise City dihadirkan.

Meskipun penampilan mereka luar biasa, namun tetap saja ada ciri yang hilang dari GNR, yaitu nuansa blues.

Keberadaan tiga gitaris yang menurut saya berkarakter hard rock membunuh jiwa blues yang sebenarnya membedakan band ini dengan band-band sejenis lainnya. Suara tiga buah gitar yang terlalu bising -mungkin untuk menutupi penurunan performa vokal Axl- dikombinasikan dengan ruangan tertutup nyatanya malah menambah noise yang muncul dari gitar, sehingga aroma klasik dan blues menjadi hilang. Missing Slash? Jelas.

Namun konser ini bagaimanapun adalah konser terkeren yang pernah saya tonton. GNR adalah band dengan cita rasa komplit. Mereka punya lagu keras, cepat dan bersemangat seperti Paradise City, everlasting seperti Sweet Child o’mine, ballad menyayat November Rain. Menyaksikan konser mereka seperti mengaduk-aduk mood, namun pada akhirnya menghasilkan mood positif.

Menyaksikan sang legenda Axl Rose langsung membawakan lagu-lagu penuh kenangan adalah kepuasan tersendiri yang akhirnya menghilangkan dahaga konser rock yang telah saya derita sepanjang tahun. Memang sempat “diganjal” dengan performa Mike Portnoy and friends beberapa waktu lalu, namun GNR tetaplah GNR.

Ya, GNR tetaplah GNR. No matter what they say.

Rabu, 12 Desember 2012

Krusialnya sebuah kuantitas


Apakah anda termasuk orang yang mengabaikan kuantitas dan terlalu mengedepankan kualitas?

Salah satu teori ekonomi mikro yang saya masih ingat sedikit-sedikit adalah teori kepuasan konsumen, dimana intinya adalah kepuasan konsumen dapat diukur secara kuantitatif. Misalnya, sebut saja Tuan Joko. Tuan Joko yang baru selesai melakukan olah raga memesan segelas es kelapa muda. Ternyata segelas tidak cukup, maka ia menambah lagi pesanannya. Ia terus menambah hingga 3 gelas berikutnya. Di gelas kedua, ia mencapai kepuasan maksimum, namun masih ingin lagi gelas ketiga. Di gelas ketiga, kepuasannya menurun, dan di gelas keempat ia kembung. Penjual menawarkan segelas lagi, namun Tuan Joko sudah tidak kuat lagi.

Kepuasan konsumen, dalam hal ini manusia dalam beberapa aspek memang bisa diukur dalam kuantitas.

Dulu saya senang menyaksikan acara Empat Mata yang dibawakan oleh Host lucu, Tukul Arwana. Acara itu awalnya seminggu sekali. Lalu karena banyak menyedot atensi, maka jam tayang acara itu diperbanyak hingga ada setiap hari. Meski sempat tersandung kasus cipika-cipiki dan sempat dilarang tampil hingga harus berganti menjadi Bukan Empat Mata, acara tetap berkibar.

Namun kini acara itu tidak lagi seheboh awalnya, tidak lagi se-berkibar awalnya. Terlepas dari berbagai kontroversi yang ditimbulkan acara itu, rasanya penonton mulai bosan karena acara tersebut terlalu sering tayang. Acara yang terlalu sering tayang akan berkurang eksklusifitasnya. Akan mengurangi antusiasme dalam menontonnya. Komentar masygul “Elu lagi elu lagi” pasti lambat laun akan muncul. Bukan kualitas yang dikedapankan, tapi kuantitas.

Dulu waktu SMA, acara Pensi (Pentas Seni) selalu menampilkan band-band dari sekolah. Suatu saat semua orang tercengang dengan kemunculan gitaris handal yang bisa memainkan lagu-lagu Metallica, Guns ‘n Roses dan lainnya dengan baik. Ia seperti menjadi dewa gitar baru di sekolah. Namun ketika lama kelamaan ia menjadi besar kepala dan sering show-off di panggung, orang akhirnya malah mengenang kepongahannya ketimbang kehebatannya.

Lagi-lagi, itu karena ia tidak bisa mengukur kuantitas.

Tapi, kuantitas yang kurang juga berbahaya, misalnya dalam sebuah hubungan.

Saya sudah beberapa kali kehilangan kontak dengan teman saya karena tidak bisa menjaga kuantitas hubungan. Kuantitas yang kurang dari sebuah hubungan pertemanan hanya akan menyebabkan alienasi saja karena ketika kita bertemu langsung dengan orang itu, mungkin saja orang itu sudah menjadi sosok yang sama sekali berbeda dari yang kita kenal. Itu karena kuantitas dan intensitas yang kurang dipelihara.

“Tidur itu yang penting berkualitas.” Apakah anda setuju?

Nyatanya, tidur anda tidak berkualitas jika anda harus ‘balas dendam’ untuk tidur disaat weekend. Berarti badan anda menagih hutangnya kepada anda. Yang namanya tidur berkualitas ya harus diukur pula dari kuantitasnya. Mau 6 jam, atau 4 jam sehari, bahkan 8 jam. Itulah tidur. Kalau hanya sejam atau dua jam sih bukan tidur.

Semua itu membawa saya pada sebuah kesimpulan sederhana: Kuantitas itu perlu dijaga, sebaik kita menjaga kualitas.

Selasa, 11 Desember 2012

Twitmu Harimaumu


 Di zaman sekarang, pemeo “Mulutmu harimaumu” sepertinya sudah mulai bergeser lebih luas lagi menjadi “facebookmu harimaumu” atau “twitmu harimaumu” yang berarti akun social media yang kita punya memang mewakili pemikiran kita.

Adri Subono mengeruk keuntungan lewat jualan tiket konsernya lewat twitter. Ia tidak perlu menyebar pamphlet atau susah payah menyebarkan brosur atau membuat spanduk untuk menjual tiketnya. Cukup ngetwit, orang-orang langsung berhamburan kerumahnya untuk menukarkan puluhan lembar uang pecahan seratus ribu atau lima puluhan ribunya hanya demi mendapatkan selembar tiket untuk menikmati sajian musik internasional.

Namun, ocehan di twitter bisa menjadi malapetaka. Coba lihat contoh lima kasus ini:

Kasus pertama:
Seorang karyawan ngoceh di twitter mengenai kekesalannya dengan seorang pegawai kantor pemerintahan dimana mereka berhubungan profesional. Si karyawan ini tidak menyadari bahwa akun twitter miliknya terkoneksi sedemikian rupa hingga terhubung dengan istri sang pegawai. Istri pegawai itu kemudian me-retweet ocehan itu ke suaminya. “Kasus” kecil itu kemudian selesai setelah sang karyawan itu meminta maaf.

Kasus kedua:
Dulu disaat konflik dualisme sepak bola sedang hangat-hangatnya, perang twitter seperti tiada habisnya soal ini. Salah satu akun pribadi pembela si A tiba-tiba menyerang seorang wanita yang menurutnya pembela si B. Si pembela A itu mencela si B dengan kata-kata yang tidak senonoh, yang akhirnya membuat si wanita tersinggung. Si wanita mengancam akan melaporkan twit si pembela A kepada polisi, namun si pembela A meminta maaf, akhirnya laporan dibatalkan.

Kasus ketiga:
Seorang juranalis diserang oleh kelompok penggemar sebuah genre musik karena dianggap menghina idola mereka, juga menampilkan informasi yang tidak akurat. Para fans tersebut tidak terima idolanya dihina, dan mereka mengecam sang jurnalis dengan ikut mengancam pekerjaan dari sang jurnalis. Kasus selesai setelah sang jurnalis meminta maaf melalui akun twitternya.

Kasus keeempat:
Sebuah akun anonim sepak bola yang memang terkenal nyinyir diancam oleh sebuah kelompok suporter karena memposting berita yang tidak akurat dalam websitenya. Akun nyinyir ini memang seperti sudah ditunggu-tunggu untuk melakukan kesalahan agar timbul celah bagi para pembenci untuk menyerang balik mereka. Melalui website dan akun twitternya, akun tersebut membuat pernyataan permohonan maaf.
Seakan tidak puas, admin dari akun anonim itupun dicari hingga akhirnya ketemu. Admin tersebut menanggapinya dengan santai saja. Hingga kini kasus tidak saya ketahui lagi kelanjutannya.

Kasus kelima:
Lain lagi dengan kasus seorang selebtwit, yang baru-baru ini diadukan ke polisi oleh seorang politisi terkait twitnya yang dianggap menuduh, memojokkan dan mencemarkan nama baik.
Selebtwit ini memiliki follower yang banyak (ya, namanya juga seleb) dan ia memang dikenal sering berkicau dan mengeluarkan analisa-analisanya tentang berbagai hal, dari sepak bola hingga politik. Politisi ini mempolisikan sang selebtwit karena dua twitnya yang memang “berani”. Sang politisi sebelumnya telah menuntut permohonan maaf dan ralat dari twit tersebut namun tidak ditanggapi oleh sang selebtwit.

***

Sangat luar biasa dampak dari twitter ini. Anda bisa menjual produk, meraup keuntungan, menggiring opini, bahkan menyerang orang lain melalui permainan jempol yang terjadi atas perintah otak anda. Ya, boleh jadi jempol anda menari-nari diatas keypad anda setelah rekening anda diguyur transferan dari pihak tertentu dengan tujuan tertentu pula.

Kasus kelima diatas baru pertama kali saya lihat di Indonesia. Menarik menyaksikan bagaimana kelanjutannya, juga menarik melihat apakah UU ITE dapat digunakan sebagai basis dalam kasus ini. Terlepas dari apa yang dituduhkan oleh sang selebtwit ke sang politisi benar atau salah, tindakan sang selebtwit ini jelas-jelas sangat beresiko. Bukannya kasus yang dia tuduhkan itu terungkap, yang ada masalah pencemaran nama baik ini yang ter-blow up.  

Saya jadi berpikir, bagaimana seharusnya kita bersikap dalam twitter. Di satu sisi, Indonesia adalah negara demokrasi dimana orang bebas berpendapat, namun di sisi lain Indonesia adalah negara hukum. Ya, teorinya sih begitu.

Saya yakin banyak kasus lain selain yang tersebut diatas, terutama di level “grassroots” atau perang twitter yang dilakukan oleh “regular twitter user” atau para user biasa yang bukan termasuk selebtwit. Dari umpatan kasar, penghinaan rasial bahkan ancaman-ancaman mengerikan tersaji namun gaungnya tidak kencang karena tidak melibatkan nama-nama beken.

Jadi, apa tujuan anda memiliki akun twitter?

Kamis, 06 Desember 2012

Memanfaatkan waktu

Saya turut berbahagia ketika salah satu teman baik saya Nina Ardianti memberi link website pribadinya www.ninaardianti.com. Bagi saya, Nina ini salah satu dari sedikit orang yang memberi dukungan ketika saya mulai menekuni hobi baru saya, yaitu menulis. Di website bikinannya itu (saya percaya itu bikinannya karena she’s a good learner), anda bisa melihat segala pencapaian yang diraihnya dengan usaha yang tentu saja tanpa kenal lelah. Saya lupa sudah berapa karya berupa buku-buku publikasi yang berhasil dihasilkannya. Banyak. Kalo mau berbicara soal produktivitas dalam berkarya sekaligus bekerja, dialah orangnya. Saya tanpa ragu bisa bilang kalo dia salah satu role model saya kok.


Anyway, ada salah satu posting di websitenya yang juga saya sangat setujui yaitu mengenai pengelolaan waktu untuk mengerjakan hal yang disuka. Itupun juga menjadi bahan pertanyaan orang-orang kepada saya. Pertanyaan "Kok sempet sih bikin beginian?" ketika saya ceritakan bahwa saya kini menulis sepak bola di beberapa website dan juga masih sempat rutin mengisi blog pribadi, bekerja, juga bertindak sebagai kepala keluarga. Dan ketika menuliskan posting ini, saya baru sadar bahwa ini adalah postingan ketiga saya dalam sehari, plus saya juga mampu menyelesaikan hitung-hitungan rumit pajak akhir tahun di hari yang sama.

"innamal a'malu binniyat" Begitu kira-kira bahasa hadistnya. Segala sesuatu itu bisa terealisasi karena kekuatan niat kita. Adanya niat juga akan membentuk sikap mental kita ketika ada saja hambatan yang datang.

Bahkan ada saja pertanyaan sinis seperti "Apa untungnya sih bikin beginian?" "Apa pentingnya sih bikin tulisan-tulisan beginian?" juga sering saya dengar. Dan respon saya selalu sama. Diam, dan terus mengerjakan apa yang saya kerjakan. Saya tidak peduli apakah tulisan saya akan diapresiasi atau tidak, dibaca orang atau tidak. Saya tetap akan menulis.

Well, saya belum pantas sama sekali untuk berbangga hati. Nyatanya, saya masih belum menelurkan satupun karya, pekerjaan saya juga kadang terganggu dengan kegiatan saya, istri saya juga masih suka komplain karena menganggap saya kurang bisa membagi waktu.

Memang ini proses, tapi saya yakin bahwa saya kini bergerak kearah yang benar. Saya merasa lebih bahagia dan lebih nyaman seperti ini, tidak seperti sebelumnya ketika saya masih bekerja super sibuk di tempat bekerja terdahulu dan hanya punya sedikit waktu untuk mengejar ketertarikan di bidang lain. 

Bicara waktu, di tempat kerja yang lama memang sedikit sekali waktu terbuang karena sebagian besar dipakai untuk bekerja. Mungkin ekstrimnya hanya seperenam dari 24 jam dalam sehari sajalah waktu tersisa diluar kantor, itupun hanya untuk beristirahat. Berada disitu terus menerus bisa mengubah saya menjadi robot. Hahaha.

Ya bukan berarti teman-teman saya yang masih bekerja disana itu adalah kumpulan robot ya. Toh selama mereka menikmati, akan selalu terpancar nilai-nilai manusia dalam diri mereka. Itu sih saya-nya aja yang emang gak kuat lagi bekerja disana.

Anyway, mengapa saya bisa seyakin ini? Karena setidaknya saya mengerjakan sesuatu yang saya sukai, dan itu sudah menjadi semacam tambahan nilai seru buat hidup saya yang sederhana ini.

Seperti kata Alvin Toffler, “Society needs people who take care of the elderly and who know how to be compassionate and honest. Society needs people who work in hospitals. Society needs all kinds of skills that are not just cognitive; they’re emotional, they’re affectional. You can’t run the society on data and computers alone.”

Dengan menulis dan mencoba berkarya kini, saya berharap akan menjadi bagian yang dibutuhkan oleh society sesuai teori Toffler itu.

Kisah teman baik saya itu memberi saya inspirasi, bahwa memanfaatkan waktu dan melangkah tanpa keraguan adalah keharusan. Karena waktu tidak akan pernah kembali dan jika kita hanya diam saja, waktu akan tersia-sia. Mari lanjutkan saja langkah kecil ini dan jangan pikirkan bagaimana akhirnya, karena hidup adalah soal proses.

Kamis, 29 November 2012

Seri tantangan Jokowi-Ahok Part 4 (habis): Korupsi


Belum ada 100 hari kepemimpinannya, duet Jokowi-Ahok telah banyak melakukan gebrakan. Gebrakan dan juga kebijakan yang akan diambil ini memiliki dampak yang besar, juga tantangan yang besar.

Tulisan terakhir yang didahului seri satu, dua dan tiga ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi, apalagi menggurui. Hanya berusaha menggambarkan situasi yang ada dari informasi-informasi yang saya dapatkan.

Jokowi dan Ahok, dinilai akan kesulitan menghadapi masalah Jakarta yang bukan hanya macet, namun korup. Sudah bukan rahasia lagi bahwa korupsi telah menggerogoti ibukota, juga seluruh negeri ini sejak era orde baru, bahkan sejak zaman kolonial. Dari pembuatan KTP, penggalian tanah makam, hingga pembuatan infrastruktur juga dikorup. 

Ahok, yang sudah menggebrak lewat video rapatnya yang diunggah ke youtube, menggunakan bahasa ceplas-ceplos dan pendekatan koboi dalam menghadapi para pejabat bermental tikus ini. “Saya kalo ngomong emang begini, mohon maaf karena gak enak. Tugas saya ini memang gak enak kok.” Begitu katanya, kata-kata yang sangat tidak umum beredar di kalangan pejabat yang umumnya penuh tetek bengek aristokrat namun menusuk dari belakang dan mengeruk uang rakyat baik diam-diam maupun terang-terangan.

“Jokowi is no Indonesian Hugo Chavez, Evo Morales, Lula, or Ho Chi Minh.” Tutup Andre Vltchek dalam esai berapi-apinya itu.

Ya memang Jokowi-Ahok belum membuktikan apapun. Ini Jakarta, bukan Solo bukan pula Bangka. Jokowi-Ahok juga “berhutang” pada Megawati-Prabowo yang mencalonkan dan mendukung mereka dalam Pilkada. Hal yang tentu akan memberi kesan bahwa mereka tidaklah bebas kepentingan. Akan ada “balas jasa” tentunya di negeri penuh intrik ini, seperti halnya seorang Presiden saat memberi jabatan menteri kepada orang-orang partai yang telah mendukung pencalonannya tanpa melihat kompetensi. Atau jika memang duet Jokowi-Ahok tetap melangkah dengan gayanya ini, bukan tidak mungkin banyak pihak yang tidak suka. Skema permainan kotor politik tingkat tinggi bisa saja dibuat-buat lagi oleh orang-orang yang memang tidak ingin negara ini maju.

Semoga saja saya salah.

Jokowi memang bukan Chavez, Morales, Lula atau Ho Chi Minh yang kesemuanya adalah tokoh besar sosialis. Dan Jokowi BUKAN sosialis, karena ia berlatar belakang pengusaha. Namun tidak ada salahnya kita mengharapkan Jokowi memiliki kekuatan, keberanian dan keteguhan seperti layaknya tokoh-tokoh dunia diatas. Seorang pemimpin setidaknya harus punya sikap.

Memang tidak ada dari mereka yang sempurna. Jika anda pernah melihat bagaimana Chavez membuat penduduknya berebut lahan tanah, atau Morales yang menasionalisasi perusahaan gas asing dan berakibat investor asing kabur, Jokowi saya rasa bukan pimpinan dengan ideologi seperti itu.

Seri tantangan Jokowi-Ahok Part 3: Buruh dan Wong Cilik


Belum ada 100 hari kepemimpinannya, duet Jokowi-Ahok telah banyak melakukan gebrakan. Gebrakan dan juga kebijakan yang akan diambil ini memiliki dampak yang besar, juga tantangan yang besar.

Tulisan berseri lanjutan dari seri pertama dan kedua ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi, apalagi menggurui. Hanya berusaha menggambarkan situasi yang ada dari informasi-informasi yang saya dapatkan.

--------------------------------------------------------------------------------------------

Terpilihnya Jokowi-Ahok seakan menjadi angin segar bagi para buruh, yang terus memperjuangkan Upah Mimimum Provinsi (UMP) senilai 2,7 juta rupiah. Jumlah itu kemudian dikabarkan akhirnya disepakati Jokowi menjadi 2,2 juta.

Seolah ingin membela kepentingan kaum buruh dan mengabaikan teriakan dari kelas menengah, Jokowi mengambil langkah ini. Sebuah kebijakan populis.

Ada beberapa isu terkait hal ini.

Pertama, bagaimana dampak pengenaan UMP sebesar itu terhadap industri besar maupun kecil?

Untuk industri besar yang banyak mempekerjakan buruh, hal itu tentu akan menaikkan biaya produksi, juga sedikit porsi biaya operasional. Keuntungan akan berkurang. Akibatnya, bisa saja produk mereka jadi mahal dan harganya tidak lagi kompetitif. Ya, namanya businessman, mereka pasti bisa saja mengakali situasi. Bisa saja kualitas produk mereka diturunkan untuk menjaga keuntungan, bisa saja biaya lain dikorbankan, dan sebagainya.

Namun hal ini membawa konsekuensi dari dinamika industri yang tidak terukur dampaknya. Industri besar yang komponen biaya terbesarnya adalah biaya pegawai (buruh) tentu akan sangat terpukul dengan hal ini. Jika mereka sampai gulung tikar, kenaikan upah buruh bukannya menguntungkan, malah akan membuat mereka kehilangan pekerjaan.

Untuk industri kecil, mungkin lebih terasa dampaknya. Jika sebelumnya mereka misalnya membayar staf administrasi dengan gaji per bulan 2,5 juta dan seorang office boy (OB) 1,5 juta rupiah, bayangkan jika pengusaha kecil itu menaikkan gaji sang OB senilai 2,2 juta. 

Tanpa mengecilkan peran dan profesi seorang OB, seorang karyawan administrasi yang notabene kemungkinan besar berpendidikan lebih tinggi pasti tidak akan rela jika gajinya hanya terpaut beberapa ratus ribu saja dari OB. Pengusaha mereka boleh jadi akan didemo oleh karyawannya.

Kedua, apakah ini kebijakan publik yang benar-benar memihak kepada “wong cilik”?
Buruh, sebagai representasi kaum marjinal memang dipandang sebagai pihak yang membutuhkan banyak perhatian menyangkut kesejahteraan. Buruh seperti sapi perah yang dibayar murah dan diperlakukan semena-mena oleh para pemilik modal, yang menikmati keuntungan maksimal akibat ditekannya biaya produksi, dalam hal ini biaya gaji buruh.

Namun apakah kaum buruh merepresentasikan kaum marjinal seluruhnya? Saya rasa tidak. Banyak orang Jakarta menggantungkan hidup pada sektor informal, melalui UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah) ataupun apa saja yang tidak terdata dalam statistik sederhana yang terpampang di papan tulis Kelurahan.

Jika memang kenaikan UMP ini ditargetkan untuk membantu kaum marjinal, tentunya hal ini tidak menawarkan solusi yang menyeluruh. Kenaikan UMP juga harus diimbangi dengan penguatan sektor informal, yang akan merembet kepada permasalahan ketersediaan lapangan kerja.

Jangan lupa bahwa sebagian dari “wong cilik” ini juga berada dibawah garis kemiskinan, dan mereka tidak tercatat dalam data penduduk di kelurahan. Banyak pula diantara mereka yang merupakan pendatang modal dengkul dengan harapan meraih kesuksesan dengan mengadu nasib di Jakarta.

Seri tantangan Jokowi-Ahok Part 2: Kelas menengah


Belum ada 100 hari kepemimpinannya, duet Jokowi-Ahok telah banyak melakukan gebrakan. Gebrakan dan juga kebijakan yang akan diambil ini memiliki dampak yang besar, juga tantangan yang besar.

Tulisan seri kedua lanjutan dari seri pertama ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi, apalagi menggurui. Hanya berusaha menggambarkan situasi yang ada dari informasi-informasi yang saya dapatkan.
-----------------------------------------------------------------------------------------

Masalah kemacetan sesungguhnya menurut saya terletak pada jumlah kendaraan pribadi yang memakai jalan raya. Percuma saja ruas jalan dilebarkan, fly over atau underpass dibuat, juga jalan tol yang dilebarkan jika jumlah kendaraan tidak dibatasi.


Rencana 6 ruas jalan tol baru

Kebijakan 6 ruas tol baru ini adalah contohnya. Jika pembangunan transportasi massal juga dibarengi dengan pembangunan ruas jalan tol baru yang memanjakan mobil pribadi, kemacetan tidak akan selesai. Berbagai studi telah dilakukan, memperlihatkan bahwa setiap ada pembangunan jalan, maka jumlah kendaraan juga akan bertambah. Bertambah kendaraan, bertambah pula polusi dan kemacetan. Bertambah jalan raya, berkuranglah ruang publik. Jakarta akan menjadi kota yang semakin sesak dan tidak sehat untuk ditinggali. Jika kebijakan ini yang diambil alih-alih proyek MRT, Jokowi sama saja dengan pendahulunya yang mengutamakan kelas menengah.

Penggunaan Busway, KRL atau nanti MRT, Monorail, Trem atau apapun tidak akan berjalan optimal jika kendaraan pribadi baik motor atau mobil dimanjakan. Mobil bisa diperoleh dengan harga murah, dengan fasilitas kredit lunak. Parkir juga murah (baru naik Rp. 3000 per jam baru-baru ini, itupun banyak yang protes), BBM juga terus disubsidi. Sama juga bohong. Tidak ada kebijakan disintensif untuk para pengguna mobil pribadi.

Orang-orang banyak yang panik dan kebakaran jenggot mendengar kabar bensin premium akan dinaikkan harganya. Dengan dalih “orang kecil yang bakalan susah”, mereka menggerakkan massa untuk berdemo. Demo inipun didukung penuh oleh orang-orang kelas menengah yang mendadak bersimpati pada kaum marjimal ini melalui twitter mereka. Mereka yang sering pergi ke restoran mahal dan berbelanja keluar negeri ini mengkritisi rencana kenaikan BBM mengatasnamakan orang susah.


Kelakuan Si Kelas Menengah


Andre Vltchek, seorang novelis dan filmmaker mengungkapkan dalam catatan sarkastisnya bahwa industri otomotif tidak akan rela melihat kondisi lalu lintas Jakarta bagus, tidak pula rela jika Jakarta memiliki sarana transportasi publik yang memadai. Mereka ingin penduduk Jakarta lebih senang menggunakan kendaraan pribadi, demi keuntungan mereka. Para perusahaan otomotif dari Jepang, Eropa atau Amerika itu tidak akan rela pasar potensial mereka hilang.

Seperti ada upaya dari bangsa lain untuk tetap menjadikan Indonesia seperti ini. Apakah Indonesia memang seperti dibiarkan saja menjadi negara konsumen? Negara dunia ketiga yang menjadi sapi perah mereka yang ada di barat? Anda yang bisa menilai sendiri. Saya sama sekali tidak ada maksud menyebarkan paham kiri.

Tidak hanya perusahaan otomotif, perusahaan lainnya semisal perusahaan asuransi tentu khawatir jika pengguna mobil pribadi menurun, karena nasabah mereka yang menggunakan asuransi kendaraan juga akan mengalami penurunan. Begitu pula perusahaan-perusahaan terkait lainnya.

Tanpa itupun, orang Jakarta, terutama kelas menengah memang sudah memiliki pola pikir yang mobil-sentris. Banyak orang beranggapan bahwa kepemilikan kendaraan, terutama mobil adalah kebanggaan. Mobil dipakai tidak sekadar alat transportasi, namun juga simbol kesuksesan. Terjangkaunya harga mobil juga akan terus meningkatkan jumlah masyarakat kelas menengah, sebuah impian ala American Dream. Sepertinya apapun yang berbau kebarat-baratan sangat gampang dijual disini.

“Si Anu waktu acara buka puasa bersama bawa mobil Mercy lho. Udah sukses dia. Beda sama si itu yang masih naik bajaj.”

Mobil juga lambang pergaulan. Orang akan mudah berteman jika punya mobil, karena dengan memiliki mobil sendiri, anda akan dianggap mobile dan mudah kemana-mana. Belum lagi jika anda pria, tidak usah munafik bahwa mendekati wanita akan lebih mudah jika anda memiliki mobil, meskipun tidak mutlak karena banyak wanita karir yang juga memiliki mobil pribadi.

Fenomena sosial ini juga tercipta lantaran sistem transportasi umum sudah kadung dikenal tidak nyaman. Terang saja jika orang akan terus nyaman menggunakan kendaraan pribadi meski konsekuensinya terkena macet, harus membayar mahal tol, dan parkir.

Tantangan yang datang dari kelas menengah ini memang gampang-gampang susah. Menggiring mereka untuk memakai transportasi umum jelas butuh sesuatu yang nyata berupa sarana transportasi umum yang memadai. 

Rabu, 28 November 2012

Seri tantangan Jokowi-Ahok Part 1: Macet

Nulis yang serius dikit ah.

Belum ada 100 hari kepemimpinannya, duet Jokowi-Ahok telah banyak melakukan gebrakan. Gebrakan dan juga kebijakan yang akan diambil ini memiliki dampak yang besar, juga tantangan yang besar.

Tulisan berseri yang terdiri dari seri satu, dua, tiga dan empat ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi, apalagi menggurui. Hanya berusaha menggambarkan situasi yang ada dari informasi-informasi yang saya dapatkan.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Beberapa hari belakangan ini pastilah hari yang melelahkan bagi orang-orang ibukota maupun kota-kota pinggiran di sekelilingnya. Semua karena curah hujan yang sedang tinggi-tingginya, yang memang kita hadapi setiap tahun.

Jika kita mengenal hujan adalah rezeki dan rahmat yang harus disyukuri, namun yang terjadi pada Jakarta dan sekitarnya hujan malah menjadi bencana.

Hujan deras terutama di sore hari menyusahkan para pekerja yang hendak pulang ke rumah. Naik mobil pribadi, kena macet. Naik motor, jas hujan tidak banyak menolong karena hujan terlalu deras. Naik busway, ngantrenya saja bisa lebih dari satu jam. Naik bis kota, nyampe di rumah entah kapan. Naik taksi, ongkosnya bisa semahal apa? Naik KRL, berbagai insiden sering membuat perjalanan KRL terganggu. Hidup udah susah, jadi makin susah di musim hujan ini.

Jakarta adalah sebuah kota metropolitan yang rapuh. Dan musim hujan seperti sekarang ini menjadikan Jakarta seperti kota rawa. Genangan dimana-mana, banjir juga dimana-mana. 

Dan sekarang, orang-orang mulai berteriak kepada Pak Jokowi, sang Gubernur baru. Publik mulai mempertanyakan apakah rencana maupun langkah kongkrit sang Gubernur dalam mengatasi masalah klasik Jakarta: Macet.

Busway yang semula menjadi alat transportasi massal harapan dan jagoan untuk solusi masalah kemacetan nyatanya tidak memenuhi harapan. Namun seperti halnya Chelsea yang menolak jika pembelian 50 juta pound Fernando Torres dianggap gagal, Busway juga dipandang sebagai proyek yang too big to fail. Terlalu mahal untuk dibilang gagal, pasti selalu ada pembelaan untuk menggambarkan bahwa proyek ini sukses.

Busway memang bagus dan cukup nyaman untuk dinaiki. Namun sepertinya belum menyelesaikan masalah, malah terkadang menambah masalah kemacetan. Jalur Busway sering diserobot, antriannya sering panjang. Jalurnya juga tidak menjangkau seluruh sudut kota, makanya tidak jarang kita tetap saja kebingungan mau naik apa setelah turun dari jalur busway. Tidak terintegrasi dengan angkutan umum berkualitas lainnya. Pada akhirnya, orang lebih percaya pada kendaraan pribadi. Belum lagi kita melihat seringnya busway mogok atau rusak, yang malahan mengganggu perjalanan.

Adanya busway ini nyatanya tidak mengurangi kemacetan karena memang jumlah mobil pribadi ataupun motor tidak berkurang. Soal ini, nanti saya bahas lebih detail di seri berikutnya.

Kemacetan Jakarta memang bikin rugi semua pihak. Banyak yang telat datang ke kantor, telat datang untuk meeting, telat datang ke sekolah, entah apa lagi. Kerugian tidak hanya materil, namun juga sosial. Kehidupan sosial terganggu. Kita tentu enggan menghabiskan tiga jam perjalanan dari TB Simatupang ke MH Thamrin hanya untuk duduk-duduk dan mengobrol bertemu teman. Jika sebelumnya orang tidak menerima alasan macet, kini alasan macet seperti dapat dimaklumi siapa saja, dan masyarakat Jakarta hanya bisa pasrah.


Perspektif MRT
Setelah Busway, solusi lain berupa perbaikan transportasi massal ditawarkan dalam bentuk MRT (Mass Rapid Transportation). MRT tahap 1 yang rencananya akan membelah kemacetan Jakarta dari Lebak Bulus ke Sisingamangaraja nampak terdengar seperti angin surga, tapi jika lagi-lagi digarap tanpa perhitungan, tentunya akan sia-sia.

Skema MRT tahap 1 ini dipandang banyak pihak sebaiknya menggunakan skema jalur bawah tanah, tidak secara layang. Biaya menggunakan jalur layang memang lebih murah, namun resiko tidak efektifnya proyek ini jauh lebih besar. Penggunaan model ini dinilai akan mematikan sentra perdagangan kawasan Fatmawati, menciptakan dampak lingkungan tidak baik karena kolong jembatan akan banyak dihuni gelandangan, juga akan menimbulkan kemacetan parah kawasan itu selama pembangunan.

Terhadap skema MRT secara keseluruhan, Jokowi juga meminta proyek itu ditinjau ulang karena bisa saja proyek itu kemahalan. Jokowi juga meragukan ROI (Return of Investment) dari proyek miliaran US Dollar itu.

Well, untuk kota berpenduduk diatas 10 juta jiwa –salah satu yang terpadat di dunia- sebenarnya keberadaan MRT sangat logis. 20 tahun lalu Indonesia adalah negara Asia Tenggara penggagas penggunaan MRT, namun hingga kini MRT tidak kunjung dibangun. Beda pemerintahan, beda kebijakan. Ganti pimpinan, ganti kebijakan. Akhirnya kesana enggak, kesini enggak.  

Jika penggunanya banyak, tentu saja investasi ini akan menguntungkan, dan hanya akan menunggu waktu untuk mencapai breakeven point. Jangan hanya hitung keuntungan materi semata, namun jika keuntungan itu terwujud dalam bentuk kenyamanan, secara psikologis akan sangat membantu. 


Rute MRT Tahap 1

Jumat, 23 November 2012

Musik itu bukan orangnya, tapi kenangannya.


Saya akui kalo saya termasuk orang yang saklek soal musik. Buat saya musik cuma 2 jenis, yaitu rock dan non-rock. Saya gak sungguh-sungguh memaknainya saat mengeluarkan statement itu, tapi itulah kata-kata yang keluar menggambarkan kekecewaan saya pada musik-musik yang ada sekarang.

Subjektif? Pasti. Musik itu masalah selera, dan yang namanya selera itu pasti subjektif. Perasaan saya juga sama dengan orang-orang yang komentar di video lagu-lagu 90an dalam situs youtube. Misalnya orang memposting video lagu Ahmad Band, dibawahnya pasti banyak komentar senada yang intinya: “Musik jaman 90an lebih enak, musik sekarang kacrut.”

Saya mungkin merasakan hal yang sama, namun sebagai hanya penikmat dan bukan pelaku musik Indonesia, kok saya merasa gak berhak ya untuk menghujat, meski memang sangat ingin.

Pada akhirnya, saya mencoba menebalkan toleransi dan melonggarkan kesaklekan saya. Meskipun ini bukan berarti saya akan otomatis menyenangi musik-musik jaman sekarang. Tapi, saya punya alasan untuk berdamai dengan itu semua, dan mencoba setidaknya menahan diri untuk tidak mencela.

Coba saya gambarkan musik jaman saya waktu beranjak dewasa dulu:

Saya mulai tertarik musik setelah dengerin album “Be Here Now” dari band Oasis dan “Pandawa Lima” dari Dewa 19.
Lalu saya belajar main gitar dengan lagu “Radja” dari band /rif. Selain itu, saya mendengarkan kompilasi album di kaset “Indie Ten” yang berisi band-band macam Coklat, Wong, dan Padi.
Setelah itu, saya membentuk band bersama teman-teman dengan memainkan lagu-lagu Green Day.
Bosan dengan Green Day, saya dicekoki Metallica oleh teman saya. Kalo lagi agak pengen bawain lagu yang rada slow, saya mainkan Sheila on 7.
Dan setelah itu, saya menahbiskan diri sebagai penggemar musik rock, menjadi gitaris dan drummer amatiran.



Coba saya ganti diri saya dengan sepupu saya yang sekarang sudah kelas 3 SMA:

Saya mulai tertarik musik setelah dengerin lagu-lagu dari band Peter Pan dan Ungu.
Lalu saya belajar main gitar dengan lagu “PUSPA” dari band ST 12. Selain itu, saya mendengarkan kompilasi album “Trend Indonesia” di MP3 yang berisi band-band macam Kangen Band, Hijau Daun, dan Armada.
Setelah itu, saya membentuk band bersama teman-teman dengan memainkan lagu-lagu Wali.
Bosan dengan Wali, saya dicekoki D’Massiv oleh teman saya. Kalo lagi agak pengen bawain lagu yang rada slow, saya mainkan lagu-lagu Bruno Mars.
Dan setelah itu, saya menahbiskan diri sebagai penggemar musik pop, menjadi vokalis dan gitaris.



Selanjutnya, coba saya ganti diri saya dengan sepupu saya yang baru masuk SMP.

Saya mulai tertarik musik setelah dengerin lagu-lagu dari boyband dan girlband Smash dan Cherrybelle.
Lalu saya belajar joget dari lagu”Oppa Gangnam Style”. Selain itu, saya mendengarkan kompilasi album “Trend KPOP” di MP3 yang berisi band-band Korea. Saya juga follow akun twitter Justin Bieber.
Setelah itu, saya membentuk boyband bersama teman-teman di Sevel dengan mendaur ulang lagu-lagu jaman om saya.
Bosan dengan boyband mellow, saya dicekoki One Direction yang katanya lebih ngerock oleh teman saya.
Dan setelah itu, saya menahbiskan diri sebagai penggemar musik boyband.



Apakah ada yang lebih keren atau lebih cupu? Apakah ada dekadensi dari kualitas musik? 

Saya tidak berhak untuk menjawabnya. Anda sendiri yang menilai. Sekali lagi, itu subjektif.

Alasan itu adalah kenangan. Kebanyakan kita membanggakan lagu-lagu atau musisi jaman kita beranjak dewasa karena saat itu memang kita baru mengenal musik. Kita tumbuh bersama musik-musik itu. Kita jatuh cinta dan ngerasain cinta monyet dengan lagu-lagu di jaman kita itu. Kita mulai mengenal dunia diiringi melodi lagu-lagu yang sering diputar di jaman kita. Itulah sebabnya kita cenderung membanggakannya.

Anak-anak angkatan saya bisa bilang Slank itu keren, jauh lebih keren daripada Peter Pan. Tapi, anak-anak pemuja Ariel yang gak pernah denger Slank sebelumnya, boleh jadi gak sependapat. Kita menganggap Slank, Dewa 19 atau Gigi keren, tapi orang tua kita tetap aja menganggap Koes Plus cs lebih keren. Kadang-kadang, keindahan itu berwujud kenangan dan bukan sosok.

“Moving on is a simple things, what leaves behind is hard.”

Bukan orangnya, tapi kenangannya.

Ya kalo anak jaman sekarang lebih suka Smash dan Cherrybelle, penyebabnya adalah karena lagu-lagu itu mengiringi pertumbuhan mereka. Itulah yang bakal jadi kenang-kenangan mereka 10-20 tahun kedepan.

Mereka juga bakal mencela trend musik tahun 2030an nanti dengan bilang kalo “dulu jaman gue SMP, boyband lebih keren karena lebih banyak orangnya. Karena mereka alumni sevel sini lho!”

“Justin Bieber itu king!” “One Direction itu nge-rock!”

Musik emang cerminan generasi. Berubah terus, berkembang terus. Mau ngikutin jaman atau nggak, itu pilihan.