Selasa, 11 Desember 2012

Twitmu Harimaumu


 Di zaman sekarang, pemeo “Mulutmu harimaumu” sepertinya sudah mulai bergeser lebih luas lagi menjadi “facebookmu harimaumu” atau “twitmu harimaumu” yang berarti akun social media yang kita punya memang mewakili pemikiran kita.

Adri Subono mengeruk keuntungan lewat jualan tiket konsernya lewat twitter. Ia tidak perlu menyebar pamphlet atau susah payah menyebarkan brosur atau membuat spanduk untuk menjual tiketnya. Cukup ngetwit, orang-orang langsung berhamburan kerumahnya untuk menukarkan puluhan lembar uang pecahan seratus ribu atau lima puluhan ribunya hanya demi mendapatkan selembar tiket untuk menikmati sajian musik internasional.

Namun, ocehan di twitter bisa menjadi malapetaka. Coba lihat contoh lima kasus ini:

Kasus pertama:
Seorang karyawan ngoceh di twitter mengenai kekesalannya dengan seorang pegawai kantor pemerintahan dimana mereka berhubungan profesional. Si karyawan ini tidak menyadari bahwa akun twitter miliknya terkoneksi sedemikian rupa hingga terhubung dengan istri sang pegawai. Istri pegawai itu kemudian me-retweet ocehan itu ke suaminya. “Kasus” kecil itu kemudian selesai setelah sang karyawan itu meminta maaf.

Kasus kedua:
Dulu disaat konflik dualisme sepak bola sedang hangat-hangatnya, perang twitter seperti tiada habisnya soal ini. Salah satu akun pribadi pembela si A tiba-tiba menyerang seorang wanita yang menurutnya pembela si B. Si pembela A itu mencela si B dengan kata-kata yang tidak senonoh, yang akhirnya membuat si wanita tersinggung. Si wanita mengancam akan melaporkan twit si pembela A kepada polisi, namun si pembela A meminta maaf, akhirnya laporan dibatalkan.

Kasus ketiga:
Seorang juranalis diserang oleh kelompok penggemar sebuah genre musik karena dianggap menghina idola mereka, juga menampilkan informasi yang tidak akurat. Para fans tersebut tidak terima idolanya dihina, dan mereka mengecam sang jurnalis dengan ikut mengancam pekerjaan dari sang jurnalis. Kasus selesai setelah sang jurnalis meminta maaf melalui akun twitternya.

Kasus keeempat:
Sebuah akun anonim sepak bola yang memang terkenal nyinyir diancam oleh sebuah kelompok suporter karena memposting berita yang tidak akurat dalam websitenya. Akun nyinyir ini memang seperti sudah ditunggu-tunggu untuk melakukan kesalahan agar timbul celah bagi para pembenci untuk menyerang balik mereka. Melalui website dan akun twitternya, akun tersebut membuat pernyataan permohonan maaf.
Seakan tidak puas, admin dari akun anonim itupun dicari hingga akhirnya ketemu. Admin tersebut menanggapinya dengan santai saja. Hingga kini kasus tidak saya ketahui lagi kelanjutannya.

Kasus kelima:
Lain lagi dengan kasus seorang selebtwit, yang baru-baru ini diadukan ke polisi oleh seorang politisi terkait twitnya yang dianggap menuduh, memojokkan dan mencemarkan nama baik.
Selebtwit ini memiliki follower yang banyak (ya, namanya juga seleb) dan ia memang dikenal sering berkicau dan mengeluarkan analisa-analisanya tentang berbagai hal, dari sepak bola hingga politik. Politisi ini mempolisikan sang selebtwit karena dua twitnya yang memang “berani”. Sang politisi sebelumnya telah menuntut permohonan maaf dan ralat dari twit tersebut namun tidak ditanggapi oleh sang selebtwit.

***

Sangat luar biasa dampak dari twitter ini. Anda bisa menjual produk, meraup keuntungan, menggiring opini, bahkan menyerang orang lain melalui permainan jempol yang terjadi atas perintah otak anda. Ya, boleh jadi jempol anda menari-nari diatas keypad anda setelah rekening anda diguyur transferan dari pihak tertentu dengan tujuan tertentu pula.

Kasus kelima diatas baru pertama kali saya lihat di Indonesia. Menarik menyaksikan bagaimana kelanjutannya, juga menarik melihat apakah UU ITE dapat digunakan sebagai basis dalam kasus ini. Terlepas dari apa yang dituduhkan oleh sang selebtwit ke sang politisi benar atau salah, tindakan sang selebtwit ini jelas-jelas sangat beresiko. Bukannya kasus yang dia tuduhkan itu terungkap, yang ada masalah pencemaran nama baik ini yang ter-blow up.  

Saya jadi berpikir, bagaimana seharusnya kita bersikap dalam twitter. Di satu sisi, Indonesia adalah negara demokrasi dimana orang bebas berpendapat, namun di sisi lain Indonesia adalah negara hukum. Ya, teorinya sih begitu.

Saya yakin banyak kasus lain selain yang tersebut diatas, terutama di level “grassroots” atau perang twitter yang dilakukan oleh “regular twitter user” atau para user biasa yang bukan termasuk selebtwit. Dari umpatan kasar, penghinaan rasial bahkan ancaman-ancaman mengerikan tersaji namun gaungnya tidak kencang karena tidak melibatkan nama-nama beken.

Jadi, apa tujuan anda memiliki akun twitter?